Oleh: Rikza Maulan, M.Ag
dakwatuna.com
– Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari r.a. berkata, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.
Alhamdulillah itu memberatkan timbangan. Subhanallah dan Alhamdulillah
keduanya memenuhi ruang antara langit dan bumi. Shalat itu adalah
cahaya, shadaqah itu adalah burhan (bukti/petunjuk). Kesabaran adalah
cahaya. Al-Qur’an adalah hujjah (bukti) untuk membelamu atau
menentangmu. Setiap manusia bekerja, maka ada yang menjual dirinya
dengan bekerja berat untuk keselamatannya atau kehancurannya.” (HR.
Muslim)
Takhrij Hadits
Hadits ini (sebagaimana teks hadits di atas, riwayat Imam Muslim)
melalui jalur Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari dari Abu Sallam
dan Zaid, diriwayatkan oleh:
• Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Thaharah, Bab Fadhl Al-Wudhu’, hadits no. 328.
• Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Al-Da’awat ‘Anir Rasul, Bab Minhu, hadits no. 3439, dengan sanad serupa.
• Imam Nasa’i dalam Sunannya, Kitab Al-Zakat, Bab Wujub Al-Zakat, hadits no. 2394, dengan sanad serupa.
• Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, dalam dua tempat yaitu pada
Baqi Musnad Al-Anshar, Hadits Abi Malik Al-Anshari, hadits no 21828 dan
no 21834, keduanya dengan sanad serupa.
• Imam Al-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Thaharah, Bab Ma Ja’a Fi Al-Thahur, hadits no. 651, dengan sanad serupa.
Gambaran Tentang Hadits
Hadits di atas memberikan gambaran kepada kita, betapa sesungguhnya
“peluang” dan kesempatan untuk melakukan amal kebaikan begitu terbuka
lebar. Hadits dibuka dengan ungkapan Rasulullah saw. ; “Kebersihan
adalah bagian dari iman”. Yaitu bahwa Islam merupakan Diin yang membawa
manusia pada hakekat kesucian. Baik kesucian yang bersifat lahiriyah
seperti wudhu dan mandi, ataupun kesucian yang sifatnya ma’nawiyah,
seperti kesucian hati dan jiwa. Ini semua artinya bahwa Islam ditegakkan
atas prinsip kesucian. Segala sesuatu harus dimulai dari kesucian, baik
kesucian niat maupun kesucian fisik dan pakaian, seperti shalat,
membaca Al-Qur’an dsb. Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan bahwa segala
amal kebaikan adalah shadaqah. Mengucapkan alhamdulillah, subhanallah,
shalat, shadaqah, kesabaran, membaca Al-Qur’an dan sebagainya.
Masing-masing dari kebaikan tersebut memiliki nilai luhur yang mulia,
meskipun merupakan hal-hal sesungguhnya sangat sederhana.
Namun pada akhirnya, manusia sendirilah yang akan menentukan arah dan
tujuan hidupnya. Rasulullah saw. mengatakan, “Setiap manusia itu
bekerja, maka ada yang menjual dirinya dengan bekerja berat untuk
keselamatannya atau kecelakaannya.” Artinya, ada manusia yang menjual
dirinya kepada Allah swt. dengan melakukan segala ketaatan, dan oleh
karenanya ia membebaskan dirinya dari azab api neraka. Namun ada juga
yang menjual dirinya kepada syaitan, dengan berlaku sebaliknya;
senantiasa bergelimang dengan kemaksiatan, maka ia telah menghancurkan
dirinya dan menjerumuskannya ke dalam api neraka.
Kebersihan Adalah Setengah Dari Iman
Dalam Syarah Muslimnya, Imam Nawawi mengemukakan bahwa di antara makna ‘kebersihan bagian dari iman’, adalah :
1. Bahwa pahala dalam bersuci dapat berlipat pahalanya sampai setengahnya pahala keimanan.
2. Bahwa ‘keimanan’ akan menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan seseorang
sebelumnya, demikian juga dengan wudhu. Karena wudhu tidak sah
dilaksanakan tanpa iman…
Hikmah yang dapat dipetik dari keharusan adanya proses ‘thaharah’ ini
adalah bahwa seluruh ibadah yang dilakukan oleh setiap hamba Allah
adalah bertujuan untuk ‘mensucikan’ pelakunya sendiri dari karat-karat
dan noda kehidupan dunia. (QS. Al-Maidah: 6)
Hikmah lain adalah, bahwa sesungguhnya Allah swt. sendiri sangat
mencintai orang-orang yang senantiasa bersuci (QS. Al-Baqarah: 222),
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai
orang-orang yang senantiasa mensucikan diri.”
Karena dengan bersuci, dosa-dosa seseorang akan diampuni oleh Allah
swt.. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Utsman bin
Affan r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang
berwudhu kemudian ia menyempurnakan wudhu’nya, maka akan keluar
dosa-dosa dari jasadnya, hingga keluar (dosa-dosanya tersebut) dari
bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim)
Fadhilah Subhanallah Dan Alhamdulillah
Hadits di atas menggambarkan bahwa “Alhamdulillah” memberatkan
timbangan. Bahkan Rasulullah saw. mengulanginya lagi dengan mengatakan
bahwa fadhilah, “subhanallah” dan “Alhamdulillah” adalah akan memenuhi
ruang antara langit dan bumi. Dalam hadits lain, Rasulullah saw.
menguatkan fadhilah”dzikir” ini dengan mengatakan : Dari Abu Hurairah ra
berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada dua kalimat yang ringan
diucapkan lisan namun berat di atas timbangan dan disukai oleh Allah
yang Maha Rahman, yaitu “subhanallah wa bihamdihi” dan “subhanallahil
adzim”. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda: Dari Abu Hurairah ra
berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang bertasbih
seratus kali pada setiap selesai shalat, dan bertahlil seratus kali,
maka akan diampuni dosa-dosanya meskipun dosa-dosanya tersebut seumpama
buih di lautan. (HR. Nasa’i)
Urgensi Dzikrullah Dalam Kehidupan Muslim
Rasulullah saw. juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang
berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang
tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati: “Perumpamaan orang
yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah
seumpama orang yang hidup dan mati.” (HR. Bukhari)
Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah saw. juga mengumpamakannya dengan
rumah. Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia
hidup, dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang
mati, atau kuburan.
Seorang mu’min yang senantiasa mengajak orang lain untuk kembali kepada
Allah, akan sangat memerlukan porsi dzikrullah yang melebihi daripada
porsi seorang muslim biasa. Karena pada hakekatnya, ia ingin kembali
menghidupkan hati mereka yang telah mati. Namun bagaimana mungkin ia
dapat mengemban amanah tersebut, manakala hatinya sendiri redup
remang-remang, atau bahkan juga turut mati dan porak-poranda.
Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan
dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama
seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah
bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan
dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur’an, bahwa hati dapat
menjadi tenang dan tentram (13:28)
Ketenangan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang
tidak bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan
penulis melihat bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya
bangunan ketenangan hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati
menjadi bersih, sebagaimana dzikir juga dapat menjadikan hati
menjaditenang. Dan ini pulalah letak urgensitas dzikir dalam hati
seorang da’i.
Adalah suatu hal yang teramat tabu bagi seorang da’i, meninggalkan
dzikir dalam setiap detik yang dilaluinya. Karena dzikir memiliki banyak
keistimewaan yang teramat penting guna menjadi bekalan da’wah yang akan
mereka lalui. Salah seorang salafuna saleh ada yang mengatakan,
“Lisan yang tidak berdzikir adalah seperti mata yang buta, seperti
telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh. Hati merupakan pintu
besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan Rabnya, selama
hamba tersebut tidak menguncinya sendiri.”
Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara
yang sangat indah: “Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat,
dalam dzikir dan dalam tilawatul Qur’an, dan kalian akan
mendapatkannya…. Jika tidak maka ketahuilah, bahwa pintu telah
tertutup.”
Inilah pentingnya dzikir bagi kebersihan hati seorang da’i. Dengan
dzikir, seorang hamba akan mampu menundukkan syaitan, sebagaimana
syaitan menundukkan manusia yang lupa dan lalai. Dengan dzikir pulalah,
amal shaleh menjadi hidup. Dan tanpa dzikir, amal shaleh seperti jasad
yang tidak memiliki ruh. Akankan aktifitas da’wah yang dilakukan da’i
menjadi seperti jasad tanpa ruh?
Shalat Adalah Cahaya
Shalat merupakan kewajiban seorang muslim dalam seluruh masa dari
kehidupannya, dan merupakan rukun Islam kedua. Dalam hadits di atas
Rasulullah saw. menggambarkan bahwa “shalat adalah cahaya”, Imam Nawawi
mengemukakan, bahwa terdapat beberapa makna mengenai hal ini :
• Bahwa shalat mencegah dari kemaksiatan, membentengi dari perbuatan
keji dan kemungkaran dan menunjukkan pada kebenaran, sebagaimana cahaya
menerangi jalannya.
• Bahwa pahala dari shalat itu akan menjadi cahaya bagi pelakunya pada hari kiamat kelak.
• Bahwa shalat itu akan menjadi cahaya yang terlihat terang pada wajah
pelakunya di hari kiamat, dan di duniapun seseorang yang shalat akan
terlihat pada wajahnya kecerahan, berbeda dengan orang-orang yang tidak
shalat.
Dalam Al-Qur’an Allah swt. Berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut:
45)
Shalat merupakan cahaya ma’nawi yang menerangi jalan hidayah dan
kebenaran sebagaimana cahaya menerangi jalan yang lurus dan akhlak yang
benar, dengannya seorang muslim akan menjadi orang yang berwibawa dan
terhormat di dunia dan wajahnya akan bersinar pada hari kiamat. Dalam
ayat lain, Allah mengatakan, “Cahaya mereka memancar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Shadaqah Adalah Burhan (Bukti/ Petunjuk)
Shadaqah merupakan ‘bukti’ dari ‘keimanan’ seseorang. Karena orang yang
beriman senantiasa akan menyisihkan sebagian hartanya untuk shadaqah fi
sabilillah. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah swt. Mengatakan, “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Ayat di atas menggambarkan bahwa seseorang tidak akan pernah mencapai
derajat ‘kebaikan’ hingga ia mau menginfakkan di jalan Allah, harta yang
paling dicintainya. Dan dari ayat tersebut, terlahir sebuah kisah,
bagaimana salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang bernama Abu Thalhah
ketika mendengar ayat ini beliau langsung pergi menemui Rasulullah
saw.. Beliau mengatakan bahwa harta yang paling dicintainya adalah
Bairaha, yaitu sebidang tanah yang berada persis di depan masjid nabawi.
Bahkan diriwayatkan Rasulullah saw. sangat menyukai untuk memasuki
tanahnya tersebut untuk meminum air dari mata air yang terdapat di
dalamnya. Beliau mengemukakan bahwa tanahya itu diinfakkan fi
sabilillah. Ketika itu Rasulullah saw. mengatakan, bahwa ini adalah
harta yang menguntungkan, ini adalah harta yang menguntungkan.
Disamping itu, Allah swt. juga menjanjikan kepada orang-orang yang mau
berinfak dengan balasan pahala yang demikian besar. Dalam Al-Qur’an
Allah swt. Mengatakan, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir:
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/samudra-kebaikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar