Oleh: Iman Santoso, Lc
dakwatuna.com
- Bagi setiap muslim, apalagi dai, berkewajiban untuk mendekatkan diri
kepada Allah agar meraih kecintaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi
disebutkan: “Pendekatan diri hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah
dengan sesuatu yang Aku wajibkan padanya. Dan jika hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri dengan nafilah (ibadah tambahan), sehingga Aku
mencintainya.” (Bukhari)
Dalam hadits ini menunjukkan bahwa
ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah melaksanakan kewajiban.
Kewajiban terdiri dari Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Fardhu Ain yaitu
kewajiban yang mengikat setiap individu muslim, seperti sholat lima
waktu, zakat, puasa, haji jika mampu, berbakti kepada orang tua, memberi
nafkah pada anak istri dan lain-lain. Sedangkan Fardhu Kifayah yaitu
kewajiban kolektif jika sudah dilakukan oleh orang lain maka gugurlah
kewajiban tersebut, seperti menyelenggarakan jenazah, menuntut sebagian
ilmu tertentu, dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad dan lain-lain.
Pada saat tertentu Fardhu Kifayah dapat berubah menjadi Fardhu Ain,
seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad.
Fardhu
adalah pokok sedangkan nafilah adalah cabang. Nafilah dapat melengkapi
ibadah fardhu dan dapat menutupi kekurangannya. Seseorang tidak dapat
disebut mengerjakan ibadah nafilah jika meninggalkan yang fardhu. Oleh
karena itu jika orang beriman melaksanakan yang fardhu kemudian
diteruskan dengan ibadah tambahan, maka Allah akan mencintainya.
Sehingga sangat salah orang yang menyibukkan pada ibadah yang sunnah
sementara meninggalkan yang wajib.
Jadi, secara umum pendekatan diri kepada Allah dilakukan dengan cara beribadah kepada Allah.
IBADAH
Ibnu
Taimiyah berkata, ibadah adalah kata yang mencakup semua kebaikan,
yaitu segala perkataan dan perbuatan baik lahir maupun batin yang
diridhai dan dicintai Allah. Ibadah adalah risalah dan misi besar
manusia. Hanya untuk inilah Allah menciptakan manusia dan jin (lihat
Adz-Dzariyat: 56). Dan hanya untuk ini pula Allah mengutus para nabi dan
rasul (lihat An-Nahl: 36). Rasulullah saw. bertanya pada Muadz bin
Jabal, “Wahai Muadz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan hak
hamba atas Allah?” Saya berkata, “Allah dan rasul-Nya yang paling
tahu.” Rasul saw. bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah
kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya; dan hak hamba atas Allah adalah
tidak mengadzab orang yang tidak menyekutukan Allah.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Tetapi sangat disayangkan, jika kita melihat realitas
manusia, mayoritas mereka musyrik atau menyekutukan Allah dengan
mahluk-Nya. Bangsa-bangsa besar yang menempati bumi ini mayoritasnya
musyrik kepada Allah, mayoritas manusia yang menempati benua Amerika,
Eropa, Australia dan juga Asia adalah orang-orang yang mensyekutukan
Allah. Sekitar 6 milyar penduduk dunia, hanya ¼ nya saja yang mengakui
muslim. Dan umat Islam pun masih banyak yang belum menyembah Allah,
minimal dengan menegakkan sholat. Melihat realitas ini, maka kewajiban
yang paling utama bagi orang-orang beriman adalah berdakwah mengajak
manusia agar beriman dan beribadah kepada Allah saja.
Orang-orang
beriman yang mengenal Allah dengan sebenarnya, mengenal hakekat dirinya
dan mengetahui risalahnya, maka akan melaksanakan ibadah seoptimal
mungkin, tetapi pada saat yang sama mereka sangat takut pada Allah.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Mu’minun: 57-61,
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati Karena takut akan (azab)
Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan
mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka
(sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, Mereka itu bersegera untuk
mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera
memperolehnya.
SYARAT IBADAH
Dalam beribadah dan melakukan
pendekatan diri kepada Allah, sangat terkait dengan syarat-syaratnya
agar ibadahnya diterima. Dan syaratnya hanya dua yaitu ikhlas dan
mengikuti sunnah Rasul saw. atau Syariah Islam. Inilah inti dari makna
syahadat yang kita ucapkan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap
ridha-Nya.” Berkata Fudhail bin Iyadh mengomentari surat Al-Mulk: 2,
“Ahsanu ‘amala (Amal yang paling baik) adalah akhlasahu (yang paling
ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar).” Berkata, “Sesungguhnya jika
amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima.
Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima
sehingga amal itu harus ikhlas dan benar.” Iyadh berkata, “Ikhlas
dilakukan karena Allah Azza wa Jalla, dan benar jika dilakukan sesuai
sunnah.”
Ibadah yang dilakukan umat Islam harus selalu mengacu
pada dua syarat tersebut; jika tidak, maka amalnya sia-sia bahkan dapat
mengarah pada dosa. Rasul saw. bersabda, “Siapa yang mengada-ada pada
urusan agama ini, sesuatu yang sebelumnya tidak ada, maka tertolak.”
(Bukhari dan Muslim). Banyak sekali tradisi yang berkembang di tengah
umat Islam, dan mereka melakukannya seolah-olah ibadah yang diajarkan
Rasulullah saw. padahal tidak ada landasannya sama sekali. Di sinilah
pentingnya para ulama dan para dai yang mengajarkan Islam kepada umatnya
dengan penuh hikmah dan kesabaran, sehingga umat terhindar dari segala
macam syirik, khurofat, takhayyul dan bid’ah.
HUKUM TAKLIFI
Dalam
melaksanakan ibadah, para ulama usul menetapkan hukum taklifi yang
mengikat bagi para mukallaf atau muslim yang sudah dewasa. Dengan
memahami status hukum dalam setiap perbuatan, maka setiap muslim berada
dalam kejelasan dalam setiap urusannya. Para ulama mendefinisikan hukum
taklifi atau hukum yang terkait dengan perbuatan yang dilakukan setiap
muslim yaitu arahan Syariah (khitab syari’i) yang terkait dengan
perbuatan setiap muslim yang mukallaf (baligh), baik bersifat permintaan
untuk melaksanakan, permintaan untuk meninggalkan maupun pilihan antara
melaksanakan atau meninggalakan. Permintaan yang bersifat mengikat atau
harus disebut wajib, sedangkan yang tidak mengikat disebut mandub atau
sunnah. Sedangkan permintaan untuk meninggalkan yang bersifat harus
disebut haram dan yang tidak bersifat harus disebut makruh. Adapun
pilihan antara melaksanakan dan meninggalakan disebut mubah. Oleh karena
itu hukum dalam Fiqih Islam terbagi menjadi lima, yaitu wajib, mandub,
haram, makruh dan mubah.
Setiap muslim yang beriman pada hukum
Islam dan memahami status hukum suatu perbuatan dapat mengetahui
prioritas kerja atau amal yang harus dilakukan. Sehingga baginya segala
sesuatu yang harus dilakukan dalam kehiduan dunia menjadi sangat jelas
dan tegas. Tetapi manakala seorang muslim tidak memahami status hukum
maka semuanya akan mejadi kabur dan samar, yang pada akhirnya dia akan
mengalami kebingunagan dan kekacauan dalam hidupnya karena tidak ada
arahan dan prioritas kerja yang harus dia lakukan dalam kehidupannya di
dunia.
Wajib adalah suatu perintah Syariat yang harus dilakukan
dan bersifat mengikat, jika ditinggalakan maka akan mendapat sanksi atau
dosa dan jika dilaksanakan akan mendapat pahala atau balasan dari sisi
Allah. Wajib terbagi menjadi dua; wajib aini, yaitu kewajiban yang
mengikat atas setiap individu muslim, seperti shalat lima waktu, zakat,
puasa, haji. Dan wajib kifayah, yaitu kewajiban yang mengikat atas
sekelompok umat Islam.
Mandub adalah perintah Syariat yang
sebaiknya dilaksanakan dan tidak bersifat mengikat, atau sesuatu yang
jika dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak terkena
sanksi. Mandub disebut juga sunnah, tatowwu’, mustahab, nafilah dan
ihsan. Mandub memiliki beberapa tingkatan; Sunnah Muakkadah, yaitu
sesuatu yang senantiasa dilakukan oleh Rasul saw. tetapi tidak sampai
wajib, seperti sholat witir, sholat rawatib dan lain-lain. Sunnah ghairu
Muakkadah, yaitu sunnah yang tidak selalu dilakukan oleh Rasul saw.
seperti sedekah secara umum. Sunnah yang lain adalah mencontoh Rasul
saw. pada masalah tradisi yang tidak terkait langsung dengan Syariat
seperti makan, minum dan berpakaian ala Rasul saw.
Haram adalah
perintah Syariat untuk meninggalkannya dan bersifat harus atau mengikat
dan jika tidak maka akan mendapat sanksi atau dosa. Haram terbagi
menjadi dua, yaitu haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Haram li
dzatihi diharamkan karena jelas-jelas menimbulkan bahaya langsung
seperti makan bangkai, berzina, minum khomr, mencuri dll. Sedangkan
haram li ghairihi, pengharamanannya karena tidak menimbulkan bahaya
secara langsung seperti melihat aurat wanita, hukumnya tetap haram
karena mengarahkan pada perzinahan. Haram li ghairihi disebabkan juga
karena terkait dengan momentum atau kasus tertentu seperti berdagang
saat adzan shalat Jum’at bagi lelaki, atau shalat bagi wanita yang
haidh.
Haram Li Dzatihi dan Haram Li Ghairihi memiliki perbedaan
pada dua hal, pertama pada transaksi atau akad. Haram li dzatihi
membatalkan akad sedangkan haram li ghairihi tidak. Kedua, haram li
dzatihi tidak dapat menjadi mubah kecuali karena darurat. Sedangkan
haram li ghairihi menjadi mubah cukup karena hajat.
Makruh adalah
perintah Syariat untuk meninggalkannya yang tidak harus atau mengikat.
Apabila pekerjaan itu ditinggalkan maka akan mendapat imbalan pahala dan
jika dilakukan tidak mendapatkan apa-apa.
Adapun mubah adalah
pilihan Syariat untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Mubah dapat
diketahui dari tiga hal, yaitu jika melakukan atau meninggalkan tidak
ada dampak sanksinya, nash tidak menunjukkan haram dan nash menunjukkan
halal.
Namun demikian, seorang muslim yang baik berupaya untuk
mengharap kebaikan dan pahala pada amal-amal yang mubah, yaitu dengan
niat yang baik dan mengarahkan yang mubah untuk sarana taat pada Allah.
Begitu juga dia berusaha meninggalkan sebagian yang mubah karena
khawatir jatuh pada yang diharamkan.
KONDISI MUKALLAF (MUSLIM)
Setiap
muslim yang mukallaf tidak terlepas dari 3 kondisi. Ketika muslim dalam
kondisi mendapatkan ni’mat Allah, maka mereka harus bersyukur. Dalam
kondisi mendapat ujian atau cobaan, mereka harus bersabar. Dan dalam
kondisi berbuat dosa, mereka harus beristighfar dan bertaubat. Ketika
ketiga pensikapan tersebut terus dilakukan oleh setiap muslim dalam
menghadapi kondisinya, maka dia akan mendapatkan puncak kebahagiaan.
Bukankah
setiap muslim hidup dalam limpahan nikmat Allah? Allah telah
menciptakannya sebagai manusia, makhluk yang paling mulia. Kemudian
diberinya rezeki yang baik-baik. Lahir ke dunia dalam kondisi tidak
memiliki apa-apa, dan sekarang banyak mendapatkan fasilitas dari Allah.
Selanjutnya Allah memberikan nikmat yang paling besar yaitu nikmat
hidayah dan keimanan. Dengan nikmat itu setiap muslim dapat berjalan di
muka bumi dengan arahan yang jelas. Inilah kondisi yang dialami setiap
muslim, oleh karenannya mereka harus sentiasa bersyukur kepada Allah
dengan sepenuh syukur. Mengakui bahwa seluruh nikmat datang dari Allah,
mengungkapkannya lewat lisan dan membuktikannya dengan ketaatan dan
pengabdian kepada Allah.
Kondisi kedua yang tidak akan lepas dari
setiap muslim juga adalah ujian. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka Itulah
yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Dalam ayat ini
Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ketika
menghadapi ujian. Dan sejatinya setiap muslim akan mendapat ujian
sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas.
Dan kondisi ketiga,
yang tidal lepas dari setiap muslim adalah khilaf dan melakukan dosa.
Inilah ciri khas manusia secara umum, karena mereka adalah anak-cucu
Adam dan Hawa yang pernah melakukan dosa. Tetapi sebaik-baiknya orang
yang melakukan dosa adalah beristighfar dan bertaubat. Dan diantara
banyak bentuk istighfar ada tuannya istighfar atau Sayyidul Istighfaar,
setiap muslim harus dapat menghafal dan membacanya secara rutin, ” Ya,
Allah Engkaulah Rabbku tiada ilah kecuali Engkau. Engkau telah
menciptakanku, aku adalah hamba-Mu, dan aku akan berusaha tetap komitmen
dijalan-Mu sekuat tenagaku. Aku mengakui segala ni’mat-Mu padaku, dan
aku mengakui dosaku, ampunilah aku. Karena tidak Dzat yang dapat
mengampuni kecuali Engkau”.
Ketika muslim dan muslimah senatiasa
dalam sikap seperti ini, niscaya mereka akan mendapatkan kebahagiaan,
bukan hanya di dunia, tetapi di dunia dan akhirat. Semoga Allah
memberikan istiqomah pada kita. Amin.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/mendekatkan-diri-kepada-allah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar