dakwatuna.com – Bagi sebagian orang, empat pemuda
Perancis—Samuel Grzybowski, Ismael Medjdoub, Josselin Rieth, dan Victor
Grezes—ini melakukan suatu hal impian: berkelana keliling dunia.
Namun, ada tambahan yang membuat perjalanan anak-anak muda berusia
19-21 tahun ini lebih mengasyikkan daripada sekadar keliling dunia: ini
perjalanan antar-iman atau interfaith tour, sebuah perjalanan dengan
makna.
Berangkat dari Paris delapan bulan lalu, mereka (seorang Muslim,
seorang Katolik, seorang ateis, dan seorang agnostik) mengunjungi Eropa,
Timur Tengah, Afrika, dan Asia sebelum ke Australia, Amerika Selatan
dan Amerika Utara dan kembali ke Paris akhir April. Mereka tinggal
seminggu sampai sebulan di sebuah negara, bertemu, berbincang, dan
mewawancara orang-orang yang terlibat dalam ikhtiar antar-iman. Setiap
Rabu, mereka melaporkan ringkasan perjalanan pekan itu dalam artikel dan
video berdurasi sekitar tiga menit yang dipasang di laman perjalanan
tersebut, www.interfaithtour.com.
Grzybowski (20), mahasiswa sejarah Universitas Sorbonne, Paris,
mengatakan bahwa proyek ini merupakan gagasan tiga pihak, yaitu
SparkNews, lembaga yang mengembangkan jurnalisme berdampak yang
menawarkan solusi; Coexister, sebuah gerakan muda antar-iman Perancis;
dan anak-anak muda petualang.
Ada tiga tujuan proyek ini, kata anak muda yang juga Ketua Coexister
itu, yaitu meningkatkan kesadaran akan ikhtiar antar-iman, menghubungkan
para pelaku ikhtiar itu, dan riset.
Dua tujuan pertama bisa dilakukan sementara mereka melakukan
perjalanan keliling dunia itu, sedangkan tujuan ketiga akan diupayakan
sepulangnya mereka dengan membawa begitu banyak bahan mentah. ”Ketika di
Nairobi, kami menemukan para pelaku ikhtiar antar-iman itu tidak saling
kenal, padahal tempat mereka berdekatan. Kami berupaya saling
menghubungkan para pelaku itu,” ujar mereka.
Adanya seorang ateis dan seorang agnostik dalam tim mereka,
dijelaskan oleh Grezes dan Rieth, yang mengatakan bahwa populasi
Perancis terbagi tiga hampir sama besar, yaitu orang yang beragama,
orang yang agnostik, dan orang yang ateis. ”Jadi penting bagi kami untuk
terlibat dalam proyek ini. Ikhtiar antar-iman adalah sebuah alat untuk
membangun kohesi sosial di Perancis dan ketiga kelompok itu harus
diikutsertakan,” kata mereka. ”Proyek ini sangat sekuler. Gagasannya
adalah bagaimana tetap mempertahankan identitas diri dan menghormati
identitas orang lain sepenuhnya.”
Dalam perbincangan mengenai pengalaman perjalanan mereka di Institut
Francais Indonesia di Jakarta, Selasa pagi, anak-anak muda yang telah
sepekan di Jakarta itu ditanya di mana hubungan antar-iman sangat
harmonis. Grzybowski menyebut tiga tempat, di antaranya Burkina Faso,
negara di Afrika Tengah yang dikelilingi negara-negara berkonflik.
Negara dengan lebih dari 60 kelompok sosiokultural berbeda itu hidup
bersama dengan damai antara lain dengan kebiasaan ”kerabat bercanda” (parente a plaisanterie)
mereka. Lewat hubungan bercanda, konflik diredakan, kegembiraan
ditingkatkan, dan kohesi sosial dirasakan. (kompas/sbb/dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar