Mampu
menghafal Al-Qur’an adalah karunia Allah yang tak ternilai harganya,
karena tidak semua orang yang diberi karunia ini. Menghafal Al-Qur’an
itu mudah, ia bisa dilakukan siapa saja, berapapun usia dan apapun
profesinya. Balita, anak-anak, tua, dewasa, semuanya bisa menghafal
Al-Qur’an. Sampai-sampai seorang yang buta sekalipun bisa menghafalnya. Inilah yang terjadi pada seorang anak tunanetra asal Mesir ini.
“Wahai Muhammad, Al-Quran ini Kami
turunkan kepadamu bukanlah untuk menjadikan kamu sengsara karena tidak
sanggup melaksanakannya.” (QS. Thaahaa: 2)
“Kami telah memudahkan Al-Quran untuk dihafal dan dijadikan nasehat. Karena itu, adakah orang yang peduli dengan nasehat Al-Quran.” (QS. Al-Qamar: 17)
Mu’adz namanya, ia adalah seorang anak
yang sejak kecilnya ditaqdirkan kurang beruntung, ia tidak dapat melihat
layaknya manusia normal (buta). Sampai disini tidak ada yang unik pada
diri Mu’adz, karena bukan hanya ia yang ditaqdirkan buta di dunia
ini. Namun yang membuat unik adalah walau buta ia mampu menghafal
Al-Qur’an lengkap 30 juz. Sejak awal ia mulai menghafal dengan penuh
kesabaran, dan tentunya dengan motivasi yang tinggi, hingga pada usianya
yang ke 11 tahun ia berhasil menghatamkan Al-Qur’an.
Pembaca sekalian, mungkin bagi kita yang
memiliki penglihatan normal, kita menganggap mata adalah jendela dunia.
Tanpanya, hidup ini terasa tak lengkap dan sempurna. Bayangkan saja jika
sejak lahir kita tidak memiliki mata normal, atau sebelumnya memiliki
penglihatan normal namun pada akhirnya ditakdirkan buta (Nau’udzubillah),
apa yang terjadi? Kita tidak bisa melihat dan tentunya sangat sedih.
Namun tidak demikian bagi anak ini, ia sama sekali tidak pernah mengeluh
atas derita yang ia alami, bahkan ia bersyukur atas kondisinya ini.
Keterbatasan fisik tidak membuatnya terhalang untuk menghafal Al-Qur’an.
Ia menganggap takdirnya ini (buta) menjadi jalan baginya untuk bisa
hafal Al-Qur’an.
“Dalam shalatku, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku…”
Dalam sebuah video rekaman acara tv
seorang imam masjid, yaitu Syaikh Fahd Al-Kandari, mewawancarai Mu’adz
yang juga merupakan pembawa acara pada acara tersebut. Beliau menanyakan
perihal bagaimana ia belajar dan menghafal Al-Qur’an padahal ia
memiliki keterbatasan fisik. Semangatnya untuk menghafal ayat-ayat Allah
yang mulia membuat langkah kakinya ringan untuk pergi ke tempat
gurunya. Dan terjadilah dialog antara syaikh Al-Kandari dan Mu’adz.
“Saya yang datang ke tempat syaikh,” kata Mu’adz.
“Berapa kali dalam sepekan?” Tanya syaikh.
“Tiga hari dalam sepekan,” jawabnya.
“Pada awalnya hanya satu hari dalam
sepekan. Lalu saya mendesak beliau (syaikhnya) dengan sangat agar
menambah harinya, sehingga menjadi dua hari dalam sepekan. Syaikh saya
sangat ketat dalam mengajar. Beliau hanya mengajarkan satu ayat saja
setiap hari,” sambungya.
“Satu ayat saja?” ujar beliau terkejut, takjub dengan semangat baja anak ini.
Dalam tiga hari itu ia khususkan untuk
belajar ayat-ayat suci Al-Qur’an, hingga ia tidak bermain dengan
kawan-kawan sebayanya. Sang penyiar tersenyum dan menepuk paha anak itu
tanda kagum, yang disambut senyum ceria oleh anak ini.
Yang lebih mengagumkan dalam dialog itu
adalah pernyataannya tentang kebutaannya. Ia tidak berdoa kepada Allah
agar Allah mengembalikan penglihatannya, namun rahmat Allah-lah yang ia
harapkan.
“Dalam shalatku, aku tidak meminta kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatanku,” kata anak ini.
Jawaban anak ini membuat sang syaikh makin terkejut.
“Engkau tidak ingin Allah mengembalikan penglihatanmu? Kenapa?” tanyanya heran, seolah tak yakin.
Dengan wajah meyakinkan, anak itu
memaparkan alasannya. Bukannya ia tak yakin pada Allah, bukan. Namun ia
menginginkan yang lebih indah dari sekedar penglihatan.
“Semoga menjadi keselamatan bagiku pada
hari pembalasan (kiamat), sehingga Allah meringankan perhitungan (hisab)
pada hari tersebut. Allah akan menanyakan nikmat penglihatan, apa yang
telah engkau lakukan dengan penglihatanmu? Saya tidak malu dengan cacat
yang saya alami. Saya hanya berdoa semoga Allah meringankan
perhitungan-Nya untuk saya pada hari kiamat kelak,” paparnya dengan
tegas.
Tentu saja, setelah mendengar kalimat
mulia anak ini, semua yang ada di studio saat itu diam. Penyiar TV
nampak berkaca-kaca dan air matanya menetes. Para pemirsa di stasiun TV
serta kru TV tersebut juga tak tahan menitikkan air mata.
“Pada saat ini, saya teringat banyak kaum
muslimin yang mampu melihat namun bermalas-malasan dalam menghafal
kitab Allah, Al-Quran. Ya Allah, bagaimana alasan mereka besok (di
hadapan-Mu)?” kata Syaikh Fahd Al-Kanderi.
“Segala puji bagi Allah dalam segala
keadaan,” kata penghafal Al-Quran muda ini. Subhanallah, ia tak pernah
lupa dengan rabb-nya.
Anak ini juga mengatakan bahwa ia terinspirasi dari kaidah Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah.
“Kaidah imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan “Allah tidak
menutup atas hamba-Nya satu pintu dengan hikmah, kecuali Allah akan
membukakan baginya dua pintu dengan rahmat-Nya,’” katanya.
Kehilangan penglihatan sejak kecil, tidak
membuat ia mengeluh kepada Sang Pencipta. Ia tak iri pada orang lain
apalagi kufur nikmat. Ikhlash menerima takdirNya.
“Alhamdulillah, saya tidak iri kepada kawan-kawan meski sejak kecil saya sudah tidak bisa melihat. Ini semua adalah qadha’ dan qadar Allah,” katanya.
“Kita berdoa kepada Allah semoga
menjadikan kita sebagai penghuni surga Al-Firdaus yang tertinggi,” kata
anak yang hafal Al-Quran itu.
Matanya yang buta, tak membuat hatinya buta dalam mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Subhanallah…
Dalam sebuah hadits Qudsi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَالَ: إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ، عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الجَنَّة
Allah
berfirman, “Jika Aku menguji hamba-Ku dengan menghilangkan penglihatan
kedua matanya lalu ia bersabar, niscaya Aku akan menggantikan
penglihatan kedua matanya dengan surga.” (HR. Bukhari no. 5653, Tirmidzi no. 2932, Ahmad no. 7597, Ad-Darimi no. 2795 dan Ibnu Hibban no. 2932).
Begitulah kisah dan perjalanan Mu’adz
dalam menghafal Al-Qur’an, kemauannya yang kuat untuk menghafal Al-Quran
seolah membuat dirinya lupa bahwa ia buta. Ia menganggap fisiknya yang
terbatas bukan menjadi penghalang baginya untuk meraih cita-citanya,
menjadi penghafal Al-Quran. Ia sepenuhnya menyadari bahwa segala apa-apa
yang diberikan oleh Allah di dunia ini kelak akan dimintai pertanggung
jawabannya di akhirat. Maka ia tak pernah menyia-nyiakan waktunya, ia
menikmati hari-harinya dengan Al-Quran hingga ia behasil menghafalnya.
Itulah yang terjadi pada Mu’adz.
Bagaimana dengan kita, yang memiliki fisik normal? Mengapa Mu’adz bisa
hafal Al-Quran sedang kita tidak? Apa bedanya kita dengan Mu’adz,
apalagi ia seorang buta?
Kisah Mu’adz diatas merupakan bukti bahwa
Al-Quran itu mudah, mudah untuk dihafal, mudah bagi siapa saja, tak
terkecuali kita. Artinya, siapapun kita pada dasarnya bisa menghafal
Al-Quran. Jadi, tidak benar bila ada yang beranggapan bahwa Al-Quran itu
susah untuk dihafal. Bukankah Allah telah berfirman:
“Kami telah memudahkan Al-Quran untuk dihafal dan dijadikan nasehat. Karena itu, adakah orang yang peduli dengan nasehat Al-Quran.” (QS. Al-Qamar: 17)
Namun perkara itu menjadi tidak mudah
bila kita sendiri yang mempersulitnya. Mengatakan bahwa Al-Quran susah
untuk dihafal sesungguhnya mempersulit diri kita, karena kita belum
percaya (membuktikan) bahwa Al-Quran itu mudah dan tidak susah untuk
dihafal. Jadi, yakin dan percayalah bahwa kita bisa menghafal Al-Quran.
Kapan mulai menghafal? Wallahua’lam…
Sumber : http://zakylife.wordpress.com/2013/02/22/subhanallah-walau-buta-anak-ini-hafal-al-quran/
terima kasih sobat atas ulasan artikelmu saat ini. Insya Allah tulisan yang bermanfaat ini dapat menggugah sodara-sodara kita seiman untuk mempelajari terlebih menghafal Al Qur'annul Kariim.
BalasHapus