Oleh: Muhammad Nuh
Perbedaan
kadang tak ubahnya seperti aneka pepohonan di sebuah taman. Ada
tanaman yang berwarna kuning, merah, hijau, dan putih. Keanekaragaman
itu menjadikan taman begitu indah. Sayangnya, hal seperti itu tidak
sama dengan dunia nyata manusia.
Ada hal menarik pernah terjadi
di masa Nabi Daud dan Sulaiman. Hubungan senior dan junior ini sesaat
terlihat seperti renggang. Pasalnya, keduanya berselisih pendapat soal
solusi sebuah kasus yang terjadi di lingkungannya.
Kasus itu
memang tampak sederhana. Seorang pemilik ladang mengeluh tentang
kerusakan ladangnya yang disebabkan sekawanan kambing milik orang lain.
Sang pemilik ladang menuntut ganti rugi. Setelah dihitung-hitung,
ternyata nilai kerusakan sama dengan harga kambing itu.
Nabi Daud
berpendapat bahwa kambing-kambing itu diberikan ke pemilik ladang
sebagai ganti rugi. Tapi, Nabi Sulaiman berpendapat lain: pemilik
kambing harus menanam kembali dan merawat ladang yang rusak itu menjadi
seperti sediakala. Dan selama perbaikan itu, kambing-kambing dipinjamkan
ke pemilik ladang untuk dimanfaatkan: susu, bulu, dan lain-lainnya.
Jika ladang sudah pulih seperti sediakala, kambing pun dikembalikan ke
pemiliknya.
Ternyata, Allah swt.
menyetujui pendapat Nabi Sulaiman. Firman Allah dalam surah Al-Anbiya
ayat 78 hingga 79, “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu
keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu
dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami
menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah
memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat);
dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu….”
Tanpa
sedikit pun merasa rendah, sang senior seperti Nabi Daud a.s. menerima
pendapat juniornya, Nabi Sulaiman a.s., dengan lapang dada. Karena
memang pendapat Nabi Sulaimanlah yang lebih bijak.
Pelajaran
mengelola perbedaan itu punya makna tersendiri. Perbedaan merupakan
keniscayaan. Siapa pun kita, tak akan mampu memaksa lahirnya
keseragaman. Karena secara sunnatullah, Allah swt. menciptakan alam dan
isinya termasuk manusia dengan penuh keragaman. “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49: 13)
Masalahnya, bagaimana menyikapi perbedaan. Apakah perbedaan ditangkap dari sudut pandang positif. Atau malah negatif.
Dua
sudut pandang ini punya timbangan sendiri-sendiri. Perbedaan jadi
positif manakala terjadi pada tingkat teknis atau cara. Dalam Islam, itu
biasa disebut khilafiyah. Atau perbedaan dalam soal fikih.
Imam
Malik rahimahullah pernah menolak tawaran Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur
untuk menyeragamkan perbedaan seputar cara ibadah. Al-Mansur menawarkan
agar semua orang berkiblat pada kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Beliau mengatakan, “Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena
sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits,
meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan
amal. Mengubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit.
Maka, biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka pahami.”
Salafus-shalih
menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat
Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan, ” Saya tidak suka jika para
sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata
saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah para pemimpin yang
menjadi teladan. Siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka
tentulah sesuai dengan Sunnah.”
Rasulullah saw. pernah
mengatakan, “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka
memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu
pahala.”
Perbedaan menjadi negatif ketika wilayahnya menyentuh
hal yang prinsipil, keyakinan. Buat yang satu ini, perbedaan tidak boleh
terjadi. Karena dasar hukumnya sudah sangat jelas.
Nilai negatif
dalam perbedaan juga muncul ketika yang jadi masalah bukan objek
masalahnya. Tapi ketidaksiapan orang-orang yang berbeda. Di antara
ketidaksiapan itu ada pada soal pemahaman. Tidak sedikit orang yang
menganggap diri berbeda dan bangga dengan perbedaan hanya karena
ketidaktahuan. Imam Syafi’i cuma mau mengukur perbedaan jika yang
berbeda itu orang yang punya pemahaman. Beliau mengatakan, “Saya tidak
pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran
akan keluar darinya.”
Ketidaksiapan kedua adala masalah ego.
Biasanya penyakit ini hinggap pada sosok senior atau orang yang
berkuasa. Ia cuma mengakui kebenaran itu hanya bersumber dari dirinya.
Dan yang lainnya berarti salah.
Betapa anggunnya akhlak seorang
Khalifah Umar bin Khaththab ketika di sebuah kesempatan seorang muslimah
mengajukan protes. Sesaat setelah orang nomor satu di Madinah itu
mengeluarkan kebijakan soal mahar, seorang muslimah mengatakan, betapa
beraninya engkau ya Umar mengalahkan firman Allah dalam ayat ini dan
itu.
Saat itu juga, tanpa sedikit pun memperlihatkan kekecewaan,
Umar meralat kebijakannya. Ia mengatakan, “Wanita itu betul. Dan Umar
salah!”
Jadi, perbedaan sangat bergantung pada bagaimana
penyikapan diberikan. Perlu ketelitian dan kedewasaan diri agar
perbedaan bisa benar-benar positif. Tak ubahnya seperti indahnya
keanekaragaman bunga-bunga di sebuah taman.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/tak-semua-perbedaan-merugikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar