Hadis di atas bukan bukan hukum “Wajibnya” menikahi seorang perawan. Tetapi sebuah keutamaan untuk menikahi wanita yang masih gadis/bujang. Jika ada seorang janda yang mempunyai akhlak bagus dan gadis dengan akhlak bagus maka pilihan yang afdhol adalah gadis yang beraklak bagus.
Saya analogikan seperti ini:
- Jika Anda (cewek) hendak menikah dan ada 2 pilihan: duda yang tampan dengan jejaka yang tampan dan keduanya mempunyai kekayaan dan pemahaman agama yang sama, maka siapa yang akan anda pilih?
- Jika Anda (cowok) hendak menikah dan ada 2 pilihan: janda yang cantik dengan gadis yang cantik juga dan keduanya mempunyai kekayaan dan pemahaman agama yang sama, maka siapa yang akan anda pilih?
Lalu Bagaimanakah dengan Ibunda Khodijah?
Jika berdalih bagaimana Nabi Muhammad menikahi Khadijah yang berstatus janda? Maka di ketahui bahwa ketika nabi menikah umur 25 tahun belum ada syariat/belum ada turunnya wahyu.
Sebagai Penguat
Sehubungan dengan pengertian ini Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi,
“Wahai rasulullah, seandainya engkau menjumpai padang rumput yang sebagiannya telah dimakan hewan ternak orang lain dan padang rumput lainnya yang belum pernah ada hewan ternak lain yg di gembalakan pdanya, maka di tempat manakah antar keduanya engkau akan mengembalakan terrnakmu?
Nabi menjawab, “
في التي لم يرع منها
“Di padang rumput yang belum pernah digembalakan ternak padanya.” (HR. Muslim dan Abu Hatim)
Makna yang di maksud adalah bahwa nabi muhammad tidak pernah menikahi perawan selain ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Dalam hadis sahih disebutkan bahwa Jabir menikah dengan seorang janda. Nabi bertanya kepadanya,
هلا بكرا تلا عبها وتلاعبك
“Mengapa engkau tidak menikah dengan perawan sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan dia pun bermain-main denganmu?” (HR. Bukhari Muslim Abu dawud Ahmad dll)
Jadi dari keterangan di atas bisa dipahami adalah, menikah dengan seorang perawan adalah sebuah pilihan dan keutamaan dan sebuah anjuran dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi seorang bikr (gadis).
Sumber : http://sabartanpabatas.wordpress.com/2011/10/18/tentang-memilih-perawan-atau-janda/
aku dulu menikahi seorang janda, yang ternyata masih perawan. ini kejadian nyata yang aku alami sendiri.
BalasHapusApa seorang janda tdk pantas utk bahagia. Bukannya tidak ada seorangpun yg ingin jd janda?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKajian diatas memperbandingkan kesetaraan dlm agama, namun jika tidak maka status adalah hal Ɣªήğ kesekian setelah hal Ɣªήğ berikut:
BalasHapusTaat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya.
Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hal berikutnya adalah:
Al Kafa’ah (Sekufu)
-secara bahasa- secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175).
Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama)