Oleh: Muhammad Nuh
Menelusuri
jalan hidup kadang tak ubahnya seperti pengembara yang berjalan di
tengah terik. Haus dan melelahkan. Andai ada air segar yang tersaji di
tiap persinggahan. Andai tiap orang sadar kalau air segar itu adalah
ibadah di tiap persinggahan kesibukan.
Ada yang aneh dari sudut
pandang Aisyah r.a. terhadap tingkah suaminya, Rasulullah saw. Ia
terheran ketika mendapati Rasul yang begitu menikmati shalat sunnah
hingga kakinya bengkak. Apa beliau tidak merasakan sakit itu?
Aisyah
pun mengatakan, “Kenapa kau lakukan itu, ya Rasulullah? Bukankah Allah
telah mengampuni dosa-dosamu yang dulu dan akan datang?” Dengan ringan
Rasul menjawab, “Tak patutkah aku untuk menjadi hamba Allah yang
senantiasa bersyukur!”
Kenikmatan beribadah. Itulah yang
dirasakan Baginda Rasulullah saw. ketika sedang shalat. Sedemikian
nikmatnya, hingga rasa sakit dari bengkak kakinya tak lagi terasa.
Beliau seperti tak ingin menyudahi komunikasinya dengan Yang Maha Kasih,
Yang Maha Sayang.
Keindahan hubungan antara seorang hamba dengan
Khaliqnya itu bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Persis seperti
seorang rakyat ketika berkomunikasi dengan seorang pejabat tinggi.
Umumnya, komunikasi akan berlangsung formal, kaku, dan membosankan. Akan
beda jika rakyat itu masih ada hubungan keluarga dengan sang pejabat.
Mereka sudah saling kenal. Komunikasi menjadi tidak formal, santai, dan
sangat menyenangkan. Padahal posisinya tetap sama: antara rakyat dengan
seorang pejabat tinggi.
Secara sederhana
bisa dibilang ada hijab. Ada sesuatu yang mendindingi antara hati
seorang manusia dengan Allah swt. Dinding ini bisa menebal, bisa juga
menipis. Bahkan nyaris tak ada dinding sama sekali.
Firman Allah
swt. dalam surah Qaf ayat 16, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih
dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Masalahnya, sedekat itu
pulakah seorang hamba Allah kepada Allah swt. Ini yang akhirnya
menentukan keharmonisan dan kenikmatan dalam beribadah. Dan ini pula
yang menentukan bermutu tidaknya ibadah seorang hamba Allah swt.
Mutu
ibadah yang terkesan sederhana ini, ternyata punya dampak yang luar
biasa dalam tatanan kehidupan manusia. Mutu ibadah seseorang sangat
berpengaruh pada sepak terjangnya di dunia nyata. Apakah terhadap sesama
manusia atau dengan alam lingkungannya.
Dalam hal shalat
misalnya, Al-Qur’an menyebutnya dengan mereka yang lalai dari shalat.
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.” [QS. Al-Ma'un (107): 4-7]
Bagaimana
mungkin orang yang rajin shalat bisa tak peduli dengan lingkungan,
bahkan bisa berbuat jahat dengan saudara seiman? Ini menandakan kalau
shalat yang dilakukan tidak bermutu sama sekali. Karena pengaruh
shalatnya tidak terlihat dalam hubungan sosialnya dengan yang lain.
Rasulullah
saw. mengatakan, “Maafkanlah kesalahan orang yang murah hati
(dermawan). Sesungguhnya Allah menuntun tangannya jika dia terpeleset
(jatuh). Seorang pemurah hati dekat kepada Allah, dekat kepada manusia
dan dekat kepada surga. Seorang yang bodoh tapi murah hati lebih disukai
Allah daripada seorang alim (tekun beribadah) tapi kikir.” (HR.
Athabrani)
Ternyata, jauh tidaknya seseorang kepada Allah bisa
dilihat dari hubungannya dengan orang sekitar. Kalau seseorang tidak
disukai dengan orang sekitarnya, terlebih sesama mukmin, berarti
hubungan orang itu dengan Allah swt. seperti minyak dengan air. Terlihat
seperti menyatu, padahal selalu pisah.
Perhatikanlah bagaimana
sosok Rasulullah saw. di mata para sahabatnya. Begitu dekat, begitu
dicintai. Rasulullah saw. buat para sahabatnya bisa seperti ayah dengan
anak, antara sesama sahabat dekat, dan seperti guru dengan murid.
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
[QS. At-Taubah (9): 128]
Dekat tidaknya seseorang dengan Allah
swt. juga bergantung pada diri orang itu sendiri. Dan pintu itu ada pada
kebersihan hati, kekuatan iman, serta istiqamah dalam mentaati aturan
Allah dalam kehidupan.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran.” [QS. Al-Baqarah (2): 186]
Andai ibadah
menjadi sesuatu yang menyenangkan buat diri seseorang, dia akan
menjadikan shalat persis seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap
shalatnya. Rasulullah saw. bila menghadapi suatu dilema (situasi yang
sukar dan membingungkan), beliau shalat. (HR Ahmad)
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/menikmati-kesegaran-ibadah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar