Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang
tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan
kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa. Sungguh suatu
kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang
pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa
dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya telah
disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR.
Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan yang
mulia ini. Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim namun di
siang hari bulan Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia mengganggu
saudaranya dengan asap rokok. Sungguh sangat merugi sekali orang yang
meninggalkan ibadah ini, padahal amalan ini adalah bagian dari rukun
Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam dan para ulama sepakat
tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam yang satu ini.
Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk
beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut.
Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa
amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa
Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah
Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang
yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat lima
waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan
shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya
pintu neraka ketika itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)
Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau
memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka
hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula
dengan shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum pria.
Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ
وَعَهِدْتُ عِنْدِى عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ
لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ
فَلاَ عَهْدَ لَهُ عِنْدِى
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima
waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada
waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak
menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu
Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia
dibanding shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)
Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan
oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1 Syawal)
saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk
silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga seringkali kita lihat sebagian
saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat
shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat
dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ
وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ
حَبْوًا
“Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali
shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan
keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.”
(HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagi orang yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban radhiyallahu
‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah
shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan
kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no.
566)
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat.
Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi,
An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat
Misykatul Mashobih no. 574)
Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap muslim
–khususnya kaum pria- menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin
kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan
berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam
masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi
perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat,
shalat jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang
menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau
radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ.
فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ
فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ «
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ «
فَأَجِبْ ».
“Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki
orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan untuk
shalat di rumah. Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan berkata, ‘Apakah engkau
mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut menjawab, ‘Iya.’ Lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penuhilah panggilan
tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)
Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di
masjid, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya
keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat jama’ah di masjid. Padahal
dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun yang menemaninya,
rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan buas dan banyak
pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun
dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan, dia
tetap wajib jama’ah di masjid.
Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih
wajib lagi untuk berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang
menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid. Jika seseorang
meninggalkan shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti telah
berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang
dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan lebih
utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.
Memperbanyak Puasa Sunnah
Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan, hendaklah kita
menyempurnakannya pula dengan melakukan amalan puasa sunnah. Di antara
keutamaannya adalah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berikut,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai,
…” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di
dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari
perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai
dari api neraka. Keutaman lain dari puasa sunah terdapat dalam hadits
Qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ،
وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا
وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ،
وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan
sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku
akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar,
memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi
petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan sunnah. Dia akan
mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan
orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari
Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad,
www.islamspirit.com)
Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah
Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari Syawal.
Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih
utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15.
Kita juga dapat melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Arofah (pada tanggal
9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan banyak
berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya kemampuan boleh
juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Semoga
Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa sunnah ini.
Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal
Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk menunaikan
amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini
mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al
Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan
Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam
hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab
Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56
mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol
(utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah
shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga
akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal
setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”
Apa faedah melakukan puasa enam hari di bulan Syawal?
Ibnu Rojab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya:
1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat rawatib qobliyah
dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan kekurangan
dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki
kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan
menyempurnakannya.
3. Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya
amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba,
maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana
sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan
kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia
melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda
diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan
kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah
tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah
dilakukan.”
4. Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk
melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang
telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan
puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam
harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa
sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan
dari Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy Syamilah)
Sungguh sangat beruntung sekali jika kita dapat melaksanakan puasa enam
hari di bulan Syawal. Ini sungguh keutamaan yang luar biasa, saudaraku.
Marilah kita melaksanakan puasa tersebut demi mengharapkan rahmat dan
ampunan Allah.
Penjelasan penting yang harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang
yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk
menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara
yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi
apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan
puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar
mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada
tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa
sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita
kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi,
“Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
-bersambung insya Allah-
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
nice artikel,,, informasi yang sangat bermanfaat sekali,, thank's,,,
BalasHapussalam kenal dari tituit.com!
kasta netter terbaik sadar, tetep BLOGGER! MERDEKA!
FORUM ARTIKEL UNIK DAN MENARIK | FORUM ARTIKEL TIPS DAN TRICKS LENGKAP |FORUM CURHAT DAN MOTIVASI TOP | FORUM PUISI DAN PANTUN LENGKAP | FORUM HIBURAN HOMUR LUCU GOKIL | FORUM TANYA JAWAB ONLINE TERLENGKAP | FORUM BERITA ONLINE SEKITAR KITA | FORUM KENALAN ONLINE AMAN NYAMAN MENYENANGKAN