Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
dakwatuna.com - “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Ayat ini dinamakan dengan ayatul ukhuwwah
karena berbicara tentang konsepsi Qur’ani yang baku bahwa setiap orang
yang beriman terhadap orang lain yang seakidah dengannya adalah
bersaudara. Konsep ukhuwwah yang berlandaskan iman ini tepat berada di
pertengahan surah Al-Hujurat yang dinamakan juga dengan surah ‘Al-Adab’
karena isi kandungannya yang sarat dengan pembicaraan tentang adab
dalam maknanya yang luas; adab dengan Allah, adab dengan RasulNya, adab
dengan diri sendiri dan adab dengan sesama orang yang beriman.
Sesungguhnya
perbedaan adalah sunnatullah yang tidak akan berubah. Di sinilah iman
yang berbicara menyikapi perbedaan tersebut dalam bingkai akidah.
Secara
redaksional, keterkaitan dan hubungan antar orang yang beriman begitu
erat digambarkan dalam ayat di atas karena menggunakan istilah ‘ikhwah’
bukan ikhwan yang secara bahasa ikhwah bermakna saudara sekandung yang
mempunyai hubungan dan ikatan darah keturunan. Seolah-olah
mengisyaratkan sebuah makna yang dalam bahwa ikatan ideologis sama
kuatnya dengan ikatan nasab, bahkan seharusnya lebih besar dari itu. Di
sini mengandung arti bahwa keimanan seseorang masih harus diuji dengan
ujian persatuan dan persaudaraan tanpa memandang ras, suku, dan bangsa.
Rasulullah mengingatkan eratnya hubungan antar orang beriman dengan
tamsil yang indah, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu
bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.
Kemudian Rasulullah menggenggam jari-jemarinya.” (Bukhari & Muslim)
Yang
menarik perhatian di sini, pembicaraan Allah tentang kesatuan umat yang
dominan dalam surah ini didahului dengan perintah untuk mendahulukan
Allah dan RasulNya atas selain keduanya dalam semua aspek. “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului atas (aturan)
Allah dan RasulNya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1). Hal ini
menunjukkan bahwa Allah sebenarnya sangat menginginkan kebaikan untuk
hamba-hambaNya yang beriman. Untuk itu, Allah mencabut dari dalam hati
mereka sifat kufur, fasik, dan kemaksiatan sehingga mereka termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan inilah sesungguhnya kenikmatan
dan keutamaan yang tidak terhingga bagi setiap muslim yang tercermin
dalam ungkapan Allah “Fadhlan minallah wani’mah”.
Sayyid Quthb
menyimpulkan berdasarkan ayat di atas bahwa taat kepada Allah dan
RasulNya merupakan benteng yang kokoh untuk menghindari perpecahan dan
pertikaian yang akan merapuhkan kekuatan dan persatuan umat. Karena
dengan mendahulukan taat kepada Allah dan RasulNya, maka akan lenyaplah
benih-benih pertikaian yang kebanyakannya berawal dari perbedaan cara
pandang yang bersumber dari hawa nafsu yang diperturutkan. Sehingga
mereka masuk ke dalam kancah peperangan dalam keadaan menyerahkan segala
urusan secara totalitas kepada Allah swt. Inilah faktor yang sangat
fundamental bagi kebaikan generasi terbaik dari umat ini sepanjang
sejarah.
Di sini jelas, konsekuensi dari ukhuwwah seperti yang
ditegaskan oleh ayat ukhuwah di atas adalah adanya sikap saling
menyayangi, memberikan kedamaaian, keselamatan, saling tolong menolong,
dan menjaga persatuan. Inilah prinsip yang harus ditegakkan dalam sebuah
masyarakat muslim. Sedangkan perselisihan dan perpecahan merupakan
pengecualian dari sebuah ukhuwah yang harus dihindari. Maka memerangi
kelompok yang merusak persatuan dan ukhuwah umat adalah dibenarkan,
bahkan diperintahkan dalam rangka melakukan ishlah dan mengembalikan
mereka ke dalam barisan kesatuan ini. “Maka perangilah kelompok yang
melampaui batas sehingga mereka kembali kepada aturan Allah swt.”
(Al-Hujurat: 9)
Dalam hal ini, Rasulullah saw. memberi motivasi
akan pentingnya menjaga keutuhan umat dengan menjaga persaudaraan
diantara mereka, “Sesungguhnya kedudukan seorang mukmin di kalangan
orang-orang beriman adalah seperti kepala dari tubuhnya. Ia akan merasa
sakit jika badannya sakit.” (Imam Ahmad). Nash hadits yang mirip dengan
ini adalah sabda Rasulullah yang bermaksud, “Perumpamaan orang-orang
beriman dalam kecintaan, kelembutan dan kasih sayang di antara mereka
ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota sakit, maka seluruh anggota
turut merasakannya dengan tetap berjaga dan demam.” (Muslim &
Ahmad). Dalam riwayat Muslim juga dinyatakan, “Orang-orang yang berlaku
adil akan berada di atas mimbar yang bercahaya di hari kiamat. Yaitu
mereka yang berlaku adil dalam urusan orang-orang muslim dan tidak
berlaku dzalim.” Kemudian Rasulullah membaca ayat ukhuwah di atas. Maka
ayat ini merupakan ilat dari perintah untuk melakukan ishlah terhadap
sesama muslim untuk memelihara dan membangun ukhuwah antar mereka.
Pada
tataran kaidah ilmu Al-Qur’an, meskipun ayat ini turun karena sebab
tertentu, namun ayat ini merupakan ayat muhkam yang harus dijadikan
sebagai kaidah umum yang bersifat universal yang akan tetap berlaku bagi
setiap kejadian di tengah-tengah komunitas kaum beriman, karena iman
dan ukhuwwah merupakan harga yang sangat mahal, sampai Allah tetap
menamakan mereka ‘orang yang beriman‘ meskipun terjadi perselisihan,
bahkan peperangan di antara dua golongan tersebut seperti yang
ditegaskan dalam firmanNya, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.”
(Al-Hujurat: 9). Inilah realitas Qur’ani yang sangat mungkin terjadi
pada siapapun dan kelompok manapun. Namun tetap Allah mengingatkan satu
prinsip, yaitu ukhuwah dan persatuan umat merupakan modal untuk meraih
rahmat Allah swt. seperti yang tercermin dari petikan ayat terakhir
‘La’allakum turhamun’ supaya kamu mendapat rahmat.
Ayat-ayat
selanjutnya berbicara tentang tips Qur’ani untuk memelihara dan menjaga
keberlangsungan ukhuwwah. Di antaranya: pertama, siap menerima dan
melakukan Ishlah (fa’ashlihu bayna akhawaikum). Kedua, menghindari
kata-kata hinaan/olok-olokan (la yaskhar qaumun min qaumin). Ketiga,
menghindari su’udz zhan (ijtanibu katsiran minadz dzan). Keempat,
menghindari ghibah dan mencari-cari kesalahan (la tajassasu wala yaghtab
ba’dhukum ba’dhan). Seluruh etika dan adab ini hanya bisa dilakukan
oleh mereka yang senantiasa dipandu dan merujuk kepada barometer iman.
Sesungguhnya
setan memang telah berputus asa dari membujuk dan menggoda manusia agar
menyembahnya di jazirah Arab. Maka mereka akan senantiasa menyemai
benih permusuhan dan pertikaian di antara orang-orang yang beriman. Maka
ishlah harus dilakukan dengan cara apapun –meskipun menurut Syekh
Sholih bin Al-Utsaimin– harus mengorbankan segalanya, karena hasil
aktivitas ishlah itu selalu baik, dan itu demi menjaga kesatuan umat.
“Wash-Shulhu Khair”.
Syekh Musthafa Masyhur dalam bukunya “jalan
dakwah” mengingatkan betapa penting dan perlunya bersaudara karena Allah
dalam konteks dakwah dan keumatan. Inilah yang pertama sekali
Rasulullah lakukan ketika mempersaudarakan antara orang-orang muhajirin
dan Anshor. Merekalah contoh teladan yang indah dan agung tentang cinta
dan ikrar yang mengutamakan persaudaraannya lebih dari segalanya. “Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’
orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Saatnya
kita mulai melihat sejauh mana peran kita di dalam membangun dan
memelihara kesatuan umat Islam. Jangan sampai kemudian kita justru
menjadi pelopor atau provokator terjadinya perpecahan umat. Karena
dakwah Islam adalah dakwah yang dibangun di atas prinsip persaudaraan
sesuai. Dalam kamus generasi awal umat Islam, menjaga keutuhan dan
kesatuan umat merupakan amal prioritas yang menduduki peringkat pertama
dari amal-amal yang mereka lakukan. Dan sarananya adalah dengan
memelihara, membina, dan memperkuat tali persaudaraan antar mereka yang
sesungguhnya sejak awal telah diikat oleh Allah ketika seseorang
menyatakan keIslamannya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
bersaudara.”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/orang-orang-beriman-itu-bersaudara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar