Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com -
Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada sebuah
bahan lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang
pelukis. Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya
akan berbentuk benang kusut.
Bayangkan saat diri tertimpa
musibah. Ada reaksi yang bergulir dalam tubuh. Tiba-tiba, batin
diselimuti khawatir akibat rasa takut, tidak aman, cemas dan ledakan
perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak seimbang. Muncullah
berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah meningkat,
penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, dan
asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun
meningkat. Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke
otak, kadar kolesterol naik. Setelah itu, otak pun meningkatkan
produksi hormon kortisol dalam tubuh. Dan, kekebalan tubuh pun melemah.
Peningkatan
kadar kortisol dalam rentang waktu lama memunculkan gangguan-gangguan
tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker,
luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan pernafasan, dan
terbunuhnya sel-sel otak.
Nalar pun
menjadi tidak sehat. Tidak heran jika orang bisa melakukan sesuatu yang
tidak wajar. Di antaranya, bunuh diri, marah yang tak terkendali,
tertawa dan menangis yang berlebihan, serta berbagai pelarian lain:
penggunaan narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.
Kenapa hal
tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu bisa
dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin
merasakan hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang
bertiup kencang. Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau
bisa, tak boleh ada sakit dan kematian buat selamanya.
Ada
beberapa hal kenapa kecenderungan itu mengungkung manusia. Pertama,
salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara
jernih arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup
adalah upaya mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak
akan cocok dengan ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.
Hal
itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad. Allah swt.
berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan
kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan
kehidupan di dunia sebagai ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di
dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.”
(At-Taubah: 38)
Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu
disegarkan dengan cobaan. Inilah yang sulit terpahami. Secara teori
mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal. Tapi ketika cobaan sebagai
sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi cuma sekadar tempelan.
Firman
Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Saad bin Abi Waqqash
pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, siapa yang paling
berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi kemudian
yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji
menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu
(ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang
diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari
dosa-dosa.” (Al-Bukhari)
Kalau ada anggapan, dengan keimanan
hidup bisa mulus tanpa mengalami kesusahan dan bencana. Itu salah besar.
Justru, semakin tinggi nilai keimanan seseorang, akan semakin berat
cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas yang diolah pengrajin
hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas dibakar, ditempa, dan
dibentuk.
Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya
manusia. Hidup adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang
tinggi, terjal, dan dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan
menawarkan pilihan-pilihan sulit. Di depan mata ada hujan dan badai,
sementara di belakang terhampar jurang yang dalam.
Maha Benar
Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.
Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?”
(Al-Balad: 10-11)
Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak
mulus itu mesti ada. Harus terus segar dalam jiwa seorang hamba Allah.
Perhatikanlah senyum-senyum para generasi terbaik yang pernah dilukis
umat ini. Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada Amar bin Yasir.
Masih
banyak mereka yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang
teramat sulit. Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan.
Mereka telah melukis hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan
air mata.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/melukis-keindahan-hidup/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar