Akhwatmuslimah.com
– Ada sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan
yang berhubungan dengan perempuan. Jika kebutuhan psikologis dan
biologis terhadap perempuan begitu kuat pada para pahlawan, dapatkah
kita membayangkan seandainya mereka tidak mendapatkannya?
Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan
menjelaskan, banyak sisi dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah
mereka memperoleh energi untuk bekerja dan berkarya. Akan tetapi, jika
mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka kepahlawanan mereka
adalah keajaiban di atas ke¬ajaiban. Tentulah ada sumber energi lain
yang dapat menutupi kekurangan itu, sesuatu yang dapat menje¬laskan
kepahlawanan mereka.
Ibnu Qayyim menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad Bin Daud
Al-Zhahiri, pendiri mazhab Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya,
seorang kawan menjenguk beliau. Namun, ternyata Sang Imam justru
mencurahkan isi hatinya kepada sang kawan tentang kisah kasihnya yang
tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya, tetapi
entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi
kenyataan. Maka, curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi
sebelum wafatnya.
Kisah Sayyid Quthb bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta,
dua kali pula ia patah hati, kata DR. Ab’dul Fattah AI-Khalidi yang
menulis tesis mas¬er dan disertasi doktornya tentang Sayyid Quthb. Gadis
pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga
tahun setelah Sayyid Quthb pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid
menangisi peristiwa itu.
Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak
termasuk cantik, kata Sayyid. namun, ada gelombang yang unik yang
menyirat dari sorot matanya, katanya menjelaskan pesona sang kekasih.
Tragedinya justru terjadi pada hari pertu¬nangan. Sambil menangis, gadis
itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir dalam
hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keang¬kuhan Sayyid, karena ia
memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis
itu hanya perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthb tenggelam dalam penderitaan yang panjang. Ia akhirnya
memutuskan hubungannya. Namun, hal itu membuatnya semakin menderita.
Ketika ia ingin rujuk, gadis itu justru menolaknya. Ada banyak puisi
yang lahir dari penderitaaan itu. Ia bahkan membukukan romansa itu dalam
sebuah roman.
Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, realis¬me, dan sangkaan
baik kepada Allah, adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika
kehidupan tidak cukup bermurah hati mewujudkan mimpi mereka, mereka
menambatkan harapan kepada sumber segala harapan; Allah!
Begitulah Sayyid Quthb menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping,
sembari berkata, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis
impianku, atau perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?”
Setelah itu, ia berlari meraih takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis
Fii Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang gantungan! Sendiri. Hanya
sendiri! [Anis Matta]
*http://www.akhwatmuslimah.com/2012/01/654/tragedi-cinta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar