Oleh: Rikza Maulan, M.Ag
dakwatuna.com
- Dari Abi ‘Abdillah Tsauban Bin Bujdad bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“Dinar yang paling utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang
ia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan untuk
kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk
rekan-rekannya (yang tengah berjuang) di jalan Allah.” (Muslim)
Dalam
kitab Nuzhatul-Muttaqin (syarah Riyadush-Shalihin karya Imam An-Nawawi)
disebutkan, hadits itu menjelaskan peringkat keutamaan pengeluaran
harta (infak) bahwa memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak yang
paling mulia. Dalam hadits lain disebutkan:
“Dinar yang engkau
infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk
(mememerdekakan) hamba sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang
miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluarga, yang paling utama
di antara semua itu adalah dinar yang engkau infakkan kepada
keluargamu.” (Muslim)
Ke manapun alokasinya, yang jelas seseorang
tidak mungkin dapat berinfak jika tidak memiliki harta. Lebih-lebih
jika kita mencermati ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan kita terlibat
dalam jihad. Selalu saja disandingkan antara kewajiban berjihad dengan
jiwa dengan kewajiban berjihad dengan harta. Bahkan dari semua ayat yang
memerintahkan kita berjihad dengan harta dan jiwa, berjihad dengan
harta selalu didahulukan kecuali pada satu ayat saja yakni ayat 111
surah At-Taubah, yang maknanya:
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka
dengan mendapatkan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah,
lalu mereka membunuh atau terbunuh.”
Selebihnya, hartalah yang disebut terdahulu. Perhatikan ayat-ayat berikut:
“Wahai
orang-orang yang beriman, inginkah kalian aku tunjukkan pada suatu
perniagaan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih. Kalian
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kalian berjihad di jalan Allah
denganh harta dan jiwa kalian.” (Ash-Shaf: 10-11)
Ini diperkuat
dengan adanya kewajiban zakat. Dalam urusan yang satu ini memang ada
kesalahan persepsi pada sebagian kaum muslimin. Kewajiban zakat sering
dipahami begini: kalau punya harta, zakatlah; kalau tidak punya, tidak
usah mengeluarkan zakat. Secara fiqih, pemahaman itu sangat benar. Tapi
semangatnya bukanlah semangat kepasrahan pada keadaan. Semangat perintah
zakat harusnya dipahami: carilah uang, kumpulkanlah harta agar dapat
melaksanakan perintah Allah yang bernama zakat. Seharusnya kita membawa
semangat shalat untuk diterapkan pada zakat. Kita selalu berpikir kita
harus bisa melaksanakan shalat dengan segala perjuangan yang menjadi
konsekuensinya. Dari mulai mencari penutup aurat, mencari tempat shalat,
menentukan arah kiblat, mensucikan diri, dan seterusnya.
Itu
semua mematahkan anggapan yang masih dianut sebagian orang bahwa
kesalihan dan ketakwaan identik dengan kepapaan, kemelaratan,
kesengsaraan, dan ketertindasan. Seolah-olah hanya orang miskin, jelata,
dan tertindaslah yang layak menghuni surga. Sebaliknya orang kaya dan
orang yang punya jabatan tidak punya tempat di surga. Ini diperparah
dengan sering disitirnya hadits-hadits dha’if (lemah) atau bahkan
maudhu’ (palsu) yang memberikan pesan untuk menjauhi dunia
sejauh-juahnya demi mencapai ketakwaan dan kesucian jiwa. Atau mungkin
juga menyitir hadits shahih tentang zuhud dengan pemahaman yang salah.
Zuhud
tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa
yang diberikan Allah swt. Zuhud adalah ketiadaan ikatan hati kepada
kekayaan. Bahwa sambil merasa puas dengan apa yang Allah berikan dan
sambil meniadakan ikatan hati dengan harta seseorang memiliki harta dan
jabatan, tidaklah menafikan sifat zuhud.
Utsman Bin ‘Affan adalah
konglomerat dan kaya raya. Beliau termasuk sahabat Nabi saw. yang
dijamin masuk sorga. Demikian pula halnya dengan ‘Abdurrahman Bin ‘Auf.
Beliau sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar kaya raya. Toh beliau
juga termasuk yang dijamin masuk surga. Umar Bin ‘Abdul-‘Aziz, khalifah
yang kaya raya. Tapi justeru dia termasuk orang zuhud.
Posisi
harta dalam Islam sama dengan posisi kemiskinan: sebagai ujian bagi
manusia. Dengan kekayaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan
kekayaan pula orang bisa masuk neraka. Dengan kepapaan orang bisa masuk
surga sebagaimana dengan kepapaan pula orang bisa masuk neraka. Semuanya
ujian! Allah swt. menegaskan:
“Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai ujian.” (Al-Anbiya: 35)
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya
dunia itu manis dan menghijau. Dan sesungguhnya Allah mengangkat kalian
sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat (menguji) bagaimana kalian
bekerja. Maka berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan
wanita. Karena sesungguhnya fitnah Bani Israil adalah pada wanita.”
(Riwayat Muslim)
Jadi, orang yang saleh bukanlah orang memilih
meninggalkan harta melainkan yang lulus dalam ujian mengelola harta itu.
Seseorang dianggap lulus ujian dalam urusan harta manakala:
* Hanya menempuh cara halal untuk memperoleh harta.
Pada
hari kiamat, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban terkait
dengan hartanya, dari manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa? Ini
batu ujian pertama. Rasulullah saw. bersabda:
Dan sesungguhnya
Allah memerintahkan orang-orang beriman seperti yang diperintahkan
kepada para rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang
baik dan beramal salehlah karena sessungguhnya Aku mengetahui apa yang
kamlian lakukan’. Dia juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman
makanlah yang baik dari yang Kami rezekikan kepada kalian’.” Lalu
Rasulullah saw. menerangkan tentang orang yang mengadakan perjalanan
panjang, kusut masai dan berdebu. Ia mengadakahkan kedua tangannya
(berdoa) ke langit (sambil mengatakan): Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan
dari yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan.” (Muslim)
* Harta itu tidak menyebabkan sombong
Orang
yang suksus mengelola harta adalah orang yang dengan hartanya justeru
semakin rendah hati dan menyadari bahwa segala yang dimilikinya adalah
titipan atau amanah dari Allah. Abdurrahman bin ‘Auf yang padahal
termasuk orang yang dijamin masuk surga pernah berlinang air mata saat
dirinya siap menyantap hidangan lezat yang ada di hadapannya. Ketika
ditanya penyebab ia menangis, ia menjawab, “Aku takut hanya yang
kunikmati di dunia inilah yang menjadi ganjaranku dari Allah.”
* Menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah
saw bersabda, “Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada orang
saleh.” Beliau juga memerintahkan kepada kita, “Jauhkanlah dirimu dari
neraka walau dengan hanya sebelah kurma.”
* Menjadi fasilitas untuk silaturahim.
Infaq
adalah baik. Dan infaq kepada kerabat adalah lebih baik lagi. Karena
selain bernilai taqarrub, perbauatan itu juga merupakan upaya
silaturahim. Rasulullah saw. bersabda, “Shadaqah kepada orang misikin
adalah satu shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya hubungan rahim
(kerabat) adalah dua shadaqah: shadaqah dan shilah (menyambungkan).”
(At-Tirmidzi)
* Menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Perjuangan
Islam jelas tidak mungkin tanpa dukungan finansial. Kekuatan
orang-orang kafir harus dihadapi dengan kekuatan optimal kaum muslimin.
Dan ini tentu saja salah kekutan itu adalah kekuatan maliyyah
(finansial).
Itulah sebagian ajaran Islam yang terkait dengan kekayaan. Jadi, menjadi orang kaya, siapa takut? Allahu a’lam.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/kayalah-lalu-masuk-surga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar