Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com – Membangun
kesalehan diri kadang seperti berkendaraan di jalan yang sepi. Harus
mampu mengukur situasi: apakah kendaraan melaju terlalu cepat, atau
sangat lambat. Bahkan boleh jadi, keasyikan di suasana sepi bisa
membuat pengendara tertidur.
Ada doa menarik yang pernah
diucapkan Umar bin Khaththab r.a. Suatu kali, ia memohon pada Allah, “Ya
Allah, aku berlindung pada-Mu dari keganasan orang-orang durjana. Dan
dari kelemahan orang-orang saleh.”
Kalimat terakhir dari doa Umar
itu, mempunyai pelajaran tersendiri. Bahwa, kesalehan tidak selamanya
utuh. Ia bisa terjebak pada keasyikan ego. Bisa terperosok dengan
kelemahan diri yang terbungkus sebuah pandangan: dunia memang harus
dijauhi.
Dari situlah, orang-orang saleh menjadi mutiara yang
terbungkus. Yang cuma bernilai untuk dirinya sendiri. Tidak pernah
muncul di masyarakatnya. Tidak mau tampil membenahi lingkungannya yang
teranggap ‘kotor’.
Allah swt. pernah memberi pelajaran berharga
kepada seorang hamba-Nya yang sangat saleh, Yunus bin Mata. Ketika Nabi
Yunus pergi meninggalkan kaumnya yang ingkar, tanpa arahan dari Allah
swt., ia mendapat teguran. Teguran itu dirasakan Yunus ketika ia berada
dalam perut ikan paus. Ketika itu, ia merasakan tiga kegelapan: gelapnya
malam, gelapnya dasar lautan, dan gelapnya dalam perut ikan.
Saat
itulah, Yunus tersadar kalau ia telah meninggalkan tanggung jawab
besar. Ia bertasbih dan beristighfar. Firman Allah swt., “Dan (ingatlah
kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya. Maka, ia menyeru dalam
keadaan yang sangat gelap: tidak ada ilah selain Engkau. Maha Suci
Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.”
(Al-Anbiya’:87)
Kalau saja bukan karena tasbihnya, Nabi Yunus
tidak akan pernah keluar dari perut ikan. “Maka ia (Nabi Yunus) ditelan
ikan besar dalam keadaan tercela. Maka sekiranya dia tidak termasuk
orang-orang yang banyak mengingat Allah (musabbihin), niscaya ia akan
tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”
(Ash-Shaaffaat:142-144)
Mungkin, hampir tidak ada orang-orang
saleh saat ini yang pindah rumah karena lari dari tanggung jawab umat.
Tapi, mereka mungkin saja pindah bukan dalam arti fisik. Tapi, lebih
karena menyusutnya kepedulian. Mereka lebih betah berada di rumah dan
masjid, daripada berbaur dengan lingkungan. Lebih senang menyibukkan
diri dalam ‘pengasingan’ daripada melakukan perubahan.
Sayangnya,
lemah diri karena tidak mampu menghadapi kenyataan lingkungan seperti
menjadi prestasi. Dan setan terus menghibur, “Anda memang orang saleh.
Tidak ada orang sesaleh Anda. Teruslah jaga kebersihan diri Anda. Jangan
kotori dengan bergaul pada lingkungan yang kotor.”
Di tahun
keseratus hijriyah, ada seorang ahli ibadah yang begitu wara dan zuhud.
Beliau adalah Fudhail bin ‘Iyadh. Ia ingin menebus kekhilafannya di masa
lalu dengan tinggal di Baitul Haram. “Ya Allah, sungguh aku telah
bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku dengan tinggal di Baitul
Haram,” tekad Fudhail begitu kuat.
Sejak itu, Fudhail menyibukkan
diri dengan ibadah di masjidil Haram. Ia kerap menangis menyesali
dosa-dosa yang pernah terlakoni. Sedemikian seringnya menangis, hingga
di kedua pipinya terbentuk celah bekas aliran air mata.
Ia pun
menjaga keluarganya dari makanan yang subhat. Ia menolak semua hadiah
dari bangsawan dan raja-raja yang kebetulan berkunjung ke Baitul Haram.
Fudhail lebih sreg menghidupi keluarganya dengan mengurus air di Makkah.
Namun,
ia tidak menyangka kalau semua itu belum apa-apa. Kesalehan yang selama
ini ia jaga ternyata masih jauh dari yang semestinya. Itulah sebuah
pelajaran yang didapat Fudhail setelah bertemu seorang ulama hadits
besar, Abdullah Ibnu Mubarak.
Sebuah untaian kalimat ditulis Abdullah Ibnu Mubarak khusus buat sahabatnya tercinta, Fudhail bin ‘Iyadh:
Wahai ‘abid Al-Haramain,
seandainya engkau memperhatikan kami,
engkau pasti tahu bahwa selama ini
engkau hanya main-main dalam beribadah.
Kalau pipi-pipi kalian basah dengan air mata
maka leher-leher kami basah bersimbah darah.
Kalau kuda-kuda kalian letih dalam hal yang sia-sia,
maka kuda-kuda kami letih di medan laga.
Semerbak wanginya parfum, itu untuk kalian,
sedangkan wewangian kami pasir dan debu-debu.
Telah datang Al-Quran kepada kita menjelaskan,
para syuhada tidak akan pernah mati, dan itu pasti.
Usai
membaca surat itu, Fudhail meneteskan air matanya. Ia pun mengatakan,
“Engkau benar, Ibnu Al-Mubarak. Demi Allah, engkau benar!”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/membangun-kesalehan-yang-utuh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar