Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ketika seorang
hamba berada pada waktu pagi, dua malaikat akan turun kepadanya, lalu
salah satu berkata, ‘Ya Allah, berilah pahala kepada orang yang
menginfakkan hartanya.’ Kemudian malaikat yang satu berkata, ‘Ya Allah,
binasakanlah orang-orang yang bakhil.” (Muttafaq ‘Alaih).
Dari
Abu Umamah r.a., Nabi saw. bersabda, “Wahai anak Adam, seandainya
engkau berikan kelebihan dari hartamu, yang demikian itu lebih baik
bagimu. Dan seandainya engkau kikir, yang demikian itu buruk bagimu.
Menyimpan sekadar untuk keperluan tidaklah dicela, dan dahulukanlah
orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (HR. Muslim)
Dari Abu
Hurairah r.a., ia berkata bahwa seseorang telah bertanya kepada Nabi
saw., “Ya Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar
pahalanya?” Rasulullah saw. bersabda, “Bersedekah pada waktu sehat,
takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi orang yang kaya.
Janganlah kamu memperlambatnya sehingga maut tiba, lalu kamu berkata,
‘Harta untuk Si Fulan sekian, dan untuk Si Fulan sekian, padahal harta
itu telah menjadi milik Si Fulan (ahli waris).” (HR. Bukhari - Muslim)
Dari
Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah itu tidak akan
mengurangi harta. Allah swt. akan menambah kemuliaan kepada hamba-Nya
yang pemaaf. Dan bagi hamba yang tawadhu’ karena Allah swt., Allah swt.
akan mengangkat (derajatnya). (HR. Muslim)
Abu
Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ketika seseorang
sedang berada di padang pasir, tiba-tiba ia mendengar suara dari awan,
‘Curahkanlah ke kebun Fulan.’ Maka bergeraklah awan itu, kemudian turun
sebagai hujan di suatu tanah yang keras berbatuan. Lalu, salah satu
tumpukan dari tumpukan bebatuan tersebut menampung seluruh air yang baru
saja turun, sehingga air mengalir ke suatu arah. Ternyata, air itu
mengalir di sebuah tempat di mana seorang laki-laki berdiri di tengah
kebun miliknya sedang meratakan air dengan cangkulnya. Lalu orang
tersebut bertanya kepada pemilik kebun, “Wahai hamba Allah, siapakah
namamu?” Ia menyebutkan sebuah nama yang pernah didengar oleh orang yang
bertanya tersebut dari balik mendung. Kemudian pemilik kebun itu balik
bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menanyakan nama saya?” Orang itu
berkata, “Saya telah mendengar suara dari balik awan, ‘Siramilah tanah
Si Fulan,’ dan saya mendengar namamu disebut. Apakah sebenarnya amalanmu
(sehingga mencapai derajat seperti itu)?” Pemilik kebun itu berkata,
“Karena engkau telah menceritakannya, saya pun terpaksa menerangkan
bahwa dari hasil (kebun ini), sepertiga bagian langsung saya sedekahkan
di jalan Allah swt., sepertiga bagian lainnya saya gunakan untuk
keperluan saya dan keluarga saya, dan sepertiga bagian lainnya saya
pergunakan untuk keperluan kebun ini.” (HR. Muslim).
Dari Abu
Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda, “Seorang wanita pezina telah
diampuni dosanya karena ketika dalam perjalanan, ia melewati seekor
anjing yang menengadahkan kepalanya sambil menjulurkan lidahnya hampir
mati karena kehausan. Maka, wanita tersebut menanggalkan sepatu
kulitnya, lalu mengikatkannya dengan kain kudungnya, kemudian anjing
tersebut diberi minum olehnya. Maka dengan perbuatannya tersebut, ia
telah diampuni dosanya.” Seseorang bertanya, “Adakah pahala bagi kita
dengan berbuat baik kepada binatang?” Beliau saw. menjawab, “Berbuat
baik kepada setiap yang mempunyai hati (nyawa) terdapat pahala.”
(Muttafaq ‘alaih)
Bersodaqoh pahalanya sepuluh, memberi hutang
(tanpa bunga) pahalanya delapan belas, menghubungkan diri dengan
kawan-kawan pahalanya dua puluh dan silaturrahmi (dengan keluarga)
pahalanya dua puluh empat. (HR. Al Hakim)
Dari Uqbah bin Harits
r.a., ia berkata, “Saya pernah shalat Ashar di belakang Nabi saw., di
Madinah Munawwarah. Setelah salam, beliau berdiri dan berjalan dengan
cepat melewati bahu orang-orang, kemudian beliau masuk ke kamar salah
seorang istri beliau, sehingga orang-orang terkejut melihat perilaku
beliau saw. Ketika Rasulullah saw. keluar, beliau merasakan bahwa
orang-orang merasa heran atas perilakunya, lalu beliau bersabda, ‘Aku
teringat sekeping emas yang tertinggal di rumahku. Aku tidak suka kalau
ajalku tiba nanti, emas tersebut masih ada padaku sehingga menjadi
penghalang bagiku ketika aku ditanya pada hari Hisab nanti. Oleh karena
itu, aku memerintahkan agar emas itu segera dibagi-bagikan.”
(HR.Bukhari).
Allah Tabaraka wata’ala berfirman (di dalam hadits
Qudsi): “Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku
memberikan nafkah kepadamu.” (HR. Muslim)
Orang yang
mengusahakan bantuan (pertolongan) bagi janda dan orang miskin ibarat
berjihad di jalan Allah dan ibarat orang shalat malam. Ia tidak merasa
lelah dan ia juga ibarat orang berpuasa yang tidak pernah berbuka. (HR.
Bukhari)
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw,
“Sodaqoh yang bagaimana yang paling besar pahalanya?” Nabi Saw
menjawab, “Saat kamu bersodaqoh hendaklah kamu sehat dan dalam kondisi
pelit (mengekang) dan saat kamu takut melarat tetapi mengharap kaya.
Jangan ditunda sehingga rohmu di tenggorokan baru kamu berkata untuk
Fulan sekian dan untuk Fulan sekian.” (HR. Bukhari)
Barangsiapa
ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya hendaklah dia
mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain. (HR. Ahmad)
Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sodaqoh) sebutir kurma. (Mutafaq’alaih)
Bentengilah
hartamu dengan zakat, obati orang-orang sakit (dari kalanganmu) dengan
bersodaqoh dan persiapkan doa untuk menghadapi datangnya bencana. (HR.
Ath-Thabrani)
Tiada seorang bersodaqoh dengan baik kecuali Allah memelihara kelangsungan warisannya. (HR. Ahmad)
Apabila
anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh
jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang
lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya.
(HR. Muslim)
Tiap muslim wajib bersodaqoh. Para sahabat bertanya,
“Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?” Nabi Saw menjawab,
“Bekerja dengan ketrampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya
lalu bersodaqoh.” Mereka bertanya lagi. Bagaimana kalau dia tidak
mampu?” Nabi menjawab: “Menolong orang yang membutuhkan yang sedang
teraniaya” Mereka bertanya: “Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?”
Nabi menjawab: “Menyuruh berbuat ma’ruf.” Mereka bertanya: “Bagaimana
kalau dia tidak melakukannya?” Nabi Saw menjawab, “Mencegah diri dari
berbuat kejahatan itulah sodaqoh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sodaqoh paling afdhol ialah yang diberikan kepada keluarga dekat yang bersikap memusuhi. (HR. Ath-Thabrani dan Abu Dawud)
Barangsiapa
diberi Allah harta dan tidak menunaikan zakatnya kelak pada hari
kiamat dia akan dibayang-bayangi dengan seekor ular bermata satu di
tengah dan punya dua lidah yang melilitnya. Ular itu mencengkeram kedua
rahangnya seraya berkata, “Aku hartamu, aku pusaka simpananmu.”
Kemudian nabi Saw membaca firman Allah surat Ali Imran ayat 180: “Dan
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada
mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan
kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.”
(HR. Bukhari)
Satu dirham memacu dan mendahului seratus ribu
dirham. Para sahabat bertanya, “Bagaimana itu?” Nabi Saw menjawab,
“Seorang memiliki (hanya) dua dirham. Dia mengambil satu dirham dan
bersodaqoh dengannya, dan seorang lagi memiliki harta-benda yang
banyak, dia mengambil seratus ribu dirham untuk disodaqohkannya. (HR.
An-Nasaa’i)
Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara,
yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada sasaran
yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia
melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)
Allah
mengkhususkan pemberian kenikmatanNya kepada kaum-kaum tertentu untuk
kemaslahatan umat manusia. Apabila mereka membelanjakannya
(menggunakannya) untuk kepentingan manusia maka Allah akan
melestarikannya namun bila tidak, maka Allah akan mencabut kenikmatan
itu dan menyerahkannya kepada orang lain. (HR. Ath-Thabrani dan Abu
Dawud)
Abu Dzar Ra berkata bahwa beberapa sahabat Rasulullah Saw
berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang yang banyak hartanya memperoleh
lebih banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat dan berpuasa
sebagaimana kami berpuasa dan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan
harta mereka.” Nabi Saw lalu berkata, “Bukankah Allah telah memberimu
apa yang dapat kamu sedekahkan? Tiap-tiap ucapan tasbih adalah sodaqoh,
takbir sodaqoh, tahmid sodaqoh, tahlil sodaqoh, amar makruf sodaqoh,
nahi mungkar sodaqoh, bersenggama dengan isteri pun sodaqoh.” Para
sahabat lalu bertanya, “Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?”
Nabi menjawab, “Tidakkah kamu mengerti bahwa kalau dilampiaskannya di
tempat yang haram bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat
diletakkan di tempat halal, maka dia memperoleh pahala. (HR. Muslim)
Tiap-tiap
amalan makruf (kebajikan) adalah sodaqoh. Sesungguhnya di antara
amalan makruf ialah berjumpa kawan dengan wajah ceria (senyum) dan
mengurangi isi embermu untuk diisikan ke mangkuk kawanmu. (HR. Ahmad)
Abu
Hurairah r.a. berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,
“Seorang laki-laki dari Bani Israil telah berkata, ‘Saya akan
bersedekah.’ Maka pada malam hari ia keluar untuk bersedekah. Dan ia a
telah menyedekahkannya (tanpa sepengetahuannya) ke tangan seorang
pencuri. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan peristiwa itu,
yakni ada seseorang yang menyedekahkan hartanya kepada seorang pencuri.
Maka orang yang bersedekah itu berkata, “Ya Allah, segala puji
bagi-Mu, sedekah saya telah jatuh ke tangan seorang pencuri.” Kemudian
ia berkeinginan untuk bersedekah sekali lagi. Kemudian ia bersedekah
secara diam-diam, dan ternyata sedekahnya jatuh ke tangan seorang
wanita (ia beranggapan bahwa seorang wanita tidaklah mungkin menjadi
seorang pencuri). Pada keesokan paginya, orang-orang kembali
membicarakan peristiwa semalam, bahwa ada seseorang yang bersedekah
kepada seorang pelacur. Orang yang memberi sedekah tersebut berkata,
“Ya Allah, segala puji bagi-Mu, sedekah saya telah sampai ke tangan
seorang pezina.” Pada malam ketiga, ia keluar untuk bersedekah secara
diam-diam, akan tetapi sedekahnya sampai ke tangan orang kaya. Pada
keesokan paginya, orang-orang berkata bahwa seseorang telah bersedekah
kepada seorang kaya. Orang yang telah memberi sedekah itu berkata, “Ya
Allah, bagi-Mu segala puji. Sedekah saya telah sampai kepada seorang
pencuri, pezina, dan orang kaya.” Pada malam berikutnya, ia bermimpi
bahwa sedekahnya telah dikabulkan oleh Allah swt. Dalam mimpinya, ia
telah diberitahu bahwa wanita yang menerima sedekahnya tersebut adalah
seorang pelacur, dan ia melakukan perbuatan yang keji karena
kemiskinannya. Akan tetapi, setelah menerima sedekah tersebut, ia
berhenti dari perbuatan dosanya. Orang yang kedua adalah orang yang
mencuri karena kemiskinannya. Setelah menerima sedekah tersebut,
pencuri tersebut berhenti dari perbuatan dosanya. Orang yang ketiga
adalah orang yang kaya, tetapi ia tidak pernah bersedekah. Dengan
menerima sedekah tersebut, ia telah mendapat pelajaran dan telah timbul
perasaan di dalam hatinya bahwa dirinya lebih kaya daripada orang yang
memberikan sedekah tersebut. Ia berniat ingin memberikan sedekah lebih
banyak dari sedekah yang baru saja ia terima. Kemudian, orang kaya itu
mendapat taufik untuk bersedekah.” (Kanzul-‘Ummâl)
sumber: Hadits Nabi SAW tentang sedekah
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni).
Pages
▼
Rabu, 29 Mei 2013
Hidup Sederhana
Nafsu manusia kadang seperti air. Tak pernah henti untuk selalu mengalir. Selama masih ada celah, di situlah air mengalir. Bedanya dengan air yang mengalir ke tempat lebih rendah, nafsu terus mengalir ke arah sebaliknya.
Manusia bisa dibilang makhluk yang jarang cepat puas. Selalu saja ujung dari sebuah pencarian lagi-lagi bertemu pada satu titik: kurang. Keadaan itu persis seperti orang yang selalu mendongak ke atas. Dan lengah menatap ke bawah.
Itulah kenapa orang tanpa sadar kehilangan daya peka. Kepekaannya dengan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Bahkan mungkin, di tengah hiruk pikuknya mengejar yang atas, tanpa terasa kalau yang di bawah terinjak-injak. Jadi, pisau kepekaan bukan sekadar tumpul, bahkan berkarat sama sekali.
Orang menjadi tidak mampu menyelami apa yang terjadi di sekelilingnya. Sulit merasakan kalau di saat kita terlelap dalam keadaan kenyang, sejumlah tetangga terus terjaga karena menahan perut yang lapar. Sulit menangkap keinginan anak-anak tetangga untuk tetap bersekolah, ketika sebagian kita tengah sibuk mencari sekolah top buat anak-anak, berapa pun mahalnya.
Ketidakpekaan itu akhirnya menggiring diri untuk tampil tak peduli. Kesederhanaan menjadi barang langka. Ada semangat tampil serba wah. Ada bahasa yang sedang diungkapkan, “Saya memang beda dengan kalian!”
Ketika terjadi proses melengkapi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan mungkin hal-hal lain seperti alat komunikasi; ada pergeseran yang nyaris tanpa terasa. Sebuah pergerseran dari nilai fungsi kepada nilai gengsi.
Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok itu tidak lagi menimbang sekadar fungsi, tapi lebih kepada gengsi. Ada sesuatu yang sedang dikejar dari proses pemenuhan itu: trend dan gengsi. Biasanya, nilai gengsi jauh lebih mahal dari nilai fungsi. Bahkan, bisa berkali-kali lipat.
Di sisi lain, ada semacam ketergantungan dengan penampilan mode yang tentu saja datang dari negeri pedagang budaya. Mereka begitu pintar mengemas barang dagangan dalam bentuk yang sangat menarik. Halus, tanpa kesan menggurui. Kemasan bisa melalui film, berita mode dan sebagainya. Tanpa sadar, orang sedang terhipnotis dalam cengkeraman para pedagang budaya. Repotnya, ketika pedagang budaya sebagian besar menuhankan hidup materialistis. Semua tanpa sadar menuhankan gengsi.
Mungkinkah perilaku konsumsi seperti itu hinggap dalam diri umat Islam? Masalahnya memang bukan sekadar muslim atau bukan. Tapi sejauhmana umat Islam memahami nilai budaya Islam. Dan membumikannya dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Mereka yang tidak paham dengan Islam biasanya memang tidak peduli dengan urusan orang lain. Walaupun itu satu keyakinan. Tidak ada ajaran yang menyentuh hati mereka untuk mau memperhatikan nasib saudaranya. Hidup bagi mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak ada hubungannya dengan orang lain.
Sementara Islam, sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Bahkan nilainya bisa sama dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim)
Selain tumpulnya kepekaan dan kungkungan trend budaya orang lain, ada sebab lain yang membuat orang jauh dari sederhana. Itulah imperiority, atau merasa rendah di hadapan orang lain. Rasa rendah diri itu memompa segala daya yang dimiliki untuk tampil melebihi orang yang dianggap lebih. Paling tidak, ada kepuasan diri jika tampilan bisa dianggap lebih.
Penyakit seperti itu biasa hinggap di negeri-negeri jajahan. Mereka biasa hidup susah. Sementara para penjajah hidup mewah. Ketika kesempatan hidup mewah terbuka lebar, sifat rendah diri berubah menjadi jiwa eksploitasi. Apa pun yang bisa diraih, diambil sebanyak-banyaknya demi kepuasan tampil lebih.
Hal itulah yang diwaspadai Khalifah Umar bin Khaththab ketika mencermati para gubernurnya. Ia khawatir, di saat kesempatan terbuka lebar, para gubernur hilang kesadaran. Umar pernah menghukum Amru bin Ash, sang gubernur Mesir kala itu yang berbuat semena-mena terhadap seorang rakyatnya yang miskin.
Seorang gubernur yang bertugas di Hamash, Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Sang khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur diminta menjadi penggembala domba sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.
Teladan lain pernah diperlihatkan sahabat Rasul yang bernama Mush’ab bin Umair. Pemuda kaya ini tiba-tiba berubah drastis ketika memeluk Islam. Ia yang dulu selalu tampil trendi, serba mewah, menjadi pemuda sederhana yang hampir seratus persen berbeda dengan sebelumnya. Bahkan Mush’ab rela meninggalkan segala kekayaannya demi menunaikan dakwah di Madinah.
Ada yang menarik dari seorang mantan duta besar Jerman untuk Al-Jazair. Beliau bernama Wilfred Hoffman. Setiapkali mengunjungi pesta kalangan diplomat atau pejabat negara, isterinya selalu menjadi pusat perhatian.
Pasalnya, di acara-acara bergengsi seperti itu, isterinya tidak pernah mengenakan busana dan perhiasan mewah. Sebuah kenyataan di luar kelaziman buat kalangan petinggi negara seperti Jerman. Bagaimana mungkin seorang duta besar negara kaya bisa tampil ala kadarnya. Padahal, para pejabat dari negara miskin saja bisa tampil gemerlap. Ada apa?
Ternyata, Hoffman dan isterinya memang sengaja seperti itu. Ia lebih memilih hidup sederhana, ketimbang tampil mewah. Justru, dengan tampilan seperti itulah, Hoffman dan isterinya lebih dianggap daripada dubes dan pejabat lain yang hadir.
Meraih segala kemampuan materi memang sulit. Tapi lebih sulit lagi mengendalikannya menjadi tampilan sederhana. Karena nafsu memang tidak pernah berhenti mengalir ke segala arah.
Sumber : www.dakwatuna.com
Oleh: Muhammad Nuh