Oleh: Muhammad Nuh
Hidup
kadang tak ubahnya seperti merawat bunga mahal. Perlu ketelitian dan
kesabaran agar bunga tetap indah. Sedikit saja sembrono, bukan saja
bunga indah menjadi layu. Tapi, penyakitnya bisa menular ke bunga lain.
Ada
yang gelisah ketika sampai tiga kali Rasulullah saw. menyebut akan
datang ahli surga. Dan tiga kali pula orang yang datang selalu dia.
Beliau adalah Saad bin Abi Waqash. Kegelisahan pun menjadikan Abdullah
bin Umar menyatakan diri ingin bertandang ke rumah Saad.
Satu
hari ia bermalam di rumah Saad, tapi hasilnya biasa-biasa saja. Tidak
ada ibadah istimewa yang berbeda dengan yang biasa diamalkan para
sahabat lain. Hingga lebih dari dua malam, Ibnu Umar terus terang. “Saya
cuma ingin tahu, amal istimewa apa yang Anda lakukan hingga Rasul
menyebut Anda ahli surga,” begitulah kira-kira ucap putera Umar bin
Khathab ini.
Saad dengan tanpa sedikit pun
merasa bangga mengatakan, “Tidak ada perbuatan ibadah saya yang
istimewa. Kecuali, tiap menjelang tidur, saya selalu membersihkan hati
saya dari hasad, kecewa, dan benci dengan semua saudara mukmin selama
pagi hingga malam. Itu saja!” Seperti itulah jawaban Saad. Sederhana,
tapi istimewa.
Berbeda dengan Ibnu Umar, Thalhah pun pernah
gelisah. Beliau khawatir kalau sebuah ayat yang baru saja turun
berkenaan dengan dirinya. Ayat itu berbunyi, “Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahui.” (QS. 3: 92)
Soalnya, ada satu
kebun kurma subur milik Thalhah yang begitu menambat hatinya. Hampir
tiap hari ia berkunjung ke situ. Shalat Zuhur dan Ashar di situ, tilawah
dan zikir pun di kebun indah itu. Ia nikmati kicauan burung, dan
pemandangan sejuk hijaunya dedaunan kurma.
Menariknya,
kegelisahan itu tidak ia tanyakan ke Rasulullah. Tapi, langsung ia
infakkan buat jalan dakwah. Ia nyatakan di hadapan Rasul kalau kebun
kesayangannya itu diwakafkan buat kepentingan perjuangan Islam.
Subhanallah!
Begitulah para sahabat Rasul. Mereka begitu gelisah
ketika diri belum berhasil menangkap peluang kebaikan. Padahal, peluang
itu sudah ditawarkan melalui ayat Alquran yang baru saja turun atau
ucapan Rasul. Kegelisahan itu belum akan sembuh hingga mereka
benar-benar telah mengambil peluang itu dengan sebaik-baiknya.
Itulah
sikap ihsan yang dicontohkan para sahabat dalam menata diri. Mereka
begitu menjaga mutu amal agar tetap the best. Selalu terdepan. Tidak
heran jika semangat fastabiqul khairat atau lomba berbuat baik begitu
memasyarakat di kalangan sahabat Rasul.
Mereka seperti terbingkai
dalam sebuah ayat Alquran tentang generasi pewaris Nabi. Dalam surah
Faathir ayat 32. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada
yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar.”
Sikap ihsan itulah yang menjadikan para sahabat Rasul
selalu punya hubungan harmonis dengan Yang Maha Penyayang, Allah swt.
Hati mereka begitu terpaut dengan mutu ibadah yang serba terbaik. Tidak
heran jika berkah kemenangan selalu memancar di tiap sepak terjang
perjuangan mereka. Siapa pun yang mereka lawan. Dan seperti apa pun
kendala perjuangan yang mereka hadapi.
Begitu pun dalam hubungan
muamalah sesama manusia. Mereka tidak sedang menyulam benang vertikal
sementara tali horisontal terburai. Hubungan kepada Allah selalu the
best, dan kepada manusia sangat terawat. Tidak ada hubungan dagang,
perjanjian, hidup bertetangga yang cacat.
Mereka begitu sempurna
karena setidaknya ada tiga hal. Pertama, pemahaman dan ketaatan yang
begitu utuh terhadap aturan Islam. Mungkin ini wajar karena Islam yang
mereka peroleh langsung dari sumbernya yang pertama, Rasulullah saw.
Kedua,
kehausan mereka dengan ilmu selalu berdampak pada perubahan dalam diri
dan amal di hadapan manusia. Ini mungkin yang mahal. Mereka belajar
Islam bukan buat sekadar ilmu pengetahuan. Apalagi, cuma kliping materi.
Tapi, benar-benar sebagai penuntun langkah yang segera mereka ayunkan.
Dan
ketiga, adanya keteladanan dari pihak yang sangat mereka hormati.
Inilah yang mungkin langka. Tapi, ini pula yang akhirnya menentukan.
Membumi tidaknya sebuah nilai di tengah masyarakat sangat bergantung
dari sepak terjang pelopornya. Cocokkah antara ucapan dan perbuatan.
Jika klop, nilai akan berkembang pesat. Tapi jika sebaliknya, sebuah
nilai hanya sekadar kumpulan pengetahuan yang cuma bagus dalam lemari
pajangan.
Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Inilah jalan
(agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
‘Aku dan orang yang mengikutiku’. Itulah simbol keteladanan yang berbuah ketaatan dan semangat kerja yang selalu membara.
Dalam
hal apa pun, Allah swt. meminta hamba-hambaNya untuk selalu ihsan.
Termasuk dengan hewan. “Sesungguhnya Allah swt. mewajibkan berbuat baik
atas segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, hendaknya membunuh dengan
cara yang baik. Dan jika menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang
baik: menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu.” (HR.
Muslim)
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/menangkap-peluang-kebajikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar