Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
dakwatuna.com – “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Al-A’raaf: 26)
Secara
umum, ayat ini menjelaskan tentang fungsi esensial dari pakaian yang
diwajibkan oleh Allah swt terhadap seluruh Bani Adam yaitu untuk menutup
aurat yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang sehingga
disimpulkan oleh Al-Qurthubi bahwa ayat ini sekaligus merupakan perintah
dan kewajiban untuk berpakaian yang menutup aurat. Selanjutnya melalui
ayat ini juga Allah menetapkan pakaian takwa yang merupakan sebaik-baik
pakaian yang dikenakan oleh hambaNya. ‘Pakaian takwa’ yang dimaksud
oleh ayat ini menurut para ulama tafsir seperti yang dikutip oleh Ibnu
Katsir dalam kitab ‘Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azim’ diantaranya seperti yang
disepakati oleh Qatadah, Zaid bin Ali dan Suddi bahwa yang dimaksud
adalah keimanan. Sedangkan Al-Aufi memahaminya sebagai amal shalih.
Manakalah Urwah bin Zubair mendefinisikan pakaian takwa adalah rasa
takut kepada Allah swt. Berbeda dengan Ikrimah yang memahami bahwa
pakaian takwa adalah pakaian yang akan dikenakan oleh orang-orang
bertakwa di syurga kelak. Seluruh makna-makna di atas ini saling
berdekatan dan tidak bertentangan yang intinya pakaian yang
mencerminkan, keimanan, keshalihan dan rasa takut kepada Allah swt
sesuai dengan makna takwa itu sendiri.
Dalam konteks Ramadhan,
penggalan akhir ayat puasa ‘agar kalian bertakwa’ merupakan harapan
sekaligus jaminan Allah akan hadirnya pakaian takwa seorang beriman
pasca Ramadhan. Jika diilustrasikan dapatlah dikatakan bahwa selama satu
bulan penuh seorang yang beriman ibarat sedang menenun pakaian takwa
dengan benang-benang amaliah ibadah bulan Ramadhan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa iman seseorang masih dalam kondisi telanjang sebelum
diberi pakaian, dan pakaian iman tersebut adalah takwa.
Sebagai
contoh misalnya bahan atau benang pakaian takwa yang bernama ‘imsak
(menahan diri)’ dari segala tindakan yang bertentangan dengan ketentuan
agama akan melahirkan sikap pengendalian diri, kejujuran dan anti
konsumerisme, sehingga pada gilirannya akan memunculkan gaya hidup
sederhana seorang yang beriman. Bukankah pengendalian diri, kejujuran ,
kedisiplinan, kesederhanaan serta kesahajaan merupakan ujian seorang
yang beriman selama ber Ramadhan yang hasilnya akan diumumkan tepat pada
tanggal 1 Syawal; apakah sifat dan sikap tersebut masih dominan atau
kembali menjadi pribadi yang selalu dikalahkan oleh nafsu dan syahwat.
Kondisi
lapar dan dahaga dalam waktu yang relatif lama dengan segala
konsekuensinya akan melahirkan rasa kepedulian sosial yang tinggi.
Demikian juga, seorang muslim tetap memiliki semangat untuk melakukan
aktifitas sehari-hari dalam kondisi lapar dan haus merupakan simbol akan
etos kerja dan daya tahan seorang muslim terhadap seluruh godaan
kehidupan.
Ibadah shalat tarawih dan ibadah-ibadah yang hadir di
bulan Ramadhan akan meningkatkan keimanan dan ketauhidan seseorang
terhadap Allah. Bahwa seluruh amal ibadah tersebut ia lakukan
semata-mata dengan semangat ‘imanan wahtisaban’. Sahur dan berbuka puasa
bersama yang kerap dilakukan bersama keluarga dan saudara sesama muslim
merupakan simbol dari kasih sayang dan keharmonisan ukhuwah diantara
sesama orang beriman yang pada hakikatnya merupakan buah dari keimanan
mereka.
Demikian benang-benang yang dirajut selama bulan puasa
untuk menghasilkan pakaian takwa, pakaian yang harus dikenakan oleh
setiap orang beriman dimanapun dan kapanpun mereka berada. Jangan sampai
kita merusak atau merobek pakaian takwa yang kita tenun tersebut pasca
Ramadhan, seperti yang diilustrasikan oleh Allah swt dalam firmanNya:
“Dan janganlah kalian seperti seorang perempuan yang mengurai kembali
benang yang sudah dipintalnya dengan kuat menjadi cerai berai”.
(An-Nahl: 92). Wanita dalam ayat ini digambarkan oleh Imam Al-Qurthubi
sebagai wanita jahil yang bernama Rithah binti Amru bin Ka’ab yang
identik dengan mereka yang merusak kembali kebaikan yang telah dengan
susah payah diperjuangkan setahap demi setahap. Sungguh perbuatan yang
sangat bertentangan dengan nilai Ramadhan yang seharusnya tetap
mempertahankan dan memelihara pakaian yang indah tersebut setelah
berakhirnya Ramadhan.
Masih tersisa beberapa hari ke depan sampai
pada malam puncaknya yang bernama ‘lailatul qadar’ yang merupakan
cermin dari puncak prestasi yang dapat ditorehkan oleh orang yang
beriman di hadapan Allah swt. Ia rela mengalokasikan segenap waktu,
harta dan jiwanya untuk mendapatkan keutamaan malam tersebut dengan
memaksimalkan potensi ubudiyah yang dimilikinya. Semoga kita termasuk
yang mendapatkan malam kemuliaan tersebut sehingga ‘pakaian takwa’ kita
semakin harum semerbak dan indah dipandang oleh semua mata yang
melihatnya. “Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah dan
ta`atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala)
amal-amalmu”. (Muhammad: 33)
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/memintal-benang-pakaian-takwa-di-ramadhan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar