Oleh: Ulis Tofa, Lc
Predikat
taqwa yang menjadi tujuan diperintahkannya ibadah shaum Ramadhan dan
ibadah-ibadah lain -baik ibadah yang berhubungan Vertikal langsung
dengan Allah swt maupun ibadah horisontal- ternyata tidak menjadi
prestasi puncak lalu berhenti, setelah itu selesai, bahkan mati.
Meraih
predikat taqwa membutuhkan proses perjuangan panjang dalam hidup.
Sehingga taqwa berarti sesuatu yang hidup, aktif, berkembang dan
berkesinambungan. Madal hayah –seumur hidup-.
Mari kita renungkan panggilan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai. Allah swt berfirman:
“Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”.
orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi
Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah
yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Katakanlah:
“Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
Dan Aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”.
Katakanlah: “Sesungguhnya Aku takut akan siksaan hari yang besar jika Aku durhaka kepada Tuhanku”.
Katakanlah:
“Hanya Allah saja yang Aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agamaku”. QS. Az Zumar : 10-14.
Kontinyu dalam Bertaqwa
Perhatikan,
Allah swt memanggil orang beriman dengan panggilan kecintaan, kedekatan
dan kehangatan; Wahai hamba-hamba-Ku, ini menunjukkan panggilan itu
disukai Allah swt. Persis seperti sabda Nabi saw, ”Nama dan panggilan
yang paling Allah sukai adalah Abdullah (nisbat penghambaan kepada
Allah) dan Muhammad (yang terpuji).”
Setelah itu Allah swt
memerintahkan hamba-hamba-Nya yang benar tauhidnya agar bertaqwa. Ini
menunjukkan bahwa untuk mendapatkan derajat taqwa di sisi Allah swt
memerlukan perjuangan terus-menerus dan proses madal hayah (Tafsir Ibnu
Katsir).
Dengarlah ungkapan sahabat Abu Bakar, ”Demi Allah,
seandainya salah satu kaki saya berada di surga, sedangkan kaki yang
lain masih di luarnya, maka aku tidak merasa aman dari makar Allah swt.”
Semua
kosa kata dan terminologi yang berarti ketaatan, kebaikan, manfaat,
amal shaleh, produktifitas adalah bagian dari taqwa. Sisi lain yang
berarti keburukan, kesia-siaan, kemunkaran, pemborosan dan maksiat
adalah yang merusak taqwa.
Lanjutan ayat ini berbunyi, ”Bagi orang-orang yang ihsan atau berbuat baik dalam kehidupan dunia akan mendapatkan kebaikan.”
Akar
kata ihsan berikut turunannya (ahsanu, muhsinin dan ihsan) di dalam Al
Qur’an sedikitnya terdapat di lima puluh tempat, yang kesemuanya
bermakna kebaikan, amal positif, menuju proses sempurna, dan membawa
manfaat.
Sebagaimana ihsan dalam terminologi Rasulullah saw
adalah ”Anda beribadah kepada Allah, seakan-akan Anda melihatnya. Jika
Anda tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah Ia melihat Anda.” . Ihsan
disini bermakna kesungguhan dalam kebaikan dan ta’at.
Dalam
kesempatan lain Rasulullah saw mendefinisikan ihsan dengan berbuat baik
secara optimal. ”Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat ihsan dalam
segala hal. Jika kamu menyembelih, maka sembelihnya dengan
sebaik-baiknya.”.
Ihsan juga berarti profesional, tepat waktu,
dan proses menuju sempurna. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah
mencintai seseorang yang apabila melaksanakan sesuatu atau pekerjaan,
ia laksankan dengan sempurna.”
Sukses Sampai Akhir Ramadhan
Kalau
kita hubungkan dengan konteks Ramadhan, maka bagaimana kita akhirnya
terus bersemangat mengisi Ramadhan sampai selesai selama sebulan penuh,
bukan hanya semangat di awalnya saja. Padahal hari-hari terakhir
Ramadhan menjadi penentu kesuksesan kita dalam bulan ini.
Saudaraku,
Rasulullah saw adalah menjadi bukti konkrit untuk kita teladani. Adalah
beliau dalam hidupnya tidak pernah meninggalkan i’tikaf di masjid.
Selama delapan atau sembilan kali beliau terus melaksanakan i’tikaf
tersebut. Bahkan di tahun di mana beliau meninggal dunia, beliau i’tikaf
dua puluh hari akhir Ramadhan.
Rasulullah saw adalah seorang
Nabi, kepala negara, suami, ayah dan otomatis tanggung jawab beliau
sangat besar mengurus ummatnya, namun beliau tidak pernah meninggalkan
ibadah ini, dengan alasan apapun termasuk pulang kampung. Ya, Rasulullah
saw tidak pernah pulang kampung di hari-hari nan mahal di mata Allah
swt ini.
Rasulullah saw menyibukkan diri dengan taqarrub ilallah,
munajat, tilawah Al Qur’an, do’a, istighfar, muhasabah dan lainnya.
Gambaran menghidupkan malam-malam itu beliau istilahkan sendiri dengan
ungkapan ”Syaddul mi’zar. Mengencangkan ikat pinggang”. Beliau juga
membangunkan keluarganya untuk begadang di malam-malam akhir Ramadhan.
Rahasianya adalah untuk meraih lailatul qadar. Sunnah ini dilanjutkan
oleh para istri-istri Rasulullah saw dan para sahabatnya radliyallahu
ajma’in.
Rasulullah saw, istri-istrinya dan para sahabat
radliyallahu ajma’in mengajarkan kepada kita untuk pandai mengambil
prioritas amal, mana yang harus di dahulukan dan mana yang harus di
akhirkan.
Lanjutan ayat ini menekankan kembali untuk bisa
mengambil prioritas amal itu, ”Dan bumi Allah itu luas . Para ahli
tafsir sepakat yang dimaksud ayat ini adalah perintah untuk berhijrah
dan berjihad. Salah satu bentuk hijrah dan jihad dalam konteks kita,
yang tidak ada peperangan adalah meningkatkan ketaatan dan mujahadah
dalam kebaikan. Memburu lailatul qadar adalah bagian dari hijrah dan
jihad ini, sebagaimana dicontohkan para salafus shaleh.
Dunia tidak secekak daun kelor, ternyata peribahasa ini dinukil dari firman Allah swt ini.
Di
manapun kita menginjakkan kaki, di tempat kelahiran atau di rantau,
adalah sama saja di mata Allah swt. Artinya adalah jangan sampai kita
melewatkan hari-hari dan malam-malan mahal itu dengan alasan pulang
kampung, antri panjang di loket, macet di jalan dan seterusnya, hanya
karena mengejar, ”saya harus kumpul keluarga di hari raya”.
Bukan
itu yang dicontohkan nabi saw. Beliau orang yang tidak pernah memutus
hubungan tali silaturahim, dengan siapa pun apalagi dengan keluarga dan
kerabat. Namun beliau sangat tahu persis bahwa malam lailatul qadar itu
harus di raih dengan cara mengoptimalkan sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Untuk
melaksanakan i’tikaf di masjid memang membutuhkan perjuangan yang
besar, membutuhkan keseriusan yang tinggi dan kesungguhan dalam
melaksanakannya. Banyak godaan dan tantangn untuk melakukan i’tikaf ini.
Apakah karena alasan persiapan lebaran lah, atau bahkan animo dan
persepsi masyarakat yang tidak benar, bahwa ”lebaran harus kumpul dengan
keluarga”.
Saudaraku, permasalahannya adalah karena kita belum
mempersiapkan ibadah ini jauh-jauh hari, serta belum memahamkan anggota
keluarga kita bahwa ibadah sepuluh hari terkahir ini meskipun hukumnya
sunnah muakkadah, namun tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
Kalau toh pulang kampung bisa setelah shalat idul fitri. Sehingga kedua
hasanah atau keutamaan bisa diraih sekaligus. Hasanah lailatul qadar dan
silaturahim lebaran.
Kuatkan Kesabaran
Bagi orang yang
mampu melawan godaan dan tantangan itu akan mendapatkan balasan tak
terhingga. Allah swt menepati janjinya, ”Balasan orang yang sabar dalam
ketaatan adalah pahala tanpa batas.” Sesuatu yang masih bisa dibilang
dengan secanggih alat apapun, masih terhitung sedikit. Namun bagi orang
yang sabar dalam ketaatan mendapatkan balasan bighairi hisab –tak
terhitung-.
Saudaraku, balasan bagi orang yang sungguh-sungguh
menghidupkan malam-malam sepuluh akhir Ramadhan akan mendapatkan
kebaikan tak ternilai harganya. lailatul qadar bagian dari kebaikan tak
ternilai harganya itu.
Saudaraku, pengorbanan dan keseriusan itu
justru menjadi bukti kesungguhan peribadatan kita kepada Allah swt. Ayat
selanjutnya Allah swt menyeru:
”Katakanlah, saya diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan ketundukan total dalam agama.”
Bahkan
kita disuruh Allah swt agar menjadi orang muslim pertama dalam
ketaatan. Bangga menjadi muslim yang taat. Allah swt berfirman: ” Dan
Aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”.
Menjadi Insan Rabbani
Saudaraku,
Allah swt menginginkan dari kita, agar menjadi insan Rabbani, bukan
insan ramadhani. Yang taqwa kepada Allah swt di bulan Ramadhan, juga di
luar bulan Ramadhan. Karena itu kita dipesan untuk takut berbuat dosa
dan maksiat lagi pasca Ramadhan. Allah swt berfirman:
Katakanlah: “Sesungguhnya Aku takut akan siksaan hari yang besar jika Aku durhaka kepada Tuhanku.
Katakanlah: “Hanya Allah saja yang Aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. Allahu A’lam
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/ku-gapai-sukses-ramadhan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar