Oleh: Mochamad Bugi
Suatu
masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab,
mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan
mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat
berpijak hampir menghitam seperti abu.
Putus asa mendera di
mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang
sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama. Tanggung
jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan
aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada
seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin
pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati
gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad
menemui kehancuran di tangan ini.”
Umar menabukan makan daging,
minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, ia
khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu, hanya
menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa
panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak itu
dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan
berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari
seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai
minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Hampir
setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani
salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk
mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka
yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Malam itu pun,
bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung
itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah
terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang
gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam
bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan
pertolongan mendesak.
Setelah dekat, Umar melihat seorang
perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap
mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja
mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar
salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi
setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Umar
dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai
lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan
ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar tidak habis pikir,
apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum
juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang
kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”
Umar
dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya
ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih
terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?”
Dengan
suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar,
“Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan
Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah
kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang
janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi
anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami
mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan
belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku
mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi
air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan
ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena
lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Ibu
itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh
Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin
kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu,
Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air
mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke
Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di
punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….”
Dengan
wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku
ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah
kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari
pembalasan kelak?”
Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung,
ketika tersuruk-suruk Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung
gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/umar-dan-ibu-pemasak-batu/
Smoga ini jd bahan renungan & contoh buat para pemimpin kita yg kerjanya hanya mengeruk uang rakyat tanpa peduli rakyatnya yg kelaparan, yg hrs meringkuk dibawah kolong jembatan krn tidak punya rumah
BalasHapus