dakwatuna.com – Kisah seorang lelaki yang hidup dengan orientasi uang…uang dan uang. Hanya memikirkan kesenangannya semata. Kisah ini ingin saya tuangkan dan semoga menjadi pelajaran bagi saya dan juga yang membaca artikel ini, karena ini merupakan kisah nyata.
Seorang pemuda hidup dengan berorientasi dengan uang dan sangat sulit sekali mengeluarkan uangnya demi kepentingan orang lain. Kalkulasi yang akurat, cermat layaknya seorang akuntan yang handal, padahal basic akuntansi pun tak melekat pada dirinya. Tapi, masya Allah keakuratan yang dimilikinya luar biasa. Biasanya keakuratan dan kedetailan seseorang dalam membelanjakan uangnya dimiliki oleh kaum hawa. Namun, ternyata ada juga kaum adam yang memiliki kepribadian yang sama persis seperti kaum hawa.
Setiap kali saya dan teman-teman lainnya berkumpul, maka ada saja tempat makan yang akan kami tuju. Biasanya kalau laki-laki kan lebih cepat mengeluarkan uangnya karena merasa malu ataupun kebudayaan yang tertanam bahwa laki-laki harus royal kepada perempuan. Namun, setiap kali makan atau membeli makanan diapun tak pernah sudi mengeluarkan uangnya. Bahkan ketika perjalanan dari daerah A ke daerah B yang melibatkan seorang teman harus menumpang di motornya. Motor yang di pinjamnya dari induk semang yang dekat dengannya dan menemaninya serta telah menjadi keluarga di daerah yang memang terasa asing bagi kami. Ia pasti meminta bayaran atau ongkos bensin kepada teman yang menumpang untuk ditalangi pada saat itu. Padahal, ia juga memiliki uang yang masih utuh di dompetnya.
Perhitungannya yang sangat akuratpun menjadi hal yang negatif bagi kami antara mendoakannya agar bisa lebih baik lagi atau mengumpat di belakangnya, akibat kebakhilan yang luar biasa diasuhnya. Terkadang, aku dan teman-teman menyindirnya dengan sindiran, “kan ada nih, teman kita yang banyak uangnya. Sekali-kali dibayarin dong kita!”, ucap kami pada saat itu. Namun, ia hanya mengatakan, “bisa aku bayarin dulu, tapi nanti dibayar kalau sudah tiba di basecamp ya?”, ucapnya. Ngek-ngek…seakan-akan ada berbagai bintang yang hinggap di kepalaku dan teman-teman lainnya pada saat Ia mengucapkan hal yang demikian, seperti yang di film kartun gitu. Pernah suatu kali ada teman yang kemalangan dan orang tuanya meninggal, bukannya membantu teman yang sedang dalam keadaan sulit itu dengan sedekah uang semampunya. Saya berfikir, uang yang ada di tangannya yang cukup banyak itu mungkin saja, di tempat yang namanya sedekah akan lebih banyak mengeluarkan uangnya. Namun, tidak juga ternyata, entah kapan uangnya akan dikeluarkan dengan keadaan yang royal. Teman-teman lainnya memberikan uang Rp. 50.000,- atau Rp 100.000,- untuk sekadar meringankan beban teman yang sedang kemalangan tersebut, namun berbeda dengan teman yang satu ini, dirinya yang ternyata hanya mengeluarkan uang Rp 25.000,-, entah pikiran apa yang ada di dalam otak saya dan teman-teman lainnya. Kami hanya membahas sikapnya yang terlalu bakhil sebagai seorang manusia yang seharusnya banyak mengeluarkan sedekah. Namun, hanya segitukah kesanggupannya? sering aku dan teman-teman lainnya beristighfar dan berharap ia sadar dan menjauhi sikap bakhilnya yang berlebihan.
Suatu kali, HP nya masuk ke dalam air laut, yang pada saat itu kami sedang jalan-jalan plus rekreasi di pantai dekat rumah dinasnya. Tiba-tiba saja, dia meloncat karena merasa bahwa di sekitarnya hanya ada air saja. Dan ternyata, hasil loncatannya membuat kakinya berdarah karena terkena karang dan HP-nya ikut meloncat. Alhasil, HP miliknya pun telah kehilangan nyawanya. Kali kedua, Ia melakukan perjalanan seorang diri tanpa mengajak siapapun di antara kami teman-temannya yang selalu bersama dan sama-sama berjuang di daerah ini. Di jalan, dompetnya hilang. Setibanya di basecamp, Ia baru merasa kehilangan dompetnya yang telah diamankannya di motor. Di dalamnya terdapat uang dan juga ATM. Kali ketiga, Ia kehilangan ATM nya. Kali keempat ia kehilangan HP. Semuanya yang hilang dan segera urusnya. Hilangnya HP dibereskannya dengan membeli HP yang baru, hilangnya ATM segera di urus ke pihak bank bersangkutan. Namun, seringnya ia kehilangan itu tidak dijadikan sebagai refleksi bahwa ia terlalu bakhil, bahwa ia terlalu perhitungan dan bahwa ia terlalu sangat pelit bin bakhil bin irit bin hemat. Ketika di tanya tabungannya berapa. Ia mengatakan jumlah uangnya yang super duper banyak dibandingkan saya dan teman-teman lainnya. Terus kami bertanya kembali, “emang mau beli apaan sih uang kamu?”, tanya kami. “Buat beli tanah di sini”, jawabnya. Oooh ternyata kamu mau investasi ke tanah toh! Luar biasa teman yang satu ini.
Semoga saya dan teman-teman lainnya bisa menjadikan ini sebuah pelajaran. Memang memberi bukan berdasarkan banyak atau sedikitnya. Tapi kepada niat dan keikhlasannya. Memang memberi itu bisa kepada siapa saja dan kapan saja. Namun, banyaknya kehilangan ataupun musibah yang menimpa kita bisa menjadi refleksi bahwa kita jarang memberi ataupun sulit mengeluarkan uang. Memang memberi bukan hanya dalam bentuk uang, namun berikanlah yang terbaik, niat ikhlas dan mengharap ridha-Nya. Insya Allah semuanya menjadi berkah dan indah, hiduppun menjadi nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar