Pages

Rabu, 03 Juli 2013

Samudra Kebaikan

Oleh: Rikza Maulan, M.Ag


Kirim Print
dakwatuna.com – Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman. Alhamdulillah itu memberatkan timbangan. Subhanallah dan Alhamdulillah keduanya memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat itu adalah cahaya, shadaqah itu adalah burhan (bukti/petunjuk). Kesabaran adalah cahaya. Al-Qur’an adalah hujjah (bukti) untuk membelamu atau menentangmu. Setiap manusia bekerja, maka ada yang menjual dirinya dengan bekerja berat untuk keselamatannya atau kehancurannya.” (HR. Muslim)
Takhrij Hadits
Hadits ini (sebagaimana teks hadits di atas, riwayat Imam Muslim) melalui jalur Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari dari Abu Sallam dan Zaid, diriwayatkan oleh:

• Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Thaharah, Bab Fadhl Al-Wudhu’, hadits no. 328.
• Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Al-Da’awat ‘Anir Rasul, Bab Minhu, hadits no. 3439, dengan sanad serupa.
• Imam Nasa’i dalam Sunannya, Kitab Al-Zakat, Bab Wujub Al-Zakat, hadits no. 2394, dengan sanad serupa.
• Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, dalam dua tempat yaitu pada Baqi Musnad Al-Anshar, Hadits Abi Malik Al-Anshari, hadits no 21828 dan no 21834, keduanya dengan sanad serupa.
• Imam Al-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Thaharah, Bab Ma Ja’a Fi Al-Thahur, hadits no. 651, dengan sanad serupa.

Gambaran Tentang Hadits

Hadits di atas memberikan gambaran kepada kita, betapa sesungguhnya “peluang” dan kesempatan untuk melakukan amal kebaikan begitu terbuka lebar. Hadits dibuka dengan ungkapan Rasulullah saw. ; “Kebersihan adalah bagian dari iman”. Yaitu bahwa Islam merupakan Diin yang membawa manusia pada hakekat kesucian. Baik kesucian yang bersifat lahiriyah seperti wudhu dan mandi, ataupun kesucian yang sifatnya ma’nawiyah, seperti kesucian hati dan jiwa. Ini semua artinya bahwa Islam ditegakkan atas prinsip kesucian. Segala sesuatu harus dimulai dari kesucian, baik kesucian niat maupun kesucian fisik dan pakaian, seperti shalat, membaca Al-Qur’an dsb. Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan bahwa segala amal kebaikan adalah shadaqah. Mengucapkan alhamdulillah, subhanallah, shalat, shadaqah, kesabaran, membaca Al-Qur’an dan sebagainya. Masing-masing dari kebaikan tersebut memiliki nilai luhur yang mulia, meskipun merupakan hal-hal sesungguhnya sangat sederhana.

Namun pada akhirnya, manusia sendirilah yang akan menentukan arah dan tujuan hidupnya. Rasulullah saw. mengatakan, “Setiap manusia itu bekerja, maka ada yang menjual dirinya dengan bekerja berat untuk keselamatannya atau kecelakaannya.” Artinya, ada manusia yang menjual dirinya kepada Allah swt. dengan melakukan segala ketaatan, dan oleh karenanya ia membebaskan dirinya dari azab api neraka. Namun ada juga yang menjual dirinya kepada syaitan, dengan berlaku sebaliknya; senantiasa bergelimang dengan kemaksiatan, maka ia telah menghancurkan dirinya dan menjerumuskannya ke dalam api neraka.

Kebersihan Adalah Setengah Dari Iman

Dalam Syarah Muslimnya, Imam Nawawi mengemukakan bahwa di antara makna ‘kebersihan bagian dari iman’, adalah :
1. Bahwa pahala dalam bersuci dapat berlipat pahalanya sampai setengahnya pahala keimanan.
2. Bahwa ‘keimanan’ akan menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan seseorang sebelumnya, demikian juga dengan wudhu. Karena wudhu tidak sah dilaksanakan tanpa iman…
Hikmah yang dapat dipetik dari keharusan adanya proses ‘thaharah’ ini adalah bahwa seluruh ibadah yang dilakukan oleh setiap hamba Allah adalah bertujuan untuk ‘mensucikan’ pelakunya sendiri dari karat-karat dan noda kehidupan dunia. (QS. Al-Maidah: 6)

Hikmah lain adalah, bahwa sesungguhnya Allah swt. sendiri sangat mencintai orang-orang yang senantiasa bersuci (QS. Al-Baqarah: 222), “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang senantiasa mensucikan diri.”

Karena dengan bersuci, dosa-dosa seseorang akan diampuni oleh Allah swt.. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Utsman bin Affan r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang berwudhu kemudian ia menyempurnakan wudhu’nya, maka akan keluar dosa-dosa dari jasadnya, hingga keluar (dosa-dosanya tersebut) dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim)

Fadhilah Subhanallah Dan Alhamdulillah

Hadits di atas menggambarkan bahwa “Alhamdulillah” memberatkan timbangan. Bahkan Rasulullah saw. mengulanginya lagi dengan mengatakan bahwa fadhilah, “subhanallah” dan “Alhamdulillah” adalah akan memenuhi ruang antara langit dan bumi. Dalam hadits lain, Rasulullah saw. menguatkan fadhilah”dzikir” ini dengan mengatakan : Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada dua kalimat yang ringan diucapkan lisan namun berat di atas timbangan dan disukai oleh Allah yang Maha Rahman, yaitu “subhanallah wa bihamdihi” dan “subhanallahil adzim”. (HR. Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang bertasbih seratus kali pada setiap selesai shalat, dan bertahlil seratus kali, maka akan diampuni dosa-dosanya meskipun dosa-dosanya tersebut seumpama buih di lautan. (HR. Nasa’i)

Urgensi Dzikrullah Dalam Kehidupan Muslim

Rasulullah saw. juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati: “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati.” (HR. Bukhari)

Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah saw. juga mengumpamakannya dengan rumah. Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia hidup, dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang mati, atau kuburan.

Seorang mu’min yang senantiasa mengajak orang lain untuk kembali kepada Allah, akan sangat memerlukan porsi dzikrullah yang melebihi daripada porsi seorang muslim biasa. Karena pada hakekatnya, ia ingin kembali menghidupkan hati mereka yang telah mati. Namun bagaimana mungkin ia dapat mengemban amanah tersebut, manakala hatinya sendiri redup remang-remang, atau bahkan juga turut mati dan porak-poranda.

Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur’an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram (13:28)
Ketenangan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang tidak bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan penulis melihat bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya bangunan ketenangan hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati menjadi bersih, sebagaimana dzikir juga dapat menjadikan hati menjaditenang. Dan ini pulalah letak urgensitas dzikir dalam hati seorang da’i.

Adalah suatu hal yang teramat tabu bagi seorang da’i, meninggalkan dzikir dalam setiap detik yang dilaluinya. Karena dzikir memiliki banyak keistimewaan yang teramat penting guna menjadi bekalan da’wah yang akan mereka lalui. Salah seorang salafuna saleh ada yang mengatakan,

“Lisan yang tidak berdzikir adalah seperti mata yang buta, seperti telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh. Hati merupakan pintu besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan Rabnya, selama hamba tersebut tidak menguncinya sendiri.”

Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara yang sangat indah: “Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat, dalam dzikir dan dalam tilawatul Qur’an, dan kalian akan mendapatkannya…. Jika tidak maka ketahuilah, bahwa pintu telah tertutup.”

Inilah pentingnya dzikir bagi kebersihan hati seorang da’i. Dengan dzikir, seorang hamba akan mampu menundukkan syaitan, sebagaimana syaitan menundukkan manusia yang lupa dan lalai. Dengan dzikir pulalah, amal shaleh menjadi hidup. Dan tanpa dzikir, amal shaleh seperti jasad yang tidak memiliki ruh. Akankan aktifitas da’wah yang dilakukan da’i menjadi seperti jasad tanpa ruh?

Shalat Adalah Cahaya

Shalat merupakan kewajiban seorang muslim dalam seluruh masa dari kehidupannya, dan merupakan rukun Islam kedua. Dalam hadits di atas Rasulullah saw. menggambarkan bahwa “shalat adalah cahaya”, Imam Nawawi mengemukakan, bahwa terdapat beberapa makna mengenai hal ini :
• Bahwa shalat mencegah dari kemaksiatan, membentengi dari perbuatan keji dan kemungkaran dan menunjukkan pada kebenaran, sebagaimana cahaya menerangi jalannya.
• Bahwa pahala dari shalat itu akan menjadi cahaya bagi pelakunya pada hari kiamat kelak.
• Bahwa shalat itu akan menjadi cahaya yang terlihat terang pada wajah pelakunya di hari kiamat, dan di duniapun seseorang yang shalat akan terlihat pada wajahnya kecerahan, berbeda dengan orang-orang yang tidak shalat.

Dalam Al-Qur’an Allah swt. Berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45)

Shalat merupakan cahaya ma’nawi yang menerangi jalan hidayah dan kebenaran sebagaimana cahaya menerangi jalan yang lurus dan akhlak yang benar, dengannya seorang muslim akan menjadi orang yang berwibawa dan terhormat di dunia dan wajahnya akan bersinar pada hari kiamat. Dalam ayat lain, Allah mengatakan, “Cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Shadaqah Adalah Burhan (Bukti/ Petunjuk)

Shadaqah merupakan ‘bukti’ dari ‘keimanan’ seseorang. Karena orang yang beriman senantiasa akan menyisihkan sebagian hartanya untuk shadaqah fi sabilillah. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah swt. Mengatakan, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Ayat di atas menggambarkan bahwa seseorang tidak akan pernah mencapai derajat ‘kebaikan’ hingga ia mau menginfakkan di jalan Allah, harta yang paling dicintainya. Dan dari ayat tersebut, terlahir sebuah kisah, bagaimana salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang bernama Abu Thalhah ketika mendengar ayat ini beliau langsung pergi menemui Rasulullah saw.. Beliau mengatakan bahwa harta yang paling dicintainya adalah Bairaha, yaitu sebidang tanah yang berada persis di depan masjid nabawi. Bahkan diriwayatkan Rasulullah saw. sangat menyukai untuk memasuki tanahnya tersebut untuk meminum air dari mata air yang terdapat di dalamnya. Beliau mengemukakan bahwa tanahya itu diinfakkan fi sabilillah. Ketika itu Rasulullah saw. mengatakan, bahwa ini adalah harta yang menguntungkan, ini adalah harta yang menguntungkan.

Disamping itu, Allah swt. juga menjanjikan kepada orang-orang yang mau berinfak dengan balasan pahala yang demikian besar. Dalam Al-Qur’an Allah swt. Mengatakan, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/samudra-kebaikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar