Oleh: Mochamad Bugi
dakwatuna.com – Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.
Apa
pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor
pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki
tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam
membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga
kita.
Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah
yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah
mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak
tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam
berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga
seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk
beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal
bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan
hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam
berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah
(emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.
Karena
itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah
sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga.
Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami
untuk saat ini dan masa depan.
Jadi,
sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun
keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga
adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus
dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh
yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak
heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih
pasangan hidup. Jangan asal pilih.
Abi Hurairah r.a. berkata,
bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena
empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi
wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya
karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah
bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda,
“Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab
kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita
hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi
nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek
lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih
baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak
beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi
saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur,
lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah,
dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta
suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad
dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).
Keshalihan diri
kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga
samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan
karakteristik sebagai berikut:
- Keluarga yang dibangun oleh pasangan suami-istri yang shalih.
- Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.
- Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.
- Keluarga yang anggota keluarganya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.
- Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.
- Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
- Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).
- Keluarga yang baik dalam mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir. [QS. Ruum (30): 21]
Untuk apa Allah
memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal
untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang
manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga
level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2)
ayat 201.
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka”
- رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً
- وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
- وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Itulah
sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di
dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat.
Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga.
Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan
dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi
tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa
tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang
sebenarnya bagi diri seorang mukmin.
Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]
Karena
itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang
selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia.
Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi
menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)
Inilah
tugas pokok seorang kepala keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota
keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini
sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka
dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang
masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras.
Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di
jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota
keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah
bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang
itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu
orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.
Tugas berat
ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri
tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya,
akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya
visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka.
Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih
pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan
anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong
agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah
dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]
Tolong
menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga.
Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola
keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang
seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga
diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS.
An-Nisa' (4): 34]
Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar
betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah
keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat?
Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga
berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?
Jika kita yakin
bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus
terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin
dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya
tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui
bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus
direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan
yang kuat (azzam).
Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi
sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura.
Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi
keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan
Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain
berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah
membuat rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].
Artinya,
keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan
prinsip syura dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu
berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt.
Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Jadi, jika ingin tidak
ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus
merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu,
breakdown agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci,
kira-kira akan menjadi seperti ini.
Visi keluarga kita:
Tidak ada satu pun anggota keluarga tersentuh api neraka وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Misi keluarga kita:
1. Mencapai derajat takwa yang sebenarnya التَّقْوَى حَقَّ تُـقَـاتِه)ِ)
2. Memperoleh hidup mulia atau mati syahid عَيْشْ كَرِيْمًا أَوْ مُتْ شَهِيْد)ً)
Strategi untuk mencapai visi dan misi keluarga kita:
1.
Setiap anggota keluarga mengikuti tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk
tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah (pembersihan diri), dan taklim.
2. Setiap anggota keluarga menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.
3. Setiap anggota keluarga berdakwah dan berjihad fii sabilillah.
4. Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu fiil ardhi).
Arah kebijakan keluarga kita:
1. Semua anggota keluarga kita harus tertarbiyah.
2. Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.
3. Secara jama’i (bersama-sama), keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.
4. Harus memiliki agenda dakwah di dalam keluarga.
5. Harus memiliki agenda dakwah di untuk masyarakat sekitar.
6. Menghadirkan suasana keluarga yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
7. Mendidik setiap anggota keluarga untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.
8. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
Setelah arah dan kebijakan ditetapkan, perincilah ke dalam program dan kegiatan yang aplikatif.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/misi-keluarga-muslim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar