Oleh: Iman Santoso, Lc
dakwatuna.com – Secara
harfiyah, I’tikaf adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan
sesuatu yang baik. Dengan demikian, I’tikaf adalah tinggal atau menetap
di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Penggunaan kata I’tikaf di dalam Al-Qur’an terdapat pada
firman Allah Swt: “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertaqwa.” (QS 2: 187).
Di
dalam Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja, namun
dalam konteks bulan Ramadhan, maka dalam kehidupan Rasulullah Saw,
I’tikaf itu dilakukan selama sepuluh hari terakhir. Di antara rangkaian
ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus
diperintahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah SAW adalah I’tikaf. I’tikaf
merupakan sarana muhasabah dan kontemplasi yang efektif bagi muslim
dalam memelihara dan meningkatkan keislamannya, khususnya dalam era
globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.
Hukum I’tikaf
Para
ulama telah berijma’ bahwa I’tikaf khususnya 10 hari terakhir pada
bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan.
Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama
10 hari. Aisyah, Ibnu Umar dan Anas Radlhiallahu ‘Anhum meriwayatkan
:”Rasulullah SAW selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini
dilakukan oleh beliau hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau
beri’tikaf selama 20 hari. Demikian pula halnya dengan para sahabat dan
istri Rasulullah Saw senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini.
Imam Ahmad berkata :”Sepengetahuan saya tidak ada seorang pun dari
ulama yang mengatakan bahwa I’tikaf itu bukan sunnah”.
Keutamaan Dan Tujuan I’tikaf
Abu
Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah Anda hadits yang
menunjukkan keutamaan I’tikaf ? Ahmad menjawab: tidak, kecuali hadits
yang lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu
sendiri sebagai taqarrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keutamaannya
bahwa Rasulullah, para Sahabat, para Istri Rasulullah SAW dan para ulama
salafusholeh senantiasa melakukan ibadah ini.
I’tikaf
disyariatkan dalam rangka mensucikan hati dengan berkonsentrasi
semaksimal mungkin dalam beribadah dan bertaqorrub kepada Allah pada
waktu yang terbatas tetapi teramat tinggi nilainya. Jauh dari rutinitas
kehidupan dunia, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Kholiq
(Pencipta). Bermunajat sambil berdoa dan beristighfar kepada-Nya
sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas keseharian dapat dijalani
secara lebih berkualitas dan berarti. Ibnu Qayyim berkata : I’tikaf
disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan
Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara
dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah.
Macam-macam I’tikaf
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam :
1.
I’tikaf sunnah yaitu I’tikaf yang dilakukan secara sukarela, semata
mata untuk bertaqorrub kepada Allah, seperti I’tikaf 10 hari terakhir
pada bulan Ramadhan.
2. I’tikaf wajib yaitu yang didahului dengan
nadzar atau janji, seperti ucapan seseorang “kalau Allah ta’ala
menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beri’tikaf di masjid selama
tiga hari”, maka I’tikaf tiga hari itu menjadi wajib hukumnya.
Waktu I’tikaf
Untuk
I’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan,
sedangkan I’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja,
pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat,
minimal dalam mazhab Hanafi : sekejap tanpa batas waktu tertentu,
sekadar berdiam diri dengan niat. Atau dalam mazhab Syafi’i : sesaat
atau sejenak (yang penting bisa dikatakan berdiam diri), dan dalam
mazhab Hambali, satu jam saja.
Terlepas dari perbedaan pendapat
ulama tadi, waktu I’tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan ialah
sebagaimana dipraktekkan langsung oleh Baginda Nabi SAW yaitu 10 hari
terakhir bulan Ramadhan.
Tempat I’tikaf
Ahli
fiqih berbeda pendapat tentang tempat yang boleh dijadikan untuk
I’tikaf, Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa I’tikaf harus dilakukan
di masjid yang selalu digunakan untuk shalat berjamaah, sedangkan Malik
dan Syafi’i berpendapat bahwa I’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun
baik yang digunakan untuk shalat berjamaah ataupun tidak, sedangkan
pengikut syafi’iyah berpendapat bahwa sebaiknya I’tikaf itu dilakukan di
masjid jami’ yang biasa digunakan untuk shalat Jum’at, agar ia tidak
perlu keluar masjid ketika mau melakukan shalat Jum’at, dan lebih afdhol
lagi bila I’tikaf itu dilaksanakan di salah satu dari tiga masjid;
masjid al haram, masjid Nabawi atau masjid Aqsha. (lihat: Al Mughni
4/462, Fiqh Sunnah 1/402)
Syarat Syarat I’tikaf
Orang yang I’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Muslim
2. Berakal
3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas
Oleh
karena itu I’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, anak yang
belum mumayyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.
Rukun I’tikaf
1. Niat yang ikhlas, hal ini karena semua amal sangat tergantung pada niatnya.
2. Berdiam di masjid (QS Al-Baqarah : 187)
Awal Dan Akhir I’tikaf
Bagi
yang mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan
beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka waktunya dimulai
sebelum terbenam matahari malam ke-21 sebagaimana sabda Rasulullah Saw;
”Barangsiapa yang ingin I’tikaf dengan aku, hendaklah ia I’tikaf pada
10 hari terakhir”.
Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, yaitu
setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan
tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab
(disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat ied.
Hal-hal Yang Disunnahkan disaat I’tikaf
Disunnahkan
bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah dan taqarrub
kepada Allah SWT, seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, tasbih,
tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi Saw, doa dan
sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah –
ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama seperti Imam Malik, meninggalkan
segala aktivitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah –
ibadah mahdhah.
Dalam upaya memperkokoh keislaman dan ketaqwaan,
diperlukan bimbingan dari orang-orang yang ahli, karenanya dalam
memanfaatkan momentum I’tikaf bisa dibenarkan melakukan berbagai kajian
keislaman yang mengarahkan para peserta I’tikaf untuk membersihkan diri
dari segala dosa dan sifat tercela serta menjalani kehidupan sesudah
I’tikaf secara lebih baik sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dan
Rasul-Nya.
Hal-Hal Yang Diperbolehkan
Orang
yang beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri di masjid untuk
menjalankan peribadatan secara khusus, ada beberapa hal yang
diperbolehkan.
1. Keluar dari tempat I’tikaf untuk mengantar
istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya
Shofiyah Radhiallahu ‘Anhu (HR. Bukhari Muslim).
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3.
Keluar ke tempat yang memang amat diperlukan seperti untuk buang air
besar dan kecil, makan, minum, (jika tidak ada yang mengantarkan), dan
segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus
segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya.
4. Makan, minum dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
Hal-Hal Yang Membatalkan I’tikaf
1.
Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar,
karena meninggalkan masjid berarti mengabaikan salah satu rukun I’tikaf
yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad (keluar dari agama Islam)
3. Hilang Akal, karena gila atau mabuk
4. Haidh
5. Nifas
6.
Berjima’ (bersetubuh dengan istri), tetapi memegang tanpa nafsu
(syahwat), tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri
istrinya.
7. Pergi Shalat Jum’at (bagi mereka yang memperbolehkan I’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat Jum’at).
Demikian
ketentuan tentang I’tikaf yang menjadi panduan praktis, semoga pada
Ramadhan tahun ini, kita dapat menghidupkan kembali sunnah I’tikaf
sebagai bekal kita meraih nilai taqwa yang maksimal.
(hdn)
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2010/panduan-itikaf/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar