Saudaraku, Islam merupakan ajaran yang sangat memperhatikan fitrah
manusia. Islam di satu sisi mendorong penganutnya untuk berlomba dalam
menggapai derajat ideal seorang muttaqin namun pada sisi lain tidak
mengabaikan sisi manusiawi dirinya. Tidak ada sistem kerahiban di dalam
Islam dimana seseorang dituntut untuk hanya beribadah kepada Allah
sepanjang waktu sehingga bilamana ia lapar, haus atau mempunyai
kebutuhan manusiawi lainnya maka ia diharuskan untuk mengabaikannya
alias dilarang untuk mempedulikannya apalagi memenuhinya.
Bahkan di dalam sebuah ayat Al-Qur’an Allah memberitahu kita akan
hadirnya aneka syahawaat (hasrat duniawi) di dalam diri manusia. Dan
hendaknya aneka syahawaat tersebut disikapi secara benar, bukan
diabaikan atau dinafikan.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ
مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ
”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga).” (QS Ali Imran ayat 14)
Pada ayat di atas jelas Allah katakan bahwa
segenap jenis hasrat duniawi tersebut merupakan kesenangan hidup di
dunia bagi manusia. Namun di dalam ayat itu pula Allah mengingatkan
orang-orang beriman agar selalu menyadari bahwa di sisi Allah ada tempat
kembali yang lebih baik, yakni surga di akhirat kelak. Surga merupakan
kenikmatan hakiki dan abadi yang Allah janjikan dan sediakan hanya bagi
orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepadaNya.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ
عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
”Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 133)
Seorang yang beriman sangat dikondisikan oleh
ajaran Islam untuk memiliki semangat berkompetisi dalam mengejar
keberuntungan di akhirat. Namun itu tidak berarti bahwa ia samasekali
tidak diperkenankan menikmati kesenangan duniawi. Hanya saja ia selalu
perlu mengingat bahwa kesenangan dunia tidak seberapa dibandingkan
dengan kesenangan di akhirat. Sehingga dalam sebuah hadits Nabi Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan betapa hinanya dunia ini.
Betapa tidak bergunanya kebanyakan aktifitas manusia di dunia ini,
kecuali beberapa jenis tertentu:
أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا
ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ
“Ketahuilah,
sesungguhnya dunia ini terkutuk. Terkutuk apa-apa yang ada di dalamnya,
kecuali mengingat Allah dan apa-apa yang menyertainya serta penyebar
ilmu dan penuntut ilmu.” (HR Tirmidzy)
Apa-apa yang dikecualikan
oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam di dalam hadits di atas merupakan
kegiatan di dunia yang sungguh sangat luas cakupannya. Terutama ketika
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebut mengingat Allah dan apa-apa
yang menyertainya. Sungguh, apa-apa yang menyertai mengingat Allah
sangatlah luas cakupannya. Ia bisa mencakup urusan bisnis,
bersosialisasi, berkeluarga, bermasyarakat, berda’wah dan berjihad di
jalan Allah.
Bahkan dalam hadits lainnya Nabi shollallahu ’alaih
wa sallam malah menyebutkan apa saja perkara yang termasuk ke dalam
bentuk lain daripada dzikrullah (mengingat Allah). Dan uniknya, salah
satunya ialah bercengkerama dengan keluarga. Subhanallah...! Suatu
kegiatan yang barangkali kebanyakan orang (terutama para bapak yang
bermental workaholic) menganggapnya sebagai menyia-nyiakan waktu saja.
كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
فَهُوَ لَهُوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلا أَرْبَعَ خِصَالٍ
مَشْيُ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ وَتَأْدِيبُهُ فَرَسَهُ
ومُلاعَبَةُ أَهْلِهِ وَتَعَلُّمُ السِّبَاحَةِ
“Segala
sesuatu yang bukan dzikrullah maka ia termasuk perkara melalaikan atau
melenakan, kecuali seorang yang latihan memanah, latihan berkuda,
bercengkerama dengan keluarganya dan belajar berenang” (HR Thabrani)
Apa-apa
yang seringkali dikira kebanyakan orang sebagai perbuatan menghabiskan
waktu, ternyata di dalam ajaran Islam dikategorikan sebagai ibadah
penghambaan kepada Allah. Coba renungkan, bukankah dengan bercengkerama
bersama keluarga, berarti seorang ayah atau suami telah berupaya
membangun soliditas di dalam ruang lingkup elemen masyarakat yang paling
kecil? Berarti ia telah menyumbang sebuah kebaikan bagi masyarakat
yaitu keharmonisan dan ketenteraman yang tentunya didambakan oleh setiap
anggota masyarakat beradab. Namun tentunya hal ini harus dilakukan
dengan menjaga rambu-rambunya. Di antaranya ialah tidak dilakukan
berlebihan sehingga melalaikan seseorang akan tugas utamanya beribadah
kepada Allah dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Lalu ia harus
memastikan bahwa ia terlibat dalam bercengkerama dengan keluarga
miliknya bukan dengan keluarga apalagi istri milik orang lain...!
Dalam
hadits di bawah ini Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam malah
menyampaikan suatu pesan yang bahkan sempat membuat para sahabat dari
kalangan yang kurang mampu menjadi terkejut dan keheranan. Coba
perhatikan hadits berikut ini:
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَارَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا
نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ
بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ
مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً
وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ
قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Sesungguhnya
di antara sahabat Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam ada yang
berkata: ”Ya Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala,
mereka mengerjakan sholat sebagaimana kami mengerjakan sholat, dan
mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah dengan
kelebihan harta mereka.” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
“Bukankah Allah telah menjadikan bagimu sesuatu untuk bersedekah?
Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap takbir adalah
sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah
sedekah, menyuruh seseorang kepada ma’ruf adalah sedekah, melarangnya
dari perkara mungkar adalah sedekah dan bersetubuhnya seseorang di
antara kamu dengan istrinya adalah sedekah.” Mereka bertanya: ”Ya
Rasulullah, apakah jika salah seorang di antara kami menyalurkan
syahwatnya ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab: ”Tidakkah kamu
tahu, apabila seseorang menyalurkan syahwatnya pada yang haram, dia
berdosa? Demikian pula apabila disalurkannya kepada yang halal, dia
mendapat pahala.” (HR Muslim)
Saudaraku, jelas sekali dari keterangan hadits di atas bagaimana Islam
sangat mengakui, memahami bahkan menghargai orang yang memiliki
kebutuhan fitri-manusiawi. Ia tidak saja diizinkan untuk melampiaskan
hasrat syahwat kelaminnya kepada pasangan syar’inya (suami atau
isterinya), namun lebih jauh lagi ia dijamin bakal memperoleh ganjaran
alias pahala di sisi Allah karena melakukannya sesuai aturan Allah.
Ya
Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang pandai mensyukuri nikmat Iman
dan Islam yang telah Engkau anugerahkan kepada kami. Wafatkanlah kami
dalam keadaan senantiasa berserah diri kepadaMu. Karuniakanlah kepada
kami hidup bahagia dan abadi di surgaMu kelak bersama para Nabi,
orang-orang jujur, para syuhada, orang-orang sholeh lainnya dan tentunya
bersama anak-istri-orangtua-saudara kami semuanya. Amin ya Rabb.-
Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/menyalurkan-syahwat-kepada-istri-adalah-pahala.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar