Pages

Rabu, 26 Februari 2014

Empat Pemuda Beda Keyakinan, Jelajahi Dunia sambil Dialog Antar-Iman

Ilustrasi - Foto: pendakijogja
Ilustrasi – Foto: pendakijogja

dakwatuna.com – Bagi sebagian orang, empat pemuda Perancis—Samuel Grzybowski, Ismael Medjdoub, Josselin Rieth, dan Victor Grezes—ini melakukan suatu hal impian: berkelana keliling dunia.
Namun, ada tambahan yang membuat perjalanan anak-anak muda berusia 19-21 tahun ini lebih mengasyikkan daripada sekadar keliling dunia: ini perjalanan antar-iman atau interfaith tour, sebuah perjalanan dengan makna.

Berangkat dari Paris delapan bulan lalu, mereka (seorang Muslim, seorang Katolik, seorang ateis, dan seorang agnostik) mengunjungi Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia sebelum ke Australia, Amerika Selatan dan Amerika Utara dan kembali ke Paris akhir April. Mereka tinggal seminggu sampai sebulan di sebuah negara, bertemu, berbincang, dan mewawancara orang-orang yang terlibat dalam ikhtiar antar-iman. Setiap Rabu, mereka melaporkan ringkasan perjalanan pekan itu dalam artikel dan video berdurasi sekitar tiga menit yang dipasang di laman perjalanan tersebut, www.interfaithtour.com.

Grzybowski (20), mahasiswa sejarah Universitas Sorbonne, Paris, mengatakan bahwa proyek ini merupakan gagasan tiga pihak, yaitu SparkNews, lembaga yang mengembangkan jurnalisme berdampak yang menawarkan solusi; Coexister, sebuah gerakan muda antar-iman Perancis; dan anak-anak muda petualang.
Ada tiga tujuan proyek ini, kata anak muda yang juga Ketua Coexister itu, yaitu meningkatkan kesadaran akan ikhtiar antar-iman, menghubungkan para pelaku ikhtiar itu, dan riset.

Dua tujuan pertama bisa dilakukan sementara mereka melakukan perjalanan keliling dunia itu, sedangkan tujuan ketiga akan diupayakan sepulangnya mereka dengan membawa begitu banyak bahan mentah. ”Ketika di Nairobi, kami menemukan para pelaku ikhtiar antar-iman itu tidak saling kenal, padahal tempat mereka berdekatan. Kami berupaya saling menghubungkan para pelaku itu,” ujar mereka.

Adanya seorang ateis dan seorang agnostik dalam tim mereka, dijelaskan oleh Grezes dan Rieth, yang mengatakan bahwa populasi Perancis terbagi tiga hampir sama besar, yaitu orang yang beragama, orang yang agnostik, dan orang yang ateis. ”Jadi penting bagi kami untuk terlibat dalam proyek ini. Ikhtiar antar-iman adalah sebuah alat untuk membangun kohesi sosial di Perancis dan ketiga kelompok itu harus diikutsertakan,” kata mereka. ”Proyek ini sangat sekuler. Gagasannya adalah bagaimana tetap mempertahankan identitas diri dan menghormati identitas orang lain sepenuhnya.”

Dalam perbincangan mengenai pengalaman perjalanan mereka di Institut Francais Indonesia di Jakarta, Selasa pagi, anak-anak muda yang telah sepekan di Jakarta itu ditanya di mana hubungan antar-iman sangat harmonis. Grzybowski menyebut tiga tempat, di antaranya Burkina Faso, negara di Afrika Tengah yang dikelilingi negara-negara berkonflik. Negara dengan lebih dari 60 kelompok sosiokultural berbeda itu hidup bersama dengan damai antara lain dengan kebiasaan ”kerabat bercanda” (parente a plaisanterie) mereka. Lewat hubungan bercanda, konflik diredakan, kegembiraan ditingkatkan, dan kohesi sosial dirasakan. (kompas/sbb/dakwatuna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar