Oleh: Samin Barkah, Lc
Dari
Amirul Mukminin, Umar bin Khathab r.a., ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung
kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.
Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan
mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang
hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena
wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan
mendapatkan apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Bunyi hadits di atas adalah:
عَنْ
أَمِيرِ اْلمُؤمِنِينَ أبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله ورسوله فهجرته إلي الله
ورسوله َمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ
يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رَوَاهُ البُخَارِي
وَمُسْلِمُ)
Tentang Hadits
Hadits ini hanya diriwayatkan
oleh satu alur sanad, yaitu alur sanad Yahya bin Said Al-Anshari dari
Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari ‘Alqamah bin Abi Waqash Al-Laitsi,
dari Umar bin Khathab.
Setelah Yahya bin
Said Al-Anshari inilah kemudian banyak ulama dan ahli hadits yang
meriwayatkan. Diriwayatkan lebih dari 200 orang rawi. Ada yang
mengatakan bahwa yang meriwayatkan dari Yahya ini sekitar 500 orang. Di
antara ulama yang meriwayatkan dari Yahya adalah Imam Malik, Ats-Tsauri,
Al-Auza’i, Ibnu Mubarak, Al-Laits bin Saad, Hamad bin Zaid, Syu’bah,
Ibnu ‘Uyainah dan ulama lainnya.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih.
Menurut
Imam Ahmad bahwa hadits ini adalah satu dari tiga hadits dasar-dasar
Islam. Imam Syafii mengatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu.
Hadits ini masuk pada 70 bab fiqih. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Jika
aku akan menulis satu bab, maka aku meletakkan hadits ini pada tiap
bab. Barang siapa yang mau menyusun buku, maka mulailah dengan hadits
ini.
Para ulama lain juga selalu menyebutkan hadits ini pada
mukadimah kitabnya, seperti Imam Bukhari pada kitab Hadits Shahihnya.
Karena itu pulalah penulis memulai rubrik ini dengan hadits niat.
Penjelasan Hadits
Hadits
ini menegaskan bahwa diterimanya amal perbuatan manusia tergantung
keikhlasan kepada Allah. Al-Qur’an juga menegaskan dalam surat
Al-Bayyinah ayat 5 dan Az-Zumar ayat 2-3.
Ada dua penyakit hati
yang bisa merusak amal manusia. Pertama adalah penyakit ujub dan yang
kedua adalah penyakit riya. Dua penyakit ini akan mengakibatkan amal
perbuatan manusia tidak bernilai.
Diriwayatkan oleh Al-Qasim bin
Al-Mukhaimarah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan
menerima amal perbuatan yang di dalamnya masih terdapat riya walau
sebesar biji sawi.”
Para ulama fiqih menegaskan bahwa niat adalah
pembeda antara ibadah dan adat, membedakan antara satu ibadah dengan
ibadah lainnya; misalnya mandi, bisa mandi untuk kesegaran, untuk
kebersihan atau mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar atau mandi
sunat shalat Jum’at.
Jadi, niat dalam Islam merupakan asas ibadah
dan tempat niat itu ada di hati. Apabila seseorang niat shalat atau
puasa di dalam hati, tanpa dilafalkan oleh lisan, maka sudah cukup.
Ada
ibadah-ibadah yang tidak dapat diwakili, karena لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى (seseorang akan mendapatkan apa yang ia niatkan) dan apa pula
beberapa ibadah yang boleh diwakilkan, seperti zakat atau sembelih
kurban atau menghajikan orang yang sudah meninggal.
Al-Fudhail
bin ‘Iyadh mengomentari ayat, لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُم أَحْسَنُ عَمَلاً
bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash
(paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada dua syarat
diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan,
termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi
pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka amal tersebut
tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan dan
ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya
tidak semata-mata karena Allah, maka amalnya tidak diterima.
Seseorang
yang niat ikhlas ketika membangun masjid, tetapi dana untuk membangun
masjid tersebut didapat dengan cara yang haram dan itu bertentangan
dengan tuntunan agama, maka amalnya ditolak Allah. Seseorang yang
niatnya ikhlas untuk shalat Subuh, tetapi pelaksanaannya sengaja
dilebihkan rakaat karena semangat sampai 3 atau 4 rakaat, maka ibadahnya
tidak diterima Allah. Semua ibadah atau perbuatan yang niatnya baik,
tetapi dilakukan tidak berdasarkan syariat, maka tidak akan diterima
oleh Allah. Begitu juga sebaliknya.
Itulah yang dimaksud dengan
amal shalih seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 110 disebutkan, “Barang
siapa berharap berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Tuhannya”.
Umat Islam perlu memahami makna
hijrah yang lebih luas, yaitu meninggalkan negeri yang tidak dijalankan
syariat ke negeri yang dijunjung syariat Islam. Selain ditentukan Allah
dan Rasul-Nya, keutamaan tempat juga ditentukan oleh penghuninya. Dan
keutamaan muslim ditentukan oleh ketaatan dan ketaqwaannya.
Abu
Darda pernah mengirim surat kepada Salman Al-Farisi, “Berangkatlah ke
sini, ke bumi muqaddas, bumi yang suci.” Salman pun membalas surat itu
dan mengatakan, “Sesungguhnya bumi tidak akan membuat orang menjadi
mulia, tetapi seorang hamba akan mulia dengan amalnya.
Salman telah dipersaudarakan oleh Rasulullah saw dengan Abu Darda. Salman lebih menguasai hukum fiqih daripada Abu Darda.
Untuk
menguatkan pengertian ini, Allah menegaskannya ketika Dia berfirman
kepada Musa a.s, “Aku akan perlihatkan kepadamu bumi orang-orang fasik”
(Al-A’raf: 145), yaitu negeri para begundal bertubuh besar. Kemudian
dengan perubahan penghuninya, negeri itu menjadi negeri orang-orang
beriman.
Sosial Kemasyarakatan
Penggunaan kata امْرِئٍ
(seseorang) pada وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى merupakan suatu
ungkapan yang tepat, karena ungkapan ini mencakup wanita dan pria. Ini
menunjukkan bahwa Islam tidak membedakan antara pria dan wanita dalam
menjalankan syariah, seperti juga disebut dalam surat An-Nisa ayat 124,
“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”
Islam
mengarahkan peran sosial kepada tugas pria dan wanita secara
proporsional seperti disebut dalam surat At-Taubah ayat 71, “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tidak
ada perbedaan pahala bagi pria atau wanita ketika beramal atau
melakukan perbuatan baik. Semuanya sama di sisi Allah, siapa yang
beramal ikhlas dan sesuai syariat, pria atau wanita, pasti akan
mendapatkan kebaikan.
Ketika Barat memberikan kebebasan multak
dengan emansipasinya kepada wanita atau Timur yang membelenggu hak-hak
wanita Islam, Islam justru meletakkan wanita pada tempat yang layak
sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Islam tidak membelenggu kebebasan
dan kemerdekaan wanita dan juga tidak melepaskannya sama seperti pria,
tanpa memperhatikan kodrat kewanitaan yang berbeda dengan pria, seperti
haidh, melahirkan, menyusui dan lain-lain.
Dari ungkapan
Rasulullah saw. “فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله ورسوله فهجرته إلي
الله ورسوله menunjukkan bahwa perintah hijrah pada masa Rasulullah saw.
adalah perintah yang sangat penting dan melaksanakan perintah tersebut
merupakan bagian dari strategi politik dakwah. Allah memerintahkan
Rasulullah dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di kota Yatsrib.
Hijrah
secara bahasa berarti “tarku” (meninggalkan). “Hijrah ila syai” berarti
“intiqal ilaihi ‘an ghairi” (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu).
Menurut istilah, hijrah berarti “tarku maa nahallahu ‘anhu” (meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah)
Hijrah
menurut sejarah penetapan hukum (tarikh tasyri) adalah berpindahnya
kaum muslimin dari kota Mekah ke kota Madinah, dan juga dari kota Mekah
ke kota Habasyah.
Pengertian hijrah secara khusus dibatasi hingga
penaklukan kota Mekah. Setelah itu hijrah dengan makna khusus sudah
berakhir, maka tinggallah perintah hijrah dengan makna umum, yaitu
berpindah dari negeri kafir ke negeri iman. Makna kedua ini berlaku
setelah penaklukan kota Mekah.
Hijrah dalam sejarah perjuangan
Rasul merupakan strategi dakwah Islam. Para sahabat berlomba-lomba
melakukan hijrah, baik dari kota Mekah maupun dari negeri dan kawasan
sekitar Mekah, karena mereka memahami bahwa hijrah adalah bagian dari
syariat dan strategi dakwah Rasul.
Melaksanakan perintah hijrah
merupakan bagian dari strategi politik dakwah dan hukumnya wajib bagi
para sahabat yang berada di luar kota Madinah. Allah memerintahkan
Rasulullah saw dan sahabat untuk membina masyarakat Islam di kota
Yatsrib. Hijrah dalam sejarah perjuangan Rasul merupakan strategi dakwah
Islam. Para sahabat berlomba-lomba melakukan hijrah, baik dari kota
Mekah maupun dari negeri dan kawasan sekitar Mekah, karena mereka
memahami bahwa hijrah adalah bagian dari syariat dan strategi dakwah
Rasul.
Rasulullah saw. menjanjikan pahala yang besar bagi yang
berhijrah dan menjadi catatan atau aib jika seorang muslim tidak
berhijrah. Semangat hijrah adalah semangat mentaati pemimpin dan
semangat melaksanakan kebijakan dakwah. Kesempatan untuk mendapatkan
keutamaan hijrah pun dibatasi dengan takluknya kota Mekah. Rasulullah
saw. bersabda, “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah.
Yang masih ada adalah jihad dan niat.” Kenapa, karena memang strategi
hijrah pada masa Rasul saat itu adalah mengumpulkan kekuatan dari kota
Mekah ke kota Madinah.
Disebutkan dalam riwayat dengan sanad yang
lemah dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Suatu perkataan tidak akan
bermanfaat kecuali dengan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan tidak
bermanfaat kecuali dengan niat. Tidak akan bermanfaat suatu perkataan,
perbuatan dan niat kecuali jika sesuai dengan syariat Islam.”
Kerja
dakwah yang sangat besar ini harus dipikul oleh banyak orang. Agar
lebih rapih dan hasilnya maksimal, maka diperlukan pembagian kerja yang
proporsional. Sehingga setiap job dan lapangan dakwah diisi oleh orang
yang paham dan ahli. Jenis job dan pekerjaan itu sendiri tidaklah sama
antara satu dengan yang lain. Ada yang menjadi pemimpin, ada yang
dipimpin. Ada panglima, ada tentara. Ada ketua, ada anggota. Ada yang
menjadi panitia, ada yang menjadi penceramah. Ada yang tampil, ada yang
tidak tampil. Ada yang memimpin rapat, ada yang menyiapkan teh dan
seterusnya. Semua di sisi Islam adalah sama, yaitu ibadah dan taat
kepada Allah. Semua itu bergantung pada niat pelakunya. Jika semua
bekerja dengan niat yang ikhlas, maka bangunan Islam akan tampak megah
dan menarik. Tetapi jika masing-masing ingin tampil dan ingin dikenal,
maka akan terlihat Islam penuh dengan umat yang saling baku hantam satu
dengan yang lain.
Sangat bijak apa yang dikatakan oleh Ibnu
Mubarak, “Berapa banyak pekerjaan yang kecil dan ringan, tetapi menjadi
besar pahalanya karena niat. Dan berapa banyak pekerjaan yang besar,
tetapi menjadi tidak bernilai karena niatnya tidak ikhlas.”
Penutup
Pemahaman
yang luas dan dalam terhadap ajaran Islam dapat menjaga dan
meningkatkan ma’nawiyah. Keikhlasan tidak boleh bergantung kepada orang
lain, tetapi berdasarkan pemahaman bahwa Allahlah yang melihat, memberi
balasan dan menghukum, bukan orang lain.
Jika kita menyaksikan
saudara muslim kita yang lebih senior melakukan kekhilafan atau
melanggar komitmen, maka hal itu tidak akan mengendorkan semangat dan
keikhlasan dalam bekerja. Atau jika aktivis sudah banyak berbuat untuk
dakwah, maka keikhlasannya tidak akan terganggu dan rusak hanya karena
diberikan jabatan atau tidak.
Jika aktivis dakwah melihat para
yuniornya tidak menghormati dan tidak menghargainya, maka dengan niat
yang ikhlas dia tidak akan tersinggung, karena dia yakin bahwa apa yang
pernah ia lakukan akan dicatat dan diberikan ganjaran oleh Allah,
diketahui manusia atau tidak. Disebut-sebut oleh manusia atau tidak.
Keikhlasan
janganlah dijadikan alasan untuk tidak profesional dan tidak mau
tampil. Profesionalisme merupakan karakter hamba yang dicintai Allah dan
merupakan tuntutan amal da’wi dan amal tarbawi. Dengan kepribadian dan
dengan profesionalisme seseorang dituntut untuk tampil ke depan agar
masyarakat melihat citra Islam yang baik.
Gerakan dakwah harus
memiliki tokoh dan sekarang saatnya bagi aktivis dakwah untuk ditokohkan
di masyarakat melalui berbagai sarana. Masyarakat kita memerlukan tokoh
bersih dan idealis. Semua upaya memunculkan tokoh janganlah dibenturkan
dengan keikhlasan. Pemunculan tokoh dalam tiap bidang adalah bagian
dari kerja dakwah jangka menengah dan jangka panjang. Proses ke sana itu
harus dilakukan dengan profesional.
Penutup kalam bahwa ikhlas
adalah salah satu rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh manusia,
kecuali Allah saja dan orang yang bersangkutan. Jadi tidak ada alasan
bagi kita untuk menilai seseorang, ikhlas atau tidak ikhlas. Wallahu
a’lam.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/amal-yang-diterima-allah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar