Oleh: DR. Amir Faishol Fath
Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertaqwa (Ali Imran: 133)
Di dalam Al-Qur’an, Allah selalu
menggunakan bahasa yang menggugah agar manusia jangan berlambat-lambat
melainkan bersegera menuju kebaikan. Kata wa saari’uu pada ayat di atas
adalah salah satu contoh. Dalam surat Al-Baqarah: 148 ada contoh yang
lain lagi, Allah berfirman: fastabiqul khairaat (maka berlombalah kalian
dalam kebaikan). Antara kata wa saari’uu dan fastabiquu sekalipun
intinya sama, yaitu bersegera dan bergegas menuju suatu tujuan, tetapi
masing-masing mempunyai makna khusus: Dalam kata wa saari’uu yang
ditekankan adalah kesegeraan bergerak, tanpa sedikit pun ragu, dan tanpa
bertele-tele memikirkan sesuatu di luar itu, sehingga membuatnya tidak
maksimal. Begitu ada panggilan shalat misalnya, ia segera bangkit
meninggalkan segala pekerjaan apapun pentingnya pekerjaan itu, karena ia
tahu bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari pada shalat.
Adapun kata fastabiquu lebih kepada perintah berlomba jangan sampai
keduluan yang lain. Di sini terkesan ada banyak orang yang masing-masing
bergerak cepat dan bersegera untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu
contoh, ketika menggambarkan bagaimana Nabi Yusuf as. dan wanita yang
menggodanya sama berlomba menuju pintu Allah berfirman, “Wastabaqaal
baab (dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu) (Yusuf: 25). Dalam
perlombaan ada tenaga ekstra yang digunakan, segala kemampuan dikerahkan
sehingga cita-cita yang diinginkan bisa diraih.
Selain istilah
wa saa ri’uu dan fastabquu dalam surat Al-Hadid ayat 21 Allah
menggunakan istilah saabiquu, ini pengertiannya lebih dahsyat lagi.
Sebab dalam kata saabiquu terkandung makna bukan hanya bersegera atau
berlomba, melainkan lebih dari itu kalahkan yang lain. Dalam hal ini
seorang hamba tidak hanya diajak untuk sekadar bekerja keras, melainkan
juga berkualitas. Sebab jika hanya bersegera dan berlomba tetapi tidak
bisa mengalahkan yang lain secara kualitas, usaha tersebut bisa
dikatakan tidak efektif. Simaklah firman Allah mengenai makna saabiquu
tersebut, “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari
Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan
bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar”.
Penting
untuk dicatat bahwa Al-Qur’an telah begitu dalam menggugah agar umat
Islam tidak menjadi umat yang berleha-leha. Melainkan umat pionir dalam
segala kebaikan. Tidak ada rumus istirahat dalam Al-Qur’an, maka begitu
seseorang mengaku sebagai hamba Allah di saat yang sama segera bergerak
melakukan segala kebaikan yang tak terhingga luasnya: dari sejak bangun
tidur sampai tidur kembali, dan dari urusan masuk kamar mandi sampai
urusan kenegaraan. Semua dalam Islam ada aturannya, yang jika itu semua
diikuti dengan niat ketaatan kepada Allah, akan menjadi potensi kebaikan
yang luar biasa pahalanya.
Lebih jauh, mengapa Allah menggunakan
istilah yang begitu menekankan keharusan untuk bersegera dalam
kebaikan? Pertama, bahwa melakukan dan menyebarkan kebaikan
(al-khairaat) adalah tugas pokok setiap insan. Tanpa kebaikan Allah
manusia di muka bumi ini bisa dipastikan telah musnah sejak ratusan
tahun yang silam. Dalam surat Abasa 80/20 Allah berfirman, “Tsummas
sabiila yassarah” (Kemudian Dia memudahkan jalannya). Maksudnya Allah
permudah segala yang menjadi kebutuhan manusia baik secara fisik maupun
secara rohani. Dari segi kebutuhan fisik Allah turunkan hujan dari
langit dan pancarkan air dari bumi dengannya manusia, Allah tumbuhkan
pohonan yang berbuah dengannya manusia bisa makan dan lain sebagainya.
Adapun dari segi kebutuhan rohani Allah utus nabi-nabi yang mengajarkan
al kitab, lalu kepada nabi terakhir Muhammad saw. Allah turunkan
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Maka tidak ada alasan bagi
manusia untuk tidak berbuat baik. Kedua, bahwa usia manusia terbatas,
dan tidak ada seorang pun tahu kapan ia akan meninggal dunia. Allah
berfirman, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah
datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan
tidak dapat (pula) memajukannya” (Al-A’raaf: 34). Karena itu seorang
hamba hendaknya segera melakukan kebaikan. Jika tidak, ia akan menjadi
orang yang paling sengsara tidak hanya di dunia melainkan lebih dari itu
di akhirat.
Pada ayat di atas Allah berfirman, “wa saari’uu ilaa
maghfiratin mirrabbikum” lalu dalam surat Al hadid: saabiquu ilaa
maghfiratin mirrabbikum sementara dalam surat Al-Baqarah, “fastabiqul
khairaat.” Apa beda antara maghfirah (ampunan) dan al khiraat
(kebaikan)? Imam An-Nawawi dalam bukunya Riyadhus Shaalihiin h.58-61
menyebutkan beberapa hadits untuk menerangkan makna bergegas meraih
ampunan dan melakukan kebaikan:
Pertama, dari Abu Hurairah ra.
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bersegeralah kamu sekalian untuk
melakukan amal-amal yang shalih, karena akan terjadi suatu bencana yang
menyerupai malam yang gelap gulita dimana ada seseorang pada waktu pagi
ia beriman tapi pada waktu sore ia kafir, pada waktu sore ia beriman
tapi pada waktu pagi ia kafir, ia rela menukar agamanya dengan sedikit
keuntungan dunia. (H.R. Muslim)
Kedua, dari Abu Sirwa’ah ‘Ukbah
bin Al-Harist ra. Berkata, “Saya shalat Ashar di belakang Nabi saw. di
Madinah setelah salam beliau terus cepat-cepat bangkit melangkahi leher
barisan para sahabat menuju kamar salah satu istrinya. Para sahabat
terkejut atas ketergesaannya itu kemudian beliau keluar dan melihat para
sahabat terkejut atas ketergesaannya itu beliau bersabda, “Aku ingat
sepotong emas dan aku tidak ingin terganggu karenanya maka aku menyuruh
untuk membagikannya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, dari Jabir ra.
mengatakan bahwa pada perang Uhud ada seseorang bertanya kepada Nabi
saw, “Apakah tuan tahu, seandainya saya terbunuh maka di manakah tempat
saya? Beliau menjawab, “Si dalam surga. Kemudian orang itu melemparkan
biji-biji korma yang ada di tangannya lantas maju perang sehingga ia
mati terbunuh. (H.R. Bukhari-Muslim)
Keempat, dari Abu Hurairah
ra. mengatakan bahwa ada seseorang datang kepada Nabi saw. dan bertanya,
“Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya? Beliau
menjawab, “Yaitu kamu sedekah sedangkan kamu masih sehat, suka harta,
takut miskin dan masih ingin kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda
sehingga bila nyawa sudah sampai di tenggorokan (sekarat) maka kamu baru
berkata: untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian, padahal harta itu
sudah menjadi hak si fulan (ahli waris) (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kelima,
dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah saw. pada perang Uhud mengambil
pedang seraya bersabda: siapakah yang mau menerima pedang ini? Maka
setiap orang mengulurkan tangannya sambil berkata: saya, saya. Beliau
bersabda lagi, “Siapa yang mau mengambilnya dengan penuh tanggung jawab?
Maka semua orang terdiam, kemudian Abu Dujanah ra. berkata: saya akan
menerimanya dengan penuh tanggung jawab. Maka pedang itu diberikan
kepada Abu Dujanah kemudian ia mempergunakannya untuk memenggal leher
orang-orang musyrik. (H.R. Muslim)
Keenam, dari Zubair bin ‘Adi
berkata: kami datang kepada Anas ra. dan mengadukan masalah penderitaan
yang kami hadapi atas kekejaman Al-Hajjaj, kemudian Anas menjawab:
sabarlah kamu sekalian, sesungguhnya nanti akan datang suatu masa dimana
penderitaan lebih berat lagi, sehingga kamu sekalian bertemu dengan
Tuhanmu (mati), saya mendengar itu dari Nabi saw. (H.R. Bukhari)
Ketujuh,
dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
“Bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal:
apakah yang kamu nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan,
kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat
mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat
menyudahkan segalanya atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia
sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal
kiamat adalah suatu yang sangat berat dan menakutkan. (H.R. Tirmidzi)
Kedelapan,
dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Saya akan
benar-benar menyerahkan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah
dan rasul-Nya, dimana Allah akan mengaruniakan kemenangan kepadanya.
Umar ra berkata, “Saya tidak ingin memegang pimpinan kecuali pada hari
ini, maka saya menunjukkan diri dengan harapan dipanggil oleh Nabi saw.
untuk memimpinnya. Tetapi Rasulullah memanggil Ali bin Abu Thalib dan
menyerahkan panji itu kepadanya seraya bersabda, “Majulah ke depan dan
janganlah kamu menoleh ke belakang sebelum Allah memberi kemenangan
kepadamu. Kemudian Ali melangkah beberapa langkah lantas berhenti tetapi
tidak menoleh ke belakang dan berteriak: wahai Rasulullah, kepada
siapakah saya harus berperang?” Beliau menjawab, “Perangilah mereka
sehingga mereka menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. apabila mereka telah
menyaksikan yang demikian itu maka kamu tidak boleh lagi memerangi
mereka baik darah maupun harta bendanya kecuali dengan haknya, adapun
masalah perhitungan mereka adalah terserah Allah. (H.R. Muslim)
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/bersegera-munuju-kebaikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar