Assalamu'alaikum
Ustadzah, apakah benar dalam Islam tidak ada kewajiban mencuci baju suami dan memasakannya makanan? Bagaimana dengan pandangan konservatif soal kewajiban istri ini? Terima kasih.
Wassalamu'alaikum
INDRIANI, JAKARTA
Wa'alaikumussalam
Pertanyaan
ini sangat menarik, karena tradisi yang berkembang di masyarakat kita
di antara kewajiban seorang istri adalah mengurus rumah tangga dengan
pekerjaan mencuci, memasak, dan lainnya. Sementara tradisi yang
berkembang di Timur Tengah, yang biasa belanja ke pasar adalah para
suami, dan pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami dengan
menggaji pekerja rumah tangga.
Lalu benarkah dalam Islam tidak ada
kewajiban melakukan itu semua bagi seorang istri? Para ulama berbeda
pandangan dalam hal ini sebab tidak ada dalil secara eksplisit yang
menyebutkan kewajiban memasak dan mencuci dibebankan kepada istri atau
menjadi tanggung jawab suami.
Apakah istri wajib melakukan pekerjaan rumah? Abdul Majid Mahmud Mathlub dalam kitabnya Al-Wajiz Fi Ahkamil Usroh al-Islamiyah dan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa sebagian fuqaha
berpandangan seorang suami tidak boleh menuntut istrinya secara hukum
untuk melakukan pekerjaan rumah. Karena akad nikah yang terlaksana
antara mereka berdua hanya bermaksud menghalalkan bergaul antara suami
istri untuk menjaga kehormatan diri dan menghasilkan keturunan.
Pekerjaan rumah seperti mencuci dan
memasak termasuk dalam ruang lingkup kewajiban yang harus disediakan
suami dalam kehidupan rumah tangga. Pandangan ini diwakili oleh mazhab
Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan az-Zhahiriyah. Adapun riwayat-riwayat yang
menyebutkan bahwa istri harus melayani suaminya hanya menunjukkan sifat
kerelaan dan keluhuran budi.
Seperti kisah Asma’ binti Abu Bakar yang
dinikahi oleh az-Zubair yang miskin tidak memiliki harta dan budak,
sehingga Asma' turut mengambil air, memberi makan kuda, membuat roti,
bahkan membawa biji-biji kurma di atas kepalanya dari kebun Zubair yang
diberi Rasulullah saw.
Imam Nawawi mengomentari kisah ini dalam Syarh an-Nawawi.
“Semua ini termasuk kepatutan (apa yang telah dilakukan Asma’ binti Abu
Bakar tersebut), bahwa wanita melayani suaminya dengan hal-hal yang
telah disebutkan itu (seperti memasak, mencuci pakaian, dan lainnya),
semua itu merupakan sumbangan dan kebaikan wanita kepada suaminya,
pergaulan yang baik, perbuatan yang makruf, yang tidak wajib sama sekali
atasnya, bahkan seandainya ia tidak mau melaksanakannya maka ia tidak
berdosa.”
Dalam haditsnya, Rasulullah menjelaskan tentang tanggung jawab kepemimpinan. “Setiap
kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggung jawab
tentang kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab
tentang kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Khadam itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya,” (HR Bukhari).
Abdul Halim Abu Syuqqoh dalam Tahrirul Mar’ah
mengomentari kalimat “Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan
bertanggung jawab tentang kepemimpinannya”. Menurutnya, bukan berarti
wanita harus melaksanakan sendiri semua tugas rumah tangganya, mulai
dari menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika hingga membersihkan rumah.
Tapi yang dimaksud adalah, semua itu merupakan tanggung jawab
(pengawasannya), namun bisa dilaksanakan orang lain seperti pekerja
rumah tangga (pembantu), anak-anak, kerabat atau dibantu suaminya
sendiri. Maka semua itu bergantung pada kemampuan nafkah dan finansial
suami, juga kesempatan dan kemampuan istri untuk melaksanakannya dengan
tidak mengabaikan tugas utama yang lainnya, yaitu merawat anak-anak dan
mendidiknya dengan baik.
Sementara fuqaha yang lain
berpendapat, melayani suami dan melakukan pekerjaan rumah merupakan
kewajiban istri. Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrani,
Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang perempuan telah mengerjakan
shalat fardhu lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya
dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: masuklah ke
dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.”
Maka seorang istri, ketika diperintahkan
suaminya untuk mencuci dan memasak, ia harus menaatinya. Karena
melayani suami dengan memasakkan makanan dan mencuci pakaiannya
merupakan bagian dari ketaatan pada suami. Nabi saw dan para sahabat
Nabi menyuruh istri-istrinya membuatkan roti, memasak, membersihkan
tempat tidur, menghidangkan makanan, dan sebagainya. Tidak seorang pun
dari mereka yang menolak pekerjaan tersebut.
Terlepas dari dua pandangan yang berbeda
tersebut, pada prinsipnya, hubungan suami istri dalam Islam dibangun
atas dasar cinta dan kasih sayang, saling percaya, saling tolong
menolong dalam suka dan duka. Seluruh urusan dalam rumah tangga
berlandaskan saling ridha dan musyawarah. Masing-masing pihak ikhlas
menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Mereka harus saling
menasihati, saling membantu untuk menunaikan tanggung jawab kehidupan
suami istri serta pemeliharaan anak-anak dan pendidikan mereka dalam
setiap situasi dan kondisi. Rumah tangga tidak akan harmonis jika
hubungan yang dibangun atas penuntutan hak, bersifat hitam putih, kaku
dan saklek.
Semoga Allah memberkahi istri-istri yang
menghabiskan hari-harinya untuk mendidik anak dan memelihara rumah
tangganya dengan mengharapkan ridha Allah semata. Dan semoga Allah
memberkahi suami-suami yang menghabiskan masa hidupnya dalam berusaha
memenuhi kebutuhan keluarga, anak-anaknya, dan tulus membantu istrinya
dalam mengerjakan tugas-tugas rumahnya. Semoga Allah meridhai rumah
tangga yang dibangun atas azas wata’awanu ‘alal birri wat taqwa, saling menolong dalam perbuatan kebaikan dan ketakwaan. Wallahu a’lam.
Sumber : http://www.ummi-online.com/berita-746-cuci-baju-dan-masak-kewajiban-istri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar