Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
dakwatuna.com – “…Dan
tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah
kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya“. Al-Ma’idah:2
Ayat
ini merupakan penutup dari pembicaraan ayat yang cukup panjang yang
memuat beberapa hukum Allah swt dalam bentuk larangan; janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadyi dan binatang-binatang qalaa‘id, jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah untuk mencari kurnia dan ridha Allah, dan terakhir janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka) sehingga
bisa difahami bahwa hukum Allah tidak akan mungkin ditegakkan
sendiri-sendiri tanpa kerjasama dari seluruh pihak (ta’awun).
Karena
ayat ini juga berada sebelum ayat yang terakhir kali turun, yaitu ayat
“Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah
Kusempurnakan juga nikmatKu atasmu dan telah Kuridhai Islam sebagai
agamamu“, maka berarti kandungan ayat ini merupakan pesan terakhir Allah
swt kepada seluruh hamba-Nya.
Yang menarik bahwa redaksi seperti
ayat ini “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa”
ternyata hanya tersebut sekali dalam Al-Qur’an, sehingga ayat ini harus
difahami dalam konteks umum; umum dari segi sasarannya dan umum dari
segi jenis kebaikan yang dituntutnya.
Sungguh sebuah pesan universal dari Islam yang merupakan karakter dan fitrah dasarnya sebagai Rahmatan lil Alamin.
Ibnu
Katsir memahami makna umum ayat ini berdasarkan redaksinya tolong
menolonglah kalian bahwa Allah swt memerintahkan semua hamba-Nya agar
senantiasa tolong menolong dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang
termasuk kategori Al-Birr dan mencegah dari terjadinya kemungkaran
sebagai realisasi dari takwa. Sebaliknya Allah swt melarang mendukung
segala jenis perbuatan batil yang melahirkan dosa dan permusuhan.
Selanjutnya Ibnu Katsir mengetengahkan dua hadits untuk memperkuat dan menjelaskan ayat ini, yaitu:
Pertama,
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi, “Seorang mukmin
yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas perlakuan mereka adalah
lebih baik dan besar pahalanya daripada mukmin yang tidak bergaul dengan
manusia dan tidak bersabar atas perilaku mereka” (Imam Ahmad).
Kedua,
hadits yang menyebutkan tentang perintah menolong siapapun, baik yang
terzhalimi maupun yang menzhalimi. Rasulullah saw bersabda, “Tolonglah
saudaramu yang menzhalimi dan yang terzhalimi”. Maka para sahabat
bertanya, “Menolong yang terzhalimi memang kami lakukan, tapi bagaimana
menolong orang yang berbuat zhalim?”. Rasulullah menjawab, “Mencegahnya
dari terus menerus melakukan kezhaliman itu berarti engkau telah
menolongnya”. (Bukhari dan Ahmad).
Senada dengan Ibnu Katsir,
keumuman maksud ayat difahami juga oleh Imam As-Sa’di. Beliau
mendefinisikan Al-Birr yang diperintahkan oleh Allah swt untuk
bekerjasama menghadirkannya adalah segala bentuk perbuatan yang dicintai
dan diridhoi Allah swt, baik perbuatan lahir maupun batin, perbuatan
yang terkait dengan hak-hak Allah swt maupun hak sesama manusia.
Sedangkan
itsmi adalah seluruh bentuk perbuatan yang dibenci oleh Allah swt. dan
Rasul-Nya, dari perbuatan yang lahir maupun yang batin.
Secara
redaksional juga, Allah swt memadukan dalam ayat ini antara perintah dan
laranganNya “tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan
janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan
dengan mendahulukan konsep tahliyah ‘hiasan akhlak yang mulia’ yang
berupa ta’awun (kerjasama) dalam kebaikan dan takwa atas konsep
takhliyah ‘pelepasan akhlak yang buruk’ dalam bentuk membebaskan diri
dari perilaku ta’awun atas dosa dan permusuhan adalah untuk memperkuat
sisi ta’awun dalam kebaikan sehingga senantiasa mewarnai dan dominan di
tengah masyarakat. Karena demikian, perilaku sebaliknya tidak akan
muncul di tengah-tengah masyarakat.
Dengan mendahulukan perintah
ta’awun sebelum larangan-Nya juga menurut Abu Su’ud adalah karena yang
diinginkan dari larangan ta’awun dalam dosa adalah hadirnya ta’awun
dalam kebaikan, sehingga bukan sekadar tidak wujudnya ta’awun dalam
dosa, tetapi lebih dari itu, akan senantiasa hadir bentuk ta’awun dalam
segala jenis kebaikan dan takwa.
Dalam pandangan Al-Mawardi
seperti yang dinukil oleh Al-Qurthubi bahwa perintah ta’awun untuk
menghadirkan kebaikan dan ketakwaan di tengah-tengah manusia merupakan
sebuah perintah yang memiliki korelasi dengan prinsip ‘hablum minallah
dan hablum minannas’; ta’awun dalam kebaikan yang bersifat umum
merupakan sarana untuk menjaga hubungan baik dengan manusia, sedangkan
ta’awun dalam takwa merupakan sarana untuk meraih ridha Allah swt.
Sehingga tidak sempurna jika ta’awun itu hanya dalam Al-Birr, tetapi
harus diteruskan dalam konteks takwa juga.
Lebih rinci
Asy-Syaukani melihat korelasi petikan ayat ini dengan sebelumnya yang
berbicara tentang larangan menimbulkan permusuhan bahwa untuk
menghilangkan permusuhan memang harus dibangun melalui komitmen bersama
untuk saling tolong menolong dan kerjasama dalam segala bentuk amal
kebaikan dan takwa. Menurut beliau Al-Bir dan At-Taqwa memiliki arti
yang sama, penyebutan keduanya dalam ayat ini hanya untuk penguatan
“ta’kid”.
Sedangkan menurut Ibnu Athiyah, Al-Birr dan At-Taqwa
keduanya hanya dibedakan berdasarkan kategorinya saja; Al-Birr mencakup
perbuatan yang wajib dan sunnah sedangkan At-Taqwa khusus pada perbuatan
yang wajib.
Sementara itu, Al-Mawardi membedakan keduanya
berdasarkan tujuannya; Al-Birr tujuannya untuk mendapat ridha manusia,
sedangkan At-Taqwa untuk meraih ridho Allah swt. Dan mereka yang mampu
memadukan keduanya, maka sempurnalah kebahagiaan dan kenikmatannya.
Konsep
Ta’awun yang diperintahkan Allah swt melalui ayat di atas sesungguhnya
akan memudahkan pekerjaan, memperluas wilayah maslahat dan menampilkan
persatuan dan keutuhan umat.
Dan perintah ini difahami oleh Ibnu
‘Asyur bersifat umum dan tidak terbatas dengan siapapun, sampai dengan
non muslim sekalipun, selama itu dalam konteks Al-Birr (kebaikan),
karena kebaikan adalah milik semua manusia. Apalagi kemudian pada
realitasnya upaya Al-I’tida’ atau permusuhan biasanya dilakukan dengan
bentuk ta’awun juga, maka dalam ayat ini Allah swt perintahkan agar
ta’awun itu diarahkan pada hal-hal yang positif berupa kebaikan dan
meningkatkan takwa manusia, bukan sebaliknya.
Bentuk ta’awun
secara aplikatif, dijabarkan oleh Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya.
Beliau menyebutkan sebagai contoh misalnya beberapa bentuk ta’awun yang
bisa dilakukan berdasarkan ayat ini, diantaranya: seorang alim membantu
manusia dengan ilmunya, seorang yang kaya membantu orang lain dengan
hartanya, seorang yang berani membantu dengan keberaniannya berjuang di
jalan Allah swt dan begitu seterusnya. Masing-masing membantu orang lain
sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya.
Inilah puncak dari akhlak yang mulia yang dikehendaki melalui ayat ini.
Sayyid
Quthb menyebutkan bahwa akhlak ayat ini merupakan puncak dari
pengendalian diri dan lapang dada seorang muslim terhadap saudaranya dan
terhadap siapapun.
Sejarah membuktikan bahwa pola pembinaan
Rasulullah mampu menghantarkan orang Arab berakhlak dengan akhlak ini,
padahal sebelumnya yang menjadi kebiasaan mereka justru tolong menolong
dan kerjasama dalam kebatilan, kemaksiatan dan permusuhan antar sesama
atas nama “ashabiyah (fanatisme)”.
Demikianlah akhlak mulia yang
semestinya menjadi warna keseharian umat Islam. Apalagi dalam konteks
sekarang, membangun hubungan kerjasama dan koalisi dengan siapapun dalam
kerangka menegakkan kebaikan “Al-Birr” merupakan satu keniscayaan,
karena keterbatasan dan ketidak mampuan kita, demikian juga karena besar
dan luasnya tanggung jawab kita terhadap penegakkan hukum-hukum Allah
swt.
Sungguh konsep ta’awun yang ditawarkan oleh Allah swt.
melalui ayat ini akan mampu meredam dan membendung derasnya arus
kemaksiatan dan permusuhan yang juga dibangun dengan prinsip ta’awun
yang solid dan berkesinambungan.
Saatnya kita mulai mengasah
sensitifitas kerjasama di antara kita dalam menghadirkan kebaikan dan
keberkahan di tengah bangsa ini.
Semoga Allah swt meridhai segala
usaha kita untuk mengaplikasikan ayat ini dalam bentuk ta’awun yang
riil dalam kehidupan sehari-hari. Allahu alam
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/taawun-menghadirkan-kebaikan-dan-takwa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar