Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi
sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang
sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt.
----------
Milist Sabili
Apa
salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi
sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang
sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang
membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada
pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya.
Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan
saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling
dari kebenaran.
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah
hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi
selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan
mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi
anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi
hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai prinsip hidup.
Bagi seorang
muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda
kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya
maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal
mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh
anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis).
Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang
Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu
ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang
membaca Al Qur'an, ketika sampai pada ayat: "Hari (ketika) manusia
berdiri menghadap Tuhan semesta alam" (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat
itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya
seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah
betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan
merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati
mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.
Bukankah
diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari
dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa
kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata?
Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika
hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam
kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang
bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan
menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa
berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.
Di zaman
ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan
senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga lembutan dan kepekaan
jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran
umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat
menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak
akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika
tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan
fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan
segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong
dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan
semesta alam.
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap
kebenaran. "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada
rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab
mereka sendiri) seraya berkata: "Ya Robb kami, kami telah beriman, maka
catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al
Qur'an dan kenabian Muhammad)". (QS. Al Maidah: 83).
Ja'far bin
Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada
seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah
dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya
kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan
hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja
yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.
Orang yang
keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah.
Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa
atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan
seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah
Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika
Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, "Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling
bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun
bagi mereka". (QS. An Nisa': 145)
Barangkali di antara kita yang
belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur'an,
menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah
karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena
tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal
demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman
dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit
tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. "Maka mereka
sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang
selalu mereka kerjakan". (QS At Taubah: 82).
Sumber : http://oaseqalbu.net/modules.php?name=News&file=article&sid=8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar