Oleh: Syarifuddin Mustafa, MA
Mentadabburi
Al-Quran merupakan kewajiban dan berinteraksi dengannya merupakan
sesuatu keharusan sedangkan hidup di bawah naungannya merupakan
kenikmatan yang tidak dapat dimiliki kecuali orang yang dapat
merasakannya, kenikmatan yang memberikan keberkahan hidup, mengangkat
dan mensucikannya… hal ini tidak akan dirasakan kecuali bagi siapa yang
benar-benar hidup di bawah naungannya, merasakan berbagai kenikmatan
yang bisa dirasakan, mengambil dari apa yang dapat diraih; kelembutan,
kebahagiaan, ketenangan, ketenteraman, kenyamanan dan kelapangan. (lihat
mukadimah penerbit dari Fi Zhilalil Quran dan Biodata Sayyid Quthub
pada surat Al-A’raf)
Di sini kami ingin memberikan
kepada pembaca yang budiman ungkapan-ungkapan yang baik dan bermutu
tentang pengalaman nyata yang dilalui dan dirasakan oleh seorang pemikir
muslim kontemporer Asy-Syahid Sayyid Quthub yang direkam dalam kitabnya
Fi Zhilal Al-Quran, kami akan meringkas ungkapan-ungkapan tersebut
sesuai dengan kebutuhan zaman dan dapat memberikan penerangan bagi para
pembaca jalan yang benar dalam rangka mentadabburi Al-Quran dan
memahaminya, menelaah teori yang benar dalam berinteraksi dengan
Al-Quran, hidup di bawah naungannya.
Teori ini harus
diketahui oleh kaum muslimin, agar mereka dapat memahami kunci
pergerakan guna membuka rahasia-rahasia pergerakan Al-Quran yang sangat
berharga. Seruan yang selalu dikumandangkan oleh ustadz Sayyid Quthub,
dengan teori yang baru; memahami, mentadabburi dan menafsirkan Al-Quran,
yaitu teori “Tafsir Pergerakan” yang oleh Ustadz Sayyid Quthub dianggap
sebagai puncak yang memberikan penjelasan hingga perkara yang mendasar,
peletak madrasah “tafsir pergerakan” yang menjadikan Al-Quran hidup
dengan nyata dan memberi pengaruh positif bagi kaum muslimin
kontemporer.
Allah telah menganugerahkan kepadanya
kunci yang fundamental “kunci pergerakan” yang dapat membuka
rahasia-rahasia Al-Quran, yang ingin dihadirkan dalam kitabnya Fi Zhilal
Al-Quran… (Lihat “Al-Manhaj Al-Haraki Fi Ad-Zhilal”).
Sesungguhnya
masalah –dalam memahami petunjuk-petunjuk Al-Quran dan
sentuhan-sentuhannya- bukanlah terletak pada pemahaman lafazh dan
kalimat-kalimatnya, bukan pada “ tafsir Al-Quran – sebagaimana yang kita
sangka !- masalahnya bukanlah demikian…namun kesiapan jiwa dengan
menghadirkan perasaan, indra dan pengalaman : persis seperti kesiapan
perasaan, indra dan pengalaman saat diturunkannya Al-Quran, yang selalu
menyertai kehidupan jamaah muslimah yang selalu bergelut dalam
peperangan…bergelut dalam jihad, jihadun nafs –jihad melawan hawa nafsu-
jihadun nas –jihad melawan manusia-…jihad melawan nafsu angkara dan
jihad melawan musuh…usaha dan pengorbanan, takut dan harap, kuat dan
lemah, jatuh dan bangkit…lingkungan Mekah, Dakwah yang berkembang,
minoritas dan lemah, asing di tengah-tengah manusia..lingkungan yang
terkucil dan terkepung, lapar dan khawatir, tertekan dan terusir, dan
ter embargo –terputus- kecuali hanya mengharap dari Allah…
Kemudian
lingkungan Madinah : lingkungan pergerakan pertama bagi masyarakat
muslim antara tipu daya, kemunafikan, disiplin dan kebebasan…suasana
perang Badar, Uhud, Khandak, dan perjanjian Hudaibiyah…Suasana
“Al-Fatah” kemenangan, perang Hunain, Tabuk, dan suasana pertumbuhan
umat Islam, perkembangan sistem kemasyarakatan, persatuan yang hidup
antara perasaan, kemaslahatan dan prinsip dalam memuliakan pergerakan
dan dalam naungan sistem.
Dalam suasana seperti itu
saat diturunkan di dalamnya ayat-ayat Al-Quran memberi kehidupan yang
baik dan faktual…kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan, petunjuk-petunjuk
dan sentuhan-sentuhannya…dalam suasana seperti ini yang menyertai awal
usaha pelaksanaan kehidupan Islam yang baru, Al-Quran dengan
kandungannya membukakan hati, memberikan rahasia-rahasianya, menyebarkan
keharuman, dan membimbing kepada petunjuk dan cahaya…” (Khasais
At-Tashawur Al-Islami : 7-8)
Dari paragraf di atas
dapat kita ambil kesimpulan bahwa pokok utama yang harus kita jadikan
petunjuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah sebagai berikut :
- Membekali
diri dengan persiapan perasaan, pengetahuan –indra- dan pengalaman yang
selalu menyertainya saat ingin memahami nash-nash Al-Quran dan
merasakan sentuhan-sentuhannya.
- Memfokuskan diri –dengan
khayalan, perasaan dan inderanya- pada suasana dan lingkungan saat
diturunkannya Al-Quran, baik di Mekah dan di Madinah, agar dapat
menemukan jejak dan pengaruh Al-Quran di sana
- Memperhatikan
sikap para sahabat –lingkungan Mekah dan Madinah- dengan Al-Quran dan
interaksi mereka serta kehidupan mereka bersama Al-Quran.
- Meneliti
beberapa tujuan utama Al-Quran, metode aktual pergerakan yang di celup
kan terhadap kehidupan umat Islam, serta diturunkannya Al-Quran secara
realita dan sungguh-sungguh, sadar dan giat.
- Mengamalkannya
dalam praktek jihad, dan menerapkannya dalam kehidupan dakwah –seperti
–dalam sebagian fenomena- penerapan yang dilakukan oleh para sahabat
–khususnya pada periode “Mekah” dan pergerakan teoritis jihad dengan
Al-Quran, menyibukkan diri, perasaan dan anggota tubuh dengan kesibukan
dan perhatiannya, kegalauan perasaan dan siksaan yang mereka
terima…menerima –dari itu- Al-Quran agar di dapati darinya jawaban yang
nyata dan obat penyembuh
Jika kita pindahkan
perhatian kepada “Fi Zhilal Al-Quran” untuk membahas ungkapan-ungkapan
yang menjelaskan teori pergerakan dalam mentadabburi dan menafsirkan
Al-Quran maka kita akan mendapatkan banyak sekali faedahnya.
Ustadz
Sayyid Quthub menyeru kepada kita untuk hidup di bawah naungan Al-Quran
–sebagaimana ia hidup di dalamnya- untuk menemukan rahasia, tabiat dan
kunci-kuncinya…”Hidup di bawah naungan Al-Quran” bukan berarti
mempelajari Al-Quran dan membacanya serta menelaah ilmu-ilmu yang
berkaitan dengannya..ini berarti bukan yang kami maksud..yang kami
maksud adalah hidup di bawah naungan Al-Quran : manusia di bawah
naungan, dalam suasana, dalam bergerak, saat lelah, saat bertarung, dan
saat sedih…seperti yang terjadi pada masa awal turunnya Al-Quran…hidup
dengannya dalam menghadapi kejahiliyahan yang menggejala di permukaan
bumi saat ini; Dalam hati, niat dan gerak, dalam jiwanya selalu bergerak
ruh Islam, dalam jiwa umat manusia, dalam kehidupannya dan kehidupan
manusia juga…sekali lagi dalam menghadapi kejahiliyahan, dengan seluruh
fenomena-fenomenanya, tindak-tanduknya dan adat istiadat nya, seluruh
gerakannya, dan seluruh tekanan yang dilancarkan, perang dengannya
berusaha membangkitkan aqidah rabbaniyah, sistem rabbani, dan segala
aplikasi harus sesuai dengan manhaj –sistem dan aqidah ini setelah
melakukan usaha, jihad dan perlawanan…
Inilah
lingkungan Al-Quran yang mungkin manusia bisa hidup di dalamnya,
merasakan kenikmatan Al-Quran, karena dengan lingkungan demikian
Al-Quran turun, sebagaimana dalam lingkungan begitu pula Al-Quran
diamalkan…bagi siapa yang tidak mau menjalani kehidupan seperti itu akan
terkucil dari Al-Quran, walaupun mereka tenggelam dalam mempelajari,
membaca dan menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya…
Usaha
yang mesti kita korbankan untuk membangun jembatan antara orang-orang
yang Mukhlish dan Al-Quran bukan tujuan kecuali setelah melintasi
jembatan tersebut hingga sampai pada satu tempat lain dan berusaha
menghidupkan lingkungan Al-Quran secara baik, dengan amal dan
pergerakan, hingga pada saatnya mereka akan merasakan inilah Al-Quran,
menikmati kenikmatan yang telah Allah anugerahkan kepada siapa yang Dia
kehendaki… (Fi Zhilal Al-Quran : 2 : 1016-1017)
Dan
menunjukkan kepada kita cara yang baik dalam membaca, mentadabburi, dan
mendapatkan rahasia-rahasia dan inti dari Al-Quran, beliau berkata :
“Sesungguhnya Al-Quran harus dibaca, para generasi umat Islam hendaknya
menelaah nya dengan penuh kesadaran. Harus ditadabburi bahwasanya
Al-Quran memiliki arahan-arahan yang hidup, selalu diturunkan hingga
hari ini guna memberikan solusi pada masalah yang terjadi saat ini dan
menyinari jalan menuju masa depan yang gemilang. Bukan hanya sekadar
ayat dibaca dengan merdu dan indah, atau sekadar dokumentasi akan
hakikat peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Kita
tidak akan bisa mengambil manfaat dari Al-Quran ini sampai kita
mendapatkan darinya arahan-arahan tentang kehidupan realita kita pada
saat ini dan mendatang, sebagaimana yang telah didapati oleh para
generasi Islam pertama saat mereka mengambil dan mengamalkan
arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk Al-Quran dalam kehidupan mereka…saat
kita membaca Al-Quran dengan penuh penghayatan maka kita akan dapati
apa yang kita inginkan. Kita akan dapati keajaiban yang tidak terbetik
dalam jiwa kita yang pelupa ! kita akan dapati juga kalimat-kalimatnya,
ungkapan-ungkapannya, dan petunjuk-petunjuknya yang hidup, mengalir dan
bergerak serta mengarahkan pada petunjuk jalan…” (Ad-Zhilal : 1 : 61)
Disebutkan
–dalam pembukaan surat Ali Imran sebagai surat peperangan dan
pergerakan- tentang kenikmatan hidup dengan Al-Quran dan syarat-syarat
untuk mencapai dan mendapatkannya…akan tampak di sana kerugian yang
mendalam antara kita dan Al-Quran jika kita berusaha mengamalkannya
secara baik, menghadirkan dalam persepsi kita bahwa Al-Quran ini
diberikan kepada umat yang giat dan punya semangat hidup, memiliki
eksistensi diri, menghadapi berbagai peristiwa-peristiwa yang menimpa
dalam kehidupan umat ini.
Akan tampak di sana dinding
pemisah yang sangat tinggi antara hati dan Al-Quran, selama kita
membacanya atau mendengarnya seakan ia hanya sekadar bacaan ibadah saja
tidak memiliki hubungan dengan realita kehidupan manusia saat ini…
Mukjizat
Al-Quran yang mengagumkan meliputi saat dia diturunkan guna menghadapi
realita tertentu dan umat tertentu, pada masa dari masa-masa sejarah
yang tertentu, khususnya umat ini yang berada dalam menghadapi perang
yang sangat besar yang berusaha mengubah sejarah ini dan sejarah umat
manusia seluruhnya. Namun –bersamaan dengan ini- Al-Quran diperlakukan,
dihadirkan dan dimiliki untuk menghadapi kehidupan modern seakan-akan
dia diturunkan untuk menanggulangi jamaah Islam pada masalah yang sedang
berlangsung, seperti peperangan yang terjadi pada jahiliyah.
Agar
kita dapat meraih kekuatan yang dimiliki Al-Quran, mendapatkan hakikat
yang terdapat di dalamnya dari kehidupan yang menyeluruh, meraih
petunjuk yang tersimpan untuk jamaah muslimah pada setiap generasi…maka
selayaknya kita harus menghadirkan persepsi kita seperti generasi Islam
pertama yang diturunkan kepada mereka Al-Quran pertama kali sehingga
mereka bergerak dalam realita kehidupan mereka.
Dengan
teori ini kita akan dapat melihat kehidupan yang bergerak di tengah
kehidupan generasi Islam pertama. Begitu pun hidup di tengah kehidupan
kita saat ini, kita merasakan bahwa Al-Quran akan selalu bersama kita
saat ini dan nanti –masa mendatang-, Al-Quran bukan hanya sekadar bacaan
saja yang jauh dari kehidupan nyata yang terbatas…” (Ad-Zhilal : 1 :
348-349 –ringkasan)
dalam berinteraksi bersama
Al-Quran dan memahami nash-nash nya juga menunjukkan perkataan beliau :
“Bahwa nash-nash Al-Quran tidak akan dapat dipahami dengan baik melalui
pemahaman dari petunjuk-petunjuk bayan dan bahasa saja…namun yang
pertama dan sebelum yang lainnya adalah dengan merasakan kehidupan dalam
suasana sejarah pergerakan, dalam realita positif dan menghubungkannya
dengan realita kehidupan nyata. Al-Quran tidak akan terbuka rahasianya
melalui pandangan yang sangat jauh ini kecuali dalam wujud persesuaian
realita sejarah…hingga akan tampak sentuhan-sentuhannya yang lestari,
objektivitas yang terus menerus, namun bagi siapa yang bergerak dengan
ajaran agama saja, bergelut dengannya seperti yang dilakukan ketika
pertama kali ayat diturunkan pertama kali, menghadapi suasana dan
keadaan seperti yang mereka hadapi. Dan tidak bisa diungkap rahasia
Al-Quran dari “Al-Qoidun” orang-orang yang malas, hanya duduk-duduk
tanpa usaha, yaitu mereka yang hanya membahas nash-nash Al-Quran dari
segi bahasa dan bayan saja…merekalah yang disebut “al-Qoidun’.
(Ad-Zhilal : 3 : 1453- Ringkasan)
Sesungguhnya
Al-Quran memiliki tabiat pergerakan dan misi yang nyata, hidup dan
bergerak, dari sini berarti Al-Quran tidak akan bisa dirasakan dan
diperlakukan dengan baik kecuali bagi siapa yang bergerak secara benar
dan pasti dalam realita…beliau berkata : “sesungguhnya Al-Quran tidak
bisa dirasakan kecuali yang turun dan bergelut dalam kancah peperangan
ini, bergerak seperti yang terjadi sebelumnya saat pertama kali
diturunkan Al-Quran. Mereka yang tidak mendapatkan nilai-nilai dan
petunjuk-petunjuk Al-Quran adalah “Qoidun” –malas-. Mempelajari Al-Quran
dari segi bayan atau sekadar seni yang tidak dapat memiliki hakikat
kebenaran sedikit pun dari hanya sekadar duduk, diam dan tenang, jauh
dari kancah pertempuran dan jauh dari pergerakan…bahwa hakikat Al-Quran
ini selamanya tidak akan dapat direngkuh oleh orang yang malas, bahwa
rahasia yang terkandung di dalamnya tidak akan muncul bagi siapa yang
terpengaruh dengan ketenteraman dan ketenangan beribadah kepada selain
Allah, beragama untuk thagut selain Allah…(Ad-Zhilal : 4 : 1864)
pengertian
di atas dikuatkan dengan pernyataan lainnya : “Demikianlah Al-Quran
akan terus bergerak pada hari ini dan esok –masa mendatang- dalam
memunculkan kebangkitan Islam, menggerakkannya dalam jalan dakwah yang
terprogram”.
Gerakan ini tentunya butuh kepada
Al-Quran yang memberikan ilham dan wahyu. Ilham dalam manhaj gerakan,
konsep dan langkah-langkah, sedangkan wahyu mengarahkan konsep dan
langkah tersebut jika dibutuhkan, dan memberi kekuatan bathin terhadap
apa yang akan dihadapi di penghujung jalan.
Al-Quran
–dalam persepsi ini- tidak hanya sekadar ayat-ayat yang dibaca untuk
meminta berkah, namun di dalamnya berlimpah kehidupan yang selalu turun
atas jamaah muslimah yang bergerak bersamanya, mengikuti
arahan-arahannya, dan mengharap ganjaran dan janji Allah SWT.
Inilah
yang kami maksud bahwa Al-Quran tidak akan terbuka rahasia-rahasianya
kecuali bagi golongan muslim yang berinteraksi dengannya untuk
merealisasikan petunjuk-petunjuknya di alam realita, bukan bagi mereka
yang hanya sekadar membacanya untuk meminta berkah ! bukan bagi mereka
yang membacanya hanya untuk belajar seni dan keilmuan, dan juga bukan
bagi mereka yang hanya mempelajari dan membahas dalam bidang bayan saja !
Mereka
semua sama sekali tidak akan mendapatkan dari Al-Quran sesuatu apapun,
karena Al-Quran tidak diturunkan bukan untuk sekadar dipelajari dan
dijadikan mata pelajaran namun sebagai pelajaran pergerakan dan taujih
–pemberi petunjuk-..” (Fi Zhilal Al-Quran 4 : 1948)
Kita
cukupkan cukilan yang memberikan wawasan untuk kita yang bersumber dari
kitab Ad-Zhilal, bersegera memperbaiki pemahaman Al-Quran dan
mentadabburinya, berinteraksi dengannya seputar teori pergerakan,
menggunakan kunci-kunci yang memberi petunjuk dalam berinteraksi dan
bertadabbur…karena yang demikian yang sesuai dengan tabiat dasar
Al-Quran, karakteristiknya yang unik, ketahuilah yang demikian adalah
“Realita pergerakan” sebagai kunci dalam berinteraksi dengan Al-Kitab
yang mengagumkan dan mukjizat…
Kita tutup cukilan
dengan paragraph yang ditulis oleh Sayyid Quthub, yang menjelaskan
karakteristik dan menunjukkan kiat –kunci- teori ini, menuntun kepada
system ini… di antara keistimewaannya bahwasanya yang demikian sebagai
ringkasan pendapatnya, yaitu pendapat akhir sekali yang beliau tetapkan
dan menjadi sebuah tonggak dan keyakinan, hakikat yang qot’i–tidak bisa
ditawar-tawar lagi-…karena seperti yang beliau ungkapkan dalam
pendahulunya adi surat Al-Hijr –dari cetakan yang sudah direvisi- yang
ditulis sebelum dihukum mati beberapa hari –beberapa saat- !!
Beliau
berkata : …”Karena itu gerakan Islam akan selalu berhadapan –yang
menjadi kebutuhan dan tuntutan- setiap kali berulang masa ini (masa
penghadangan dakwah Islam di Mekah antara tahun kesedihan dan Hijrah),
seperti yang dihadapi gerakan Islam sekarang di era modern ini…
Kita
berkeyakinan atas karakteristik Al-Quran ini …keunggulan realita
pergerakan Islam…karena dalam pandangan kami hal tersebut merupakan
kunci dalam berinteraksi, memahami, menguasai dengan Al-Quran dan
mengetahui misi dan tujuannya.
Dan yang demikian harus
disertai dengan keadaan, situasi, kondisi, kebutuhan, dan tuntutan
realita amaliyah seperti saat diturunkannya dengan Al-Quran pertama
kali…hal tersebut guna mengetahui arah tujuan nash dan aspek-aspek
petunjuk-petunjuknya, meneropong ambisi nya yang selalu bergerak di
tengah kehidupan yang berhadapan dengan realita sebagaimana makhluk
hidup yang bergerak –berinteraksi dengannya atau berseberangan
dengannya…pandangan ini merupakan perkara yang sangat urgen guna
memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan merasakan
kenikmatan bersamanya, sebagaimana ia juga sangat penting memanfaatkan
petunjuk-petunjuknya setiap kali berulang suasana dan situasi di masa
sejarah yang akan datang, khususnya zaman yang sedang kita hadapi saat
ini, saat kita mengawali pergerakan dakwah Islam.
Sumber :
http://www.dakwatuna.com/2007/berinteraksi-dengan-al-quran/