Oleh: Muhammad Nuh
Uang
dalam kehidupan kadang seperti selimut di saat malam. Harus tebal dan
cukup menghangatkan seluruh tubuh dari terpaan dinginnya malam. Tapi,
berhati-hatilah. Karena selimut yang kurang bersih bisa menjadi
penghubung antara kutu-kutu jahat dengan tubuh si pengguna.
Dari
mana pun mulainya, perjalanan hidup memang tak akan pernah lepas dari
cobaan. Bentuknya tidak seperti yang disadari banyak orang: derita,
sedih, dan sejenisnya. Karena sesuatu yang menyenangkan pun ujian. Di
antara yang menyenangkan itu adalah uang atau harta. Dan justru, inilah
ujian berat yang tidak banyak orang bisa mulus melalui lubang gelapnya.
Itulah
yang dimaksud Sayyid Quthb dalam tafsir Azh-Zhilal ketika mengomentari
surah Al-Anbiya ayat 35. Firman Allah swt., “…Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah
kamu dikembalikan.”
Menurut beliau, sangat biasa jika memahami
penderitaan, kemiskinan, musibah sebagai ujian dari Allah swt. Biasa.
Hampir semua orang memahami itu. Tapi, sangat berbeda dengan urusan yang
enak seperti uang dan harta. Kesan ujian seolah sirna. Justru orang
menganggap, simbol kemuliaan dari Allah buat seorang hamba di antaranya
melalui uang yang banyak. Sebaliknya, kehinaan buat mereka yang tak
mampu meraih kemegahan uang dan harta.
Kecenderungan itu memang
sudah diungkap Alquran. Dalam surah Al-Fajr ayat 15 dan 16, Allah swt.
berfirman, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku
memuliakanku.’ Ada pun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya
maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.”
Itu jika uang atau
harta sudah di tangan. Akan lebih berat lagi jika persoalan uang masih
milik bersama. Setidaknya, uang orang lain yang dititipkan atau
sebagiannya akan jadi milik sendiri. Saat itulah, pertarungan antara
idealita dan realita hidup menjadi kian tak terkendali.
Surah
Al-Anfal sepertinya menarik dijadikan pelajaran. Gambaran seputar
konflik perang Badar ini justru diawali dengan persoalan harta. Bukan
pada perintah perang, bukan pada bagaimana pertolongan Allah dalam
perang, bukan pada gambaran keberanian para sahabat. Tapi justru pada
masalah uang.
Seorang ulama mengatakan, pertanyaan soal jatah
uang pembagian seperti di awal surah Al-Anfal inilah yang akan menjadi
pengulangan dari masa ke masa. Terus menerus, sejalan dengan dinamika
aktivitas umat Islam di mana pun berada. Inilah fitnah besar yang tak
kunjung usai.
Dari situ bermula seribu satu fitnah. Seorang
pemimpin bisa hancur pamornya karena isu amanah uang. Sebuah organisasi
bisa pecah-pecah juga karena terjebak pada soal jatah uang. Bahkan,
seorang ulama pun tak luput dari pertanyaan masalah uang.
Pelajaran
generasi sebelum Rasulullah saw. adalah sisi lain yang sangat berharga
dijadikan renungan. Sejarah mencatat, tak sedikit orang-orang terpilih
yang akhirnya tersungkur hanya pada persoalan jatah uang. Di antara
mereka ada seorang rahib yang bernama Bal’am Ba’ura. Hamba Allah yang
doanya nyaris tak pernah tertolak ini pun akhirnya tenggelam bersama
kedekatannya dengan Firaun.
Sepertinya, para penguasa seperti
Firaun paham betul titik lemah seorang tokoh seperti Bal’am. Yaitu,
uang. Dari titik inilah, sendi-sendi kekuatan lain bisa melemah.
Rasulullah saw. berpesan, “Sesungguhnya fitnah kekayaan itu lebih aku
takuti atas kalian daripada fitnah kemiskinan. Kalian telah mendapati
fitnah kemiskinan dan kalian sabar, sedangkan (fitnah) dunia ini terasa
manis dan menyenangkan .” (Alhadits)
Persoalan uang pula yang
pernah merusak kehidupan para pendeta di masa setelah Nabi Isa a.s.
Karena uang, mereka tega menjual hukum Alkitab menurut selera penguasa.
Hukum Alkitab pun diperlakukan seperti mainan bongkar pasang.
Hal
itulah yang disampaikan Alquran dalam surah At-Taubah ayat 34. “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar orang alim Yahudi
dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan cara yang
batil….”
Menariknya, ayat ini didahului dengan sapaan ‘hai
orang-orang yang beriman’. Kenapa? Ada hubungan apa antara sapaan buat
orang yang beriman dengan sebuah fakta kebobrokan pendeta dan rahib
dalam masalah uang. Padahal biasanya, sapaan ‘hai orang-orang yang
beriman’ selalu diiringi dengan perintah dari Allah swt. Kenapa ini cuma
informasi.
Seorang ulama mengatakan, sapaan itu menandakan
sebuah peringatan. Bahwa, penyelewengan rahib dan pendeta di kalangan
Yahudi dan Nasrani pada soal uang; tidak tertutup kemungkinan akan
terjadi di kalangan orang-orang beriman.
Hal itulah yang menjadi
komitmen seorang tabiin yang bernama Salim bin Abdullah bin Umar bin
Khaththab. Cucu Umar bin Khaththab ini pernah ditawari hadiah oleh
Khalifah Al-Manshur. Saat itu, beliau sedang thawaf di masjidil Haram.
“Apa yang bisa kuberikan untukmu, wahai guru umat?” tanya Khalifah
sambil ikut Thawaf. Dengan ringan Salim mengatakan, “Bagaimana mungkin
aku meminta hadiah kepadamu, padahal aku sedang bertamu di rumah Allah!”
Dan Khalifah pun diam. Ia menunggu hingga Salim selesai beribadah haji.
Setelah
selesai, Khalifah menghampiri lagi. “Apa yang bisa kuberikan untukmu,
wahai guru umat?” tanya Khalifah begitu hormat. Dengan ringan pula,
Salim menjawab, “Bagaimana mungkin aku memohon sesuatu padamu, sementara
kepada Pemiliknya saja aku tak meminta!” Dan Khalifah pun terdiam.
Uang
dan harta memang seperti selimut sebagai penghangat dinginnya malam
kehidupan. Tapi, berhati-hatilah. Karena tidak sedikit musuh yang justru
menyusup dari balik ketebalan dan kehangatan itu.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/uang-sebagai-fitnah-kehidupan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar