Oleh: Rikza Maulan, M.Ag
Dari
Abdullah Jabir bin Abdillah Al-Anshari r.a. bahwasanya seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw.: “Bagaimana pendapatmu jika
aku melaksanakan shalat-shalat fardhu, berpuasa di bulan ramadhan,
menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta aku tidak
menambah dengan sesuatu apapun selain itu, apakah (dengan hal tersebut)
bisa menjadikan aku masuk surga?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” (HR.
Muslim)
Tarjamatur Rawi
· Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram
Beliau
adalah Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram Abu Abdillah Al-Anshari,
salah seorang sahabat Rasulullah saw. Tinggal di Madinah dan wafat pula
di Madinah pada tahun 78 H. Beliau termasuk sahabat yang terbanyak
meriwayatkan hadits Rasulullah saw. Tercatat hadits riwayat beliau
sekitar 1.540-an hadits. Beliau juga termasuk sahabat terakhir yang
wafat di Madinah. Beliau wafat dalam usia 94 tahun.
· Abu Al-Zubair
Beliau
adalah Muhammad bin Muslim Abu Al-Zubair Al-Azady, salah seorang di
bawah wushta minat tabiin. Wafat tahun 136 H. Beliau mengambil hadits
dari sahabat dan juga dari tabiin, di antaranya adalah Anas bin Malik,
Aisyah ra, Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin
Zubair, Ibnu Abbas, dan Thawus bin Kaisan. Sedangkan murid-murid beliau
adalah Hammad bin Salamah bin Dinar, Sufyan bin Uyainah, Sulaiman bin
Mihran, Syu’bah bin Hajjaj, dan Malik bin Anas. Adapun dalam derajat
jarh wa ta’dil-nya, sebagian mengkategorikannya tisqah, sebagian lainnya
shaduq. Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengkategorikan beliau sebagai Shaduq.
· Ma’qil bin Ubaidillah
Beliau
adalah Ma’qil bin Ubaidillah, Abu Abdullah Al-Harani Al-Abasy, salah
seorang Atba’ Tabiin. Wafat pada tahun 166 H. Beliau mengambil hadits di
antaranya dari Atha’ bin Abi Ribah, Ikrimah bin Khalid, Amru bin Dinar,
dan Ibnu Syihab Al-Zuhri. Sedangkan murid-muridnya adalah Makhlad bin
Yazid, Muhammad bin Abdullah bin Zubair bin Umar bin Dirham, dan
Abdullah Muhammad bin Ali bin Nufail. Dalam jarh wa ta’dil beliau
dikategorikan sebagai shoduq.
Gambaran Umum Tentang Hadits
Para
ulama hadits mengemukakan bahwa hadits ini memberikan gambaran penting
tentang kaidah beramal secara umum dalam Islam. Oleh karenanya sebagian
bahkan mengatakan bahwa hadits ini mencakup seluruh ajaran Islam. Kaidah
yang digambarkan hadits ini adalah bahwa sesungguhnya segala “amal
perbuatan” itu boleh dilaksanakan selagi terpatri dengan
kewajiban-kewajiban syariat serta tidak melanggar prinsip umum hukum
Islam, yaitu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
Terkait
dengan hal ini, ulama ushul fiqh bahkan memberikan satu kaidah
tersendiri mengenai “bolehnya” melakukan segala perbuatan dalam muamalah
dengan kaidah: Hukum asal dalam bermuamalah adalah “boleh”, kecuali ada
dalil yang melarang perbuatan tersebut.
Makna Hadits
Hadits
ini memberikan gambaran sederhana mengenai cara untuk masuk ke dalam
surga. Dikisahkan bahwa seseorang sahabat (dalam riwayat lain disebutkan
bahwa sahabat ini adalah An-Nu’man bin Qauqal) datang dan bertanya
kepada Rasulullah saw. dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Ya
Rasulullah saw, jika aku melaksanakan shalat yang fardhu, puasa yang
wajib (puasa ramadhan), kemudian melakukan yang halal dan meninggalkan
yang haram, apakah dengan hal tersebut dapat mengantarkanku ke surga?”
Pertanyaan sederhana ini dijawab oleh Rasulullah saw. dengan jawaban
sederhana, yaitu “ya”.
Hadits di atas secara dzahir menggambarkan
“kesederhanaan” amalan yang dilakukannya sebagai seorang sahabat, yaitu
hanya melaksanakan shalat dan puasa serta melakukan perbuatan yang
dihalalkan dan meninggalkan perbuatan yang diharamkan. Dan ketika
perbuatannya tersebut “ditanyakan” kepada Rasulullah saw., beliau pun
tidak mematahkan “keterbatasan” yang dimiliki sahabat tersebut, namun
justru menyemangatinya dengan membenarkan bahwa dengan hal sederhana
tersebut insya Allah dapat membawa dirinya masuk ke dalam surga.
Itu
artinya, Rasulullah saw dapat memahami bahwa tidak semua muslim
memiliki kemampuan yang “lebih”, sehingga ia dapat maksimal melakukan
berbagai aktivitas ibadah secara bersamaan sekaligus, seperti ibadah,
jihad, tilawah, shaum, shadaqah, haji, birrul walidain dan sebagainya.
Namun di antara kaum muslimin terdapat juga yang hanya memiliki
kemampuan terbatas; hanya dapat mengimplementasikan Islam sebatas
amaliyah fardhu, namun tetap menghalalkan yang halal dan mengharamkan
yang haram. Dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya (Al-Baqarah: 286).
Menghalalkan Yang Halal Dan Mengharamkan Yang Haram
Kesederhanaan
amalan yang dilakukan seorang muslim hingga dapat membawanya ke dalam
surga, dibingkai dengan bingkai “menghalalkan yang halal dan
mengharamkan yang haram”. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang
haram artinya bahwa dirinya atau keinginannya mengikuti apa yang
dihalalkan oleh Allah swt. serta menjauhi apa yang diharamkan oleh Allah
swt. Dan bukan atas dasar keinginan serta kemauan diri pribadinya
(Al-Kahfi: 28).
Bahkan dalam hadits, Rasulullah saw. menegaskan
bahwa hanya dengan melaksanakan kewajiban seperti shalat, puasa dan
zakat saja, namun belum menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang
haram, itu semua belum cukup:
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
saw. bersabda, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut?” Sahabat
menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak
memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta.” Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang
pada hari kiamat dengan shalat, puasa dan zakat. Namun ia juga mencela
(orang) ini, menuduh zina (orang) ini, memakan harta (orang) ini,
menumpahkan darah dan memukul (orang) ini. Lalu diambillah kebaikannya
untuk menutupi hal tersebut. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum
terlunasi “perbuatannya” tersebut, maka diambillah dosa-dosa mereka
(yang menjadi korbannya) dan dilemparkan kepadanya, lalu ia dilemparkan
ke dalam api neraka (HR. Ahmad).
Banyak Jalan Menuju Surga
Sesungguhnya
jika diperhatikan hadits-hadits Rasulullah saw. lainnya akan didapatkan
bahwa banyak amalan sederhana yang jika dilakukan akan mengantarkan
kita menjadi ahlul jannah, di antaranya adalah:
· Melaksanakan
shalat subuh dan ashar. Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang shalat dua waktu dingin
(subuh dan ashar), maka ia akan masuk surga (HR. Bukhari).
·
Tauhidkan Allah dan melaksanakan ibadah fardhu. Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa seorang Badui datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai
Rasulullah, tunjukkan padaku satu amalan yang jika aku laksanakan dapat
mengantarkanku ke dalam surga?” Beliau menjawab, “Engkau menyembah Allah
dan tidak menyekutukannya terhadap apapun, melaksanakan shalat fardhu,
membayar zakat yang wajib serta melaksanakan puasa di bulan ramadhan.”
(HR. Bukhari)
· Mentaati Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Semua umatku akan masuk surga, kecuali
yang enggan.” Sahabat bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah
saw.?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang mentaatiku masuk surga, dan
siapa yang maksiat terhadapku (tidak mentaatiku) maka ia adalah yang
enggan.” (HR. Bukhari)
· Beramal sosial. Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah di antara kalian yang berpuasa
hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Kemudian
beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang hari ini mengiringi
jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Kemudian
beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang telah memberikan
makan pada orang miskin hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai
Rasulullah saw.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara
kalian yang hari ini telah menjenguk saudaranya yang sakit?” Abu Bakar
menjawab, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Lalu Rasulullah saw. bersabda,
“Tidaklah semua hal di atas terkumpul dalam diri seseorang, melainkan ia
akan masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim)
Kunci Surga adalah La Ilaha Ilallah
Pada
hakikatnya, kunci surga itu adalah kalimat tauhid “Tiada Ilah selain
Allah swt”. Sehingga seorang mu’min yang telah mengucapkan kalimat itu
dan ia meyakini sepenuh hati atas segala konsekuensinya, maka ia berhak
untuk masuk ke dalam surga Allah swt.
Dari Ubadah bin Al-Shamit
r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang bersaksi bahwasanya
tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan
bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasanya Isa a.s.
adalah hamba dan utusannya yang merupakan kalimat dan ruh yang
ditiupkan pada Maryam, dan bahwasanya surga dan neraka adalah benar
adanya, maka Allah swt. akan memasukkannya dalam surga sesuai amal
perbuatannya (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas dapat dipahami
bahwa seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah, berhak
mendapatkan surga dari-Nya. Dan sekiranya ia melakukan perbuatan
maksiat, maka ia tetap berhak mendapatkan surga namun setelah
dosa-dosanya dihapuskan dalam neraka.
Celaan Terhadap Orang Yang Mengikuti Hawa Nafsu
Penyebab
seseorang melakukan satu perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah.
adalah karena mengikuti hawa nafsunya. Oleh karenanya dalam sebuah
hadits, Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Tidak beriman salah seorang
di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa
(syariat Allah swt.).” Dalam Alquran Allah memberikan perumpamaan yang
amat hina bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya: seperti anjing.
(Al-A’raf: 176)
Mengikuti hawa nafsu ini dapat menjadikan
seseorang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Ini
kebalikan dari pesan yang tersurat dari hadits di atas. Oleh karenanya,
salah satu bentuk “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram”
adalah dengan membuang jauh-jauh hawa nafsu yang cenderung mengajak pada
kemaksiatan pada Allah swt. Dan insya Allah, hal ini akan dapat
menjadikan kita termasuk calon penghuni surga.
Hikmah Tarbawiyah
Bagi
seorang mukmin yang senantiasa mengharap ridha Allah swt. ketika
membaca sebuah hadits, ia akan berupaya untuk mentadaburi hadits
tersebut sehingga memberikan bekal dalam perjalanan panjangnya. Di
antara hikmah yang dapat dipetik dari hadits di atas adalah:
1.
Bahwa kesederhanaan dalam beramal, disertai ketulusan dan keikhlasan
untuk senantiasa berpijak pada syariat Allah, insya Allah akan
mengantarkan seseorang pada surga Allah swt.
2. Tidak semua orang
memiliki kemampuan untuk memiliki “prestasi” yang menonjol dalam amalan
ukhrawi, sehingga tidak baik bagi seorang dai untuk ‘memaksakan’ suatu
amaliyah tertentu pada obyek dakwahnya yang tidak sanggup mengembannya.
Namun bukan berarti bahwa setiap orang harus dinilai berdasarkan
‘pengakuan’ dan ‘keinginannya’ saja. Karena manusia jika tidak dipacu
untuk maju, akan sukar baginya untuk maju.
3. Bahwa dalam muamalah,
Islam memberikan kebebasan mutlak untuk melakukan inovasi amal, selama
tidak ada dalil yang melarang satu perbuatan tertentu. Apakah di bidang
sosial, politik, ekonomi, pendidikan, seni, budaya, dan lain sebagainya.
Namun semua hal ini tetap harus dalam ‘frame’ untuk menegakkan
kalimatullah di muka bumi ini, serta harus diproteksi dengan sistem yang
dapat menjaganya dari kekeliruan dan potensi penyelewengan. Hal ini
berbeda dengan masalah ibadah, yang tidak boleh dilakukan kecuali adanya
dalil yang memerintahkannya.
4. Seorang dai haruslah bersikap
bijaksana dan senantiasa memotivasi objek dakwahnya untuk beramal,
kendatipun kecilnya amalan tersebut. Karena dengan adanya motivasi,
seseorang akan terus tergerak untuk beramal yang lebih baik dan baik
lagi. Sikap ini tergambar dari jawaban Rasulullah saw. dalam hadits di
atas.
5. Sebuah cita-cita yang besar demi kemaslahatan umat,
tidaklah bisa dijadikan satu alasan untuk meninggalkan perkara-perkara
yang kecil. Hadits Abu Bakar Al-Siddiq di atas menggambarkan kepada
kita, betapa perhatiannya Abu Bakar terhadap masalah kecil, seperti
menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memberi makan orang miskin,
dan sebagainya. Padahal beliau merupakan sahabat yang paling besar
andilnya dalam mensukseskan dakwah pada masanya. Sehingga jangan sampai
karena alasan cita-cita yang besar, seorang dai mengabaikan
amaliyah-amaliyah kecil.
6. Dalam beberapa hadits, shalat dan puasa
selalu disebutkan sebagai amalan yang dapat memasukkan seseorang ke
dalam surga. Hal ini menunjukkan ‘pentingnya’ peranan shalat dan puasa.
Sehingga tiada alasan bagi seseorang mengabaikan kedua ibadah ini dalam
kondisi apapun juga.
7. Penyebutan shalat dan puasa yang
berulang-ulang, sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat dan
puasa memiliki implikasi positif dalam diri siapapun yang
mengamalkannya. Shalat dan puasa bukanlah sebuah ritual yang ‘wajib’
dilaksanakan dan setelah itu sudah. Namun shalat dan puasa adalah ibarat
pondasi dasar dan pagar yang dapat membentengi iman dari kerusakan dan
kehancuran.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/jalan-menuju-surga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar