Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com - “Seseorang sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya, maka hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan setia.” (HR. Ahmad)
Maha
Agung Allah yang telah menganugerahkan jiwa-jiwa persaudaraan buat
seorang mukmin. Ada kebahagiaan tersendiri ketika hidup dengan banyak
teman dan saudara seiman. Mungkin, itulah di antara bentuk keberkahan.
Namun, tidak semua pertemanan berujung kebaikan. Perlu kiat tersendiri agar niat baik pun menghasilkan yang baik.
Mengenali teman dengan baik
Islam
adalah agama yang santun. Seperti itulah ketika Islam mengajarkan
umatnya untuk senantiasa mendahului salam. Mendahului salam sangat
dianjurkan Rasulullah saw., kepada yang kita kenal atau belum: “…berilah
salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang belum kamu kenal.”
(Muttafaqun ‘Alaih)
Dari salam inilah hal
pertama yang bisa didapat dari calon teman adalah muslimkah dia. Paling
tidak, ada gambaran sejauh mana tingkat keislaman orang itu. Karena
seorang muslim yang baik paham kewajiban menjawab salam.
Setelah
saling berbalas salam, jalinan perkenalan dirangsang dengan mengenalkan
diri si pemberi salam terlebih dahulu. Dari situlah tukar informasi diri
berlangsung lancar. Dan senyum merupakan ungkapan tersendiri yang
mensinyalkan rasa persaudaraan dan perdamaian. Rasulullah saw. bersabda,
“Jiwa-jiwa manusia ibarat pasukan. Bila saling mengenal menjadi rukun
dan bila tidak saling mengenal timbul perselisihan.” (HR. Muslim)
Namun,
satu momen perkenalan itu jelas belum cukup. Butuh interaksi secara
alami. Setelah itu, waktu dan jumlah pertemuanlah yang menentukan.
Apakah perkenalan berlanjut pada persaudaraan. Atau sebaliknya, sekadar
kenal saja. Dan keinginan kuat untuk bersaudara mesti diutamakan dari
sekadar kenal. Terlebih persaudaraan karena jalinan iman dan takwa.
Allah
swt. mengisyaratkan itu dalam surah Al-Hujurat ayat 13. “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Walau
pada tingkat persaudaraan, perkenalan bukan berarti sesuatu yang sudah
usai. Karena kehidupan manusia tidak diam. Ia selalu bergerak, berubah,
dan berganti. Termasuk pada sikap dan karakter. Boleh jadi, seseorang
bisa terheran-heran dengan perubahan teman lama yang pernah ia kenal.
Karena ada yang beda dalam fisik, sikap, karakter, bahkan keyakinan.
Perubahan-perubahan
itulah menjadikan seorang mukmin senantiasa menghidupkan nasihat.
Mukmin yang baik tidak cukup hanya mampu memberi nasihat. Tapi, juga
siap menerima nasihat. Dari nasihat itulah, hal-hal buruk yang baru
muncul dari seorang teman bisa terluruskan.
Seperti itulah firman
Allah swt. dalam surah Al-‘Ashr ayat 1 sampai 3. “Demi masa.
Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati supaya
mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.”
Mewaspadai dampak buruk seorang teman
Buruk
sangka dalam pertemanan memang tidak dibenarkan Islam. Tapi, ketika ada
fakta-fakta yang menyatakan tidak bagusnya seorang teman, dan nasihat
sudah tidak lagi ampuh, kewaspadaan mungkin jadi jalan terakhir. Karena
tidak tertutup kemungkinan, keburukan bisa menular. Paling tidak, agar
tidak kecipratan air busuk temannya.
Rasulullah saw. bersabda,
“Kawan pendamping yang saleh ibarat penjual minyak wangi. Bila dia tidak
memberimu minyak wangi, kamu akan mencium keharumannya. Sedangkan kawan
pendamping yang buruk ibarat tukang pandai besi. Bila kamu tidak
terjilat apinya, kamu akan terkena asapnya.” (HR. Bukhari)
Mewaspadai
tidak berarti memutus pertemanan buat selamanya. Apalagi menyebar hawa
permusuhan dan kebencian. Karena boleh jadi, sifat buruk bisa berubah
baik. Sebagaimana, baik menjadi buruk. Kontribusi sebagai seorang teman
mesti terus mengalir. Paling tidak, dalam bentuk doa.
Berhati-hati mencintai seseorang
Cinta
tidak melulu antara laki dan wanita. Ada cinta lain yang berwarna
persaudaraan dan pertemanan. Karena ikatan suku, profesi, sekelompok
orang bisa saling mencintai. Begitu pun dalam ikatan persaudaraan Islam.
Rasulullah saw. mengatakan, “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu
sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri.”
Umumnya, cinta punya rumus: saling kenal, saling paham,
saling cinta, dan saling berkorban. Tapi, ada cinta yang datang
tiba-tiba. Mungkin karena ada sesuatu yang menarik dari penampilan
fisik, cinta langsung berbunga. Atau, karena ada seseorang yang begitu
murah hati dan dermawan, cinta bisa langsung tumbuh pesat. Ada utang
budi yang berinti cinta. Kalau sudah begitu, pengorbanan menjadi sesuatu
yang amat ringan.
Kalau orang yang cepat dicintai itu memang
layak dicintai, simpati dan pengorbanan tentu akan berbuah kebaikan.
Tapi, bagaimana jika yang tiba-tiba dicintai itu punya maksud tidak
baik. Karena kelihaian, atau karena sudah jadi profesi, cinta bisa
dimanipulasi menjadi alat efektif melakukan penipuan.
Karena itu,
Rasulullah saw. mewanti-wanti dalam mencintai seseorang. Cinta bisa
menghilangkan daya kritis dan rasionalitas seseorang. Beliau saw.
besabda, “Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli.” (HR.
Abu Dawud dan Ahmad)
Berteman dan bersaudara memang menjadi
sebuah kenikmatan tersendiri buat seorang mukmin. Pertemanan seperti itu
tidak hanya bermanfaat di dunia, tapi juga di akhirat. Begitulah sabda
Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah pada Hari Kiamat berseru, ‘Di mana
orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini
akan Aku lindungi mereka dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada
perlindungan, kecuali per-lindungan-Ku.” (HR. Muslim)
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/boleh-cinta-jangan-cinta-buta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar