Oleh: Mochamad Bugi
“Telah
dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka
berada dalam kelalaian lagi berpaling.” (Al-Hajj: 1)Maha Kuasa Allah
yang menciptakan arena bumi sebagai sarana ujian. Kekayaan alam yang
begitu melimpah. Sungai-sungai jernih yang melahirkan kehidupan. Hujan
yang membangkitkan harapan. Dari situlah, hamba-hamba Allah membuktikan
diri: apakah ia sebagai hamba yang konsisten atau dusta.
Ada
baiknya berhati-hati dengan yang boleh. Tak ada yang tanpa batas di
dunia ini. Karena sunnatullah dalam alam, semua tercipta dalam takaran
tertentu. Dari takaran itulah, keseimbangan bisa langgeng. Termasuk
keseimbangan dalam diri manusia.
Kalau keseimbangan goyah, yang
muncul adalah kerusakan. Dalam diri manusia, ada tiga keseimbangan yang
mesti terjaga: keseimbangan akal, rohani, dan fisik. Satu keseimbangan
terganggu, seluruh fisik mengalami kerusakan.
Ketidakseimbangan
bukan cuma dari sudut kekurangan. Berlebih-lebihan pun bisa memunculkan
ketidakseimbangan. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis.
Di antara urusan fisik adalah makan dan minum.
Allah
swt. berfirman, “….makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(Al-A’raf: 31)
Berlebih-lebihan dalam makan dan minum, walaupun
halal, bisa memunculkan penyakit. Lebih dari lima puluh persen sumber
penyakit berasal dari lambung. Karena itulah, Rasulullah saw. meminta
kaum muslimin untuk mengerem makan. Dan cara yang paling bagus adalah
dengan puasa. Beliau saw. mengatakan, “Berpuasalah, niscaya kamu akan
sehat.” (Al-hadits)
Masih banyak hal boleh lain yang mesti pas
dengan takaran. Di antaranya, hubungan seksual suami istri, tidur, dan
juga bersantai.
Sayangnya, ada kecenderungan manusia senang
bersantai. Sudah menjadi sifat dasar manusia memilih jalan yang gampang
daripada yang sukar. Lebih memilih santai ketimbang banyak kerja. “Maka
tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.”
(Al-Balad: 11)
Santai pada timbangan yang proporsional memang
bagus. Karena itu bermakna istirahat. Dari istirahatlah keseimbangan
baru bisa lahir. Dengan istirahat, lelah bisa tergantikan dengan
kesegaran baru.
Tapi, ketika santai tidak lagi proporsional, yang
muncul hura-hura dan kemalasan. Orang menjadi begitu hedonis. Orientasi
bergeser dari keimanan kepada serba kesenangan. Saat itu, santai tidak
cuma menggusur jenuh, tapi juga kewajiban-kewajiban. Bisa kewajiban
sebagai suami, anak, dan juga sebagai hamba Allah swt.
Di antara
ciri orang beriman adalah berhati-hati dengan perbuatan yang sia-sia.
Allah swt. berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun:
1-3)
Rasulullah saw. mewanti-wanti para sahabat agar berhati-hati
dengan waktu senggang. Beliau saw. bersabda, “Ada dua kenikmatan yang
membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang.”
(HR. Bukhari)
Ada banyak cara menggusur letih dan jenuh. Letih
dan jenuh kadang tidak cuma bisa disegarkan dengan santai. Ada banyak
cara agar penyegaran bisa lebih bermakna dan sekaligus terjaga dari
lalai.
Para sahabat Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan
tilawah, zikir, dan shalat sunnah. Itulah yang biasa mereka lakukan
ketika suntuk saat jaga malam. Bergantian, mereka menunaikan shalat
malam.
Bentuk lainnya adalah bermain dengan istri dan anak-anak.
Rasulullah saw. pernah lomba lari dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain
‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Dari sini,
santai bukan sekadar menghilangkan jenuh. Tapi juga membangun
keharmonisan keluarga.
Rasulullah saw. mengatakan, “Orang yang
cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan beramal untuk bekal
sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan
berangan-angan muluk terhadap Allah.” (HR. Abu Daud)
Dan harus
kita sadari betul, ada pihak lain yang mengintai kelengahan kita.
Pertarungan antara hak dan batil tidak kenal istilah damai. Tetap dan
terus berlangsung hingga hari kiamat. Dari situlah, saling mengintai dan
saling mengalahkan menjadi hal lumrah. Dan kewaspadaan menjadi hal yang
tidak boleh dianggap ringan.
Pihak yang jelas-jelas melakukan
pengintaian adalah musuh abadi manusia. Dialah iblis dan para sekutunya.
Allah swt. membocorkan itu dalam firman-Nya. “Iblis mengatakan, ‘Karena
Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya
akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan
dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Pihak lain adalah kelompok
manusia yang tidak suka dengan perkembangan Islam. Mereka selalu
mengintai kelemahan umat Islam, mengisi rumah-rumah umat Islam dengan
hiburan yang melalaikan. Bahkan, mengkufurkan. Masih banyak upaya lain
orang kafir untuk menghancurkan Islam.
Karena itu,
berhati-hatilah dengan waktu luang. Kalau tidak bisa diisi dengan yang
produktif, setidaknya, isilah dengan yang tidak melalaikan.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/berhati-hatilah-dengan-waktu-luang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar