Oleh: Mochamad Bugi
“Jika
kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika
kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu
pula.”(Al-Isra’: 7)
Hari itu ada seseorang yang meninggal dunia.
Seperti biasanya, jika ada sahabat meninggal dunia, Rasulullah pasti
menyempatkan diri mengantarkan jenazahnya sampai ke kuburan. Tidak cukup
sampai di situ, pada saat pulangnya, Rasulullah menyempatkan diri
singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga yang ditinggalkan
supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musbah itu. Begitupun
terhadap keluarga sahabat yang satu ini.
Sesampai di rumah duka,
Rasulullah bertanya kepada istri almarhum, “Tidakkah almarhum suamimu
mengucapkan wasiat ataulah sesuatu sebelum ia wafat?”
Sang istri
yang masih diliputi kesedihan hanya tertunduk. Isak tangis masih
sesekali terdengar dari dirinya. “Aku mendengar ia mengatakan sesuatu di
antara dengkur nafasnya yang tersengal. Ketika itu ia tengah menjelang
ajal, ya Rasulullah.”
Rasulullah tertanya, “Apa yang dikatakannya?”
“Aku
tidak tahu, ya Rasulullah. Maksudku, aku tidak mengerti apakah
ucapannya itu sekadar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih
karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami
lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.”
“Bagaimana bunyinya?” tanya Rasulullah lagi.
Istri
yang setia itu menjawab, “Suamiku mengatakan ‘Andaikata lebih panjang
lagi…. Andaikata yang masih baru… Andaikata semuanya….’. Hanya itulah
yang tertangkap sehingga aku dan keluargaku bingung dibuatnya. Apakah
perkataan-perkataan itu hanya igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah
pesan-pesan yang tidak selesai….”
Rasulullah tersenyum. Senyum
Rasulullah itu membuat istri almarhum sahabat menjadi keheranan.
Kemudian, terdengar Rasulullah berbicara, “Sungguh, apa yang diucapkan
suamimu itu tidak keliru.” Beliau diam sejenak. “Jika kalian semua mau
tahu, biarlah aku ceritakan kepada kalian agar tak lagi heran dan
bingung.”
Sekarang, bukan hanya istri almarhum saja yang
menghadapi Rasulullah. Semua keluarga almarhum mengerubungi Rasul akhir
zaman itu. Ingin mendengar apa gerangan sebenarnya yang terjadi.
“Kisahnya
begini,” Rasulullah memulai. “Pada suatu hari, ia sedang bergegas akan
ke masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Di tengah jalan ia berjumpa
dengan dengan orang buta yang bertujuan sama—hendak pergi ke masjid
pula. Si buta itu sendirian tersaruk-saruk karena tidak ada yang
menuntunnya. Maka, dengan sabar dan telatennya, suamimu yang
membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas
yang penghabisan, ia menyaksikan pahala amal shalihnya itu. Lalu ia pun
berkata, ‘Andaikata lebih panjang lagi.’ Maksudnya adalah andaikata
jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya akan jauh lebih
besar pula.”
Semua anggota keluarga itu sekarang
mengangguk-angguk kepalanya. Mulai mengerti sebagian duduk perkara.
“Terus, ucapan yang lainnya, ya Rasulullah?” tanya sang istri yang
semakin penasaran saja.
Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang
kedua dikatakannya tatkala ia melihat hasil perbuatannya yang lain.
Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi sekali
untuk shalat Subuh, cuaca dingin sekali. Di tepi jalan ia melihat
seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan.
Kebetulan suaminya membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya.
Maka ia pun mencopot mantelnya yang lama yang tengah dikenakannya dan
diberikan kepada si lelaki tua itu. Menjelang saat-saat terakhirnya,
suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal
dan berkata, ‘Coba, andaikata yang masih baru yang kuberikan kepadanya,
dan bukannya mantelku yang lama yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku
jauh lebih besar lagi.’ Itulah yang dikatakan suami selengkapnya.”
“Kemudian, ucapan yang ketiga, apa maksudnya ya Rasulullah?” tanya sang istri lagi.
Dengan
penuh kesabaran, Rasulullah menjelaskan, “Ingkatkah engkau ketika pada
suatu waktu suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta
disediakan makanan? Ketika itu engkau segera menghidangkan sepotong roti
yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, tatkala hendak
dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta
makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Yang sebelah
diberikannya kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu
akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalnya itu.
Karenanya, ia pun menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya,
musafir itu tidak akan kuberi hanya separuh. Sebab, andaikata semuanya
kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda pula.’”
Sekarang,
semua anggota keluarga mengerti. Mereka tak lagi risau dengan apa yang
telah terjadi kepada suami dan ayah mereka ketika akan menjelang
wafatnya. Kelapangan telah ia dapatkan karena ia tidak sungkan untuk
menolong dan memberi.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/andai-lebih-panjang-lagi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar