Oleh: Abu Ahmad
Bahagia saat menunaikan zakat fitrah
Selain
sedekah dan zakat maal yang ditunaikan umat Islam pada bulan ramadhan
karena berharap dilipatgandakan pahalanya adalah zakat fitrah.
Namun
jika sedekah dan zakat maal atau yang sejenisnya dapat ditunaikan pada
bulan lain diluar bulan ramadhan maka zakat fitrah dikeluarkan dan
diwajibkan hanya pada ramadhan saja. Dan inilah salah satu ciri khas
kedua dari bulan Ramadhan. Sebagaimana sebelumnya telah dibahas tentang
bahagia saat menunaikan shalat tarawih pada bulan ramadhan, karena
pada bulan inilah shalat tarawih digalakkan secara berjamaah setelah
shalat Isya oleh umat Islam di seluruh dunia sementara pada bulan tidak
dianjurkan kecuali dengan menunaikan qiyamullail. Adapun ibadah khusus
lainnya yang hanya dilaksanakan pada bulan ini adalah zakat fitrah
yaitu kewajiban mengeluarkan harta dalam bentuk tertentu (makanan
pokok) dengan kadar tertentu dari setiap muslim sejak awal bulan
ramadhan hingga terbit fajar menjelang ditunaikannya shalat idul fitri
yang diberikan untuk orang-orang fakir dan miskin.
Kewajiban
ini dikenakan kepada setiap individu umat Islam yang kedapatan pada
tahun itu bulan ramadhan, termasuk seorang bayi yang baru dilahirkan
oleh ibunya sebelum berakhir masa ramadhan juga terkena kewajiban
mengeluarkan zakat tersebut yang mana orang tua bayi tersebut
berkewajiban membayarkan zakat fitrahnya.
Dan
Zakat Fitri, atau yang lazim disebut zakat fitrah, juga disebut sebagai
penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Hal tersebut karena Allah SWT
mensyariatkan atas umat untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban
puasa Ramadhan walaupun boleh ditunaikan sejak awal hadirnya bulan
Ramadhan hingga menjelang dimulainya shalat idul fitri.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
فَرَضَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِيْنِ
“Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah sebagai
penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan
kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang
miskin.” (Abu Daud, Ibnu Majah)
Makna Zakat Fitrah
Makna
dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu
asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa. Dan
dari berbagai ucapan para ulama tentang wajib fitrah maksudnya wajib
zakat fitrah. Dan istilah zakat fitrah dikalangan para ulama dan
masyarakat awam lebih populer disebut ِ zakat fithri atau shadaqah
fithri. Dan kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa
Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan
puasa bulan Ramadhan.
Hukum Zakat Fitrah
Jumhur ulama menegaskan bahwa zakat fitrah hukumnya wajib. Dasarnya adalah hadits Nabi saw:
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى
وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ
تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Ibnu Umar
ra ia mengatakan: “Rasulullah Saw menfardhukan zakat fitri satu sha’
kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki,
wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan
untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).”
(Bukhari dan Muslim)
Dari hadits diatas tampak jelas bahwa Nabi mewajibkan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.
Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?
Nabi
Saw telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut
dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun
perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi
untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu
Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat
dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada
walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak
kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya
nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat
At-Tamhid, 14/326-328, 335-336) Demikian pula budak hamba sahaya
diwakili oleh tuannya.
Imam Nafi’ mengatakan:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ
“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Al-Bukhari)
Orang yang tidak mampu wajib berzakat fitrah
Ibnul
Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu
melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban
tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni
gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.”
(Bada`i’ul Fawa`id, 4/33)
Adapun kriteria tidak mampu dalam hal
ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan
sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka
tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari
makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai
ukurannya (zakat fitrah).” (Ad-Darari, 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah,
1/553, lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369)
Bentuk Zakat Fitrah
Zakat
fitrah pada dasarnya berupa bentuk makanan pokok pada setiap individu.
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi
dengan riwayat berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ
“Dari Abu
Sa’id radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di
zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum,
ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Bukhari dan Muslim)
Kata
Tho’am (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri
baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat
ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:
قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ
فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا
الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Ia mengatakan:
‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah
Saw pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami
saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Bukhari)
Di
sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan
miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan
pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Namun permasalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama;
Pendapat pertama:
Tidak
boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik,
Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Daud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa
yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat
sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini
bentuknya harus mengikuti perintah Allah SWT. Selain itu, jika dengan
uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya.
Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang
disebut dalam hadits.
Imam Nawawi berkata: “Ucapan-ucapan
Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya
(uang).” (Al-Majmu’, 5/401). Sementara itu Abu Daud berkata: “Aku
mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi uang dirham
-yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah,
menyelisihi Sunnah Rasulullah’.” Begitu pula Ibnu Qudamah berpendapat:
“Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada
zakat.” (Al-Mughni, 4/295)
Pendapat kedua:
Boleh
mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia
keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402,
Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)
Atas dasar
itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada
amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil
dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya–
untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan
uang.
Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam
bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika
yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih
mempermudah bagi orang kaya.
Ini merupakan pilihan Ibnu
Taimiyyah. Beliau berkata: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada
kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau
tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang
dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih
dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari
Tamamul Minnah, hal. 380)
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’
Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang
tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena
jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si
pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam
penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan uang
karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa….”
Yang
perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat
diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh
sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah
ini.
Ukuran yang Dikeluarkan
Dari hadits-hadits yang lalu
jelas sekali bahwa Nabi Saw menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1
sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu? Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1
mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa
bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa
tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama
sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.
Dewan
Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai al-marhum
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan para anggotanya
memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371) Adapun Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)
Waktu Mengeluarkan zakat fitrah
Menurut
sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya
bulan Ramadhan. Namun Nabi Saw menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat
fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan
demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum
shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk
mencukupi mereka di hari itu.
Namun demikian, syariat memberikan
kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya
kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan
riwayat berikut ini:
كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَ يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ
الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dulu Abdullah bin Umar
memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya [1]. Dan dahulu mereka
menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Bukhari)
Dalam riwayat Malik dari Nafi’:
أَنَّ
عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى
الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Bahwasanya
Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat
dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.”
(Al-Muwaththa’)
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat
daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat
pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.
Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id
Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah Saw berikut ini:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ
صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Dari Ibnu Abbas ra berkata:
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang
berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai
pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa
menunaikannya sebelum shalat (Ied) maka itu zakat yang diterima. Dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sekedar
sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Abu Daud danIbnu Majah)
Ibnul
Qayyim berkata: “Konsekwensi dari dua [2] hadits tersebut adalah tidak
boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa
kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang
benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula
yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat
dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah)
menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21) Atas
dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir
setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakilkan kepada yang lain
untuk menerimanya.
Sasaran Zakat Fitrah
Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama
mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara
khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah
sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam
surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat
dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
Dari Ibnu Abbas ra
berkata: “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi
orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor
serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”
Ibnul
Qayyim mengatakan: “Diantara petunjuk beliau Saw, zakat ini dikhususkan
bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada 8 golongan
secomot-secomot. Beliau tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak
seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula
orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’
Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa
Ramadhan, 2/936)
Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan
zakat fitrah untuk pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya.
Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).
Definisi Fakir dan Miskin
Fakir
adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi
kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan
setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.
Para ulama
banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding
dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian
tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan membutuhkan
pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas
pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya
(8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal
perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Diantaranya,
bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat
Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari
Imdadul Qari, 1/236-237)
Diantara alasannya adalah karena Allah SWT lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”
Tentu Allah SWT menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah SWT berfirman:
أَمَّا
السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ
فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ
سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak
bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera…”
Allah SWT menyebut mereka miskin padahal
mereka memiliki kapal. Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak
punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Standar zakat yang Diberikan kepada Mereka
Bahwa
zakat fitrah yang diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan
kemiskinan mereka. Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin
diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah
Bahwa
Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun jika
wakil atau walinya mengeluarkannya di daerah tempat yang bersangkutan
tidak ada di sana, maka diperbolehkan.
Hikmah kewajiban zakat fitrah
Dalam
yang disebutkan tentang kewajiban zakat fitrah nabi saw menyebutkan
tujuan zakat fitrah dan itu juga menjadi hikmah dari kewajiban berzakat
yaitu dua perkata:
1. Bagi yang menunaikan zakat fitrah berupa
kesucian jiwa dan penyempurna puasa dari tindakan dan perilaku yang
tidak berguna pada saat menjalankan ibadah puasa.
2. Bagi yang menerima zakat fitrah berupa kesenangan dan pemenuhan kebutuhan pada saat umat Islam bergembira.
Dari
dua hikmah diatas dapat kita simpulkan bahwa zakat dapat memberikan
kebaikan kepada dua pihak; muzakki dan mustahik. Tumbuhnya kepedulian
dari kalangan umat Islam antara muzakki dan mustahik. Islam sangat
konsen dalam mengentaskan kemiskinan, apalagi jika kita pahami secara
mendalam kewajiban zakat secara umum. Jika hal ini dapat diwujudkan
secara baik dan optimal maka tidak akan ada lagi orang-orang miskin,
tidak ada lagi orang-orang yang keluar dari rumah untuk meminta-minta,
berdiri di trotoar jalan, berkeliling kampung, masuk gang dan lorong
untuk meminta zakat dari orang-orang kaya.
Berbahagialah orang
yang dianugrahkan banyak harta oleh Allah SWT, dan berbahagi pula bagi
mereka yang mampu membayarkan zakatnya; zakat mal, zakat fitrah dan
sedekah.
Sumber : http://www.al-ikhwan.net/bahagia-bersama-ramadhan-17-bahagia-saat-menunaikan-zakat-fitrah-di-bulan-ramadhan-3992/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar