Oleh:
Ustadz Armen Halim Naro Lc
“Wahai
guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah
seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau
menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah
persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali
seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah
ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun
terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti,
shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang
mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan
jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar
sebagai muslim, kita harus kaffah.
Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya
dengan manusia. Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh) …. ”[Al-Baqarah : 208]
Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak
dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian
lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam
mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau
sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan
yang terlarang dan yang tercela.
Hutang-piutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan
bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-piutang
merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di
dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat
yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat
Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini,
dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan
seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu
itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan
di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan
(yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]
Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya
menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang
menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini
menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang
menyangkut cabang (fikih)” [1]
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dari-Nya
untuk hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi
non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan
waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di
sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan
keraguan” [2]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Maka tulislah …”
maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah
datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai
antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu
menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya
untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan
yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan
hutang dan mendatangkan saksi” [3]
“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia
menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan
hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat
kepadanya. [4]
BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain
merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan
salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
“Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari
kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan
untuknya kedukaan akhirat”
Para ulama mengangkat
permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara
menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?
Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi
dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang
selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia
berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah,
karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti
membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada
saat itu membutuhkannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari
sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia
masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang,
kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena
adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]
Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika
dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat
sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang
haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena
terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis
yang menjajikan.
Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang
baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang.
Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang
kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk.
Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan
yang tidak baik.
ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau
menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran
merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan
akhlak orang yang mengerti membalas budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah
diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang
adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang
mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan
tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau
tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak
dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau
mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang
berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan
darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka
tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat
Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia
telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya
dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal
seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara
keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang
sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut,
saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu)
seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya.
(Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari
yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali
yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan
kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan
lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian
adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau
membayarnya dam menambahkannya” [8]
3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim
dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti. a.
Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar b. Berhutang untuk
sekedar bersenang-senang c. Berhutang dengan niat meminta. Karena
biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar
mau memberi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang)
dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa
mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan membinasakannya” [9]
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang,
karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa
banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya,
sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya.
Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang
dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang
tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari,
tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena
memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana,
bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?
4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya,
karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti,
seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh
pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang
meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.
5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya
memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di
pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan
membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
“Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku
tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku
sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang
tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :
“Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas.
Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak
berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka
(para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih
bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya
sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]
Imam Dzahabi mengkatagorikan
penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar
dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) kehormatannya”.
Sufyan Ats-Tsauri
berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah
menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]
c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang
telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang
lainnya” [14]
d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi
oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan
transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]
Bahkan
Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai
hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan
bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]
Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan,
hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang
memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan
hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud
kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]
9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan
kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus
menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu
kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang,
maka hendaklah dia menurutinya. [18]
10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan
pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara
(syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku)
Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka
aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah
hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka.
(Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid
satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu
datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka
sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]
BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan
dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi
pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal
hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan
tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan
dibalik kesusahan yang berhutang.
Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.
1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut,
dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan
pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah
di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya
dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih
ringan bebannya.
2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran
waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu
melunasi hutangnya.
Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :
“Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang
mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam
kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. [20]
3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara
membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi
pinjamannya.
Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih.
Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi
jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya
atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua
kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.
Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta
dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di
Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran
dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.
Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu
dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman.
Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman
menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga
muruah (martabat)mu”.
Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa
saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya :
“Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab,
“Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk
saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan :
“Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”.
Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang
menjenguk. [21]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam
menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup
mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak
setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya
selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain,
seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan
apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.
Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang,
dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang
halal dan baik.
Sumber: Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. (Dikutip dari almanhaj.or.id)
Sumber : https://moslemsunnah.wordpress.com/2010/05/02/adab-berhutang/
BERHUTANG DENGAN NIAT TIDAK MEMBAYAR
BERHUTANG DENGAN NIAT TIDAK MEMBAYAR
Dalam pandangan Allah, hak-hak hamba adalah sangat besar nilainya.
Seseorang bisa saja bebas dari hak Allah hanya dengan taubat, tetapi
tidak demikian halnya dengan hak yang berkaitan dengan hamba. Hak-hak
yang berkaitan antara sesama manusia –yang belum terselesaikan– kelak
akan diadili pada hari yang utang piutang tidak dibayar dengan dinar
atau dirham tetapi dibayar dengan pahala atau dosa. Dalam kaitan hak
antar sesama manusia Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak” (An Nisa : 58).
Di antara masalah yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat
adalah gampang berhutang. Ironisnya, sebagian orang berhutang tidak
karena kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi kebutuhan mewah atau
berlomba dengan tetangga-tetangga. Misalnya dalam membeli mobil model
baru, perkakas rumah tangga atau berbagai kesenangan lainnya yang
bersifat duniawi dan fana. Sebagian orang tak segan-segan membeli
barang-barang secara kridit yang sebagiannya tak lepas dari syubhat
atau sesuatu yang haram.
Mudah dalam berhutang akan menyeret seseorang pada kebiasaan
menunda-nunda pembayaran, atau malah mengakibatkan hilangnya barang
orang lain.
Memperingatkan akibat perbuatan ini, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa mengambil atau (menghutang) dan ia ingin
melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan hutangnya. Dan barangsiapa
mengambil (menghutang) dengan keinginan untuk merugikannya (tidak
membayar) niscaya Allah akan benar-benar membinasakannya (HR Al
Bukhari,Fathul Bari : 5/54).
Banyak orang yang meremehkan soal hutang piutang, mereka menganggapnya
masalah sepele, padahal di sisi Allah hutang-piutang merupakan
masalah yang besar. Bahkan hingga seorang syahid yang memiliki
beberapa keistimewaan yang agung, pahala yang besar dan derajat yang
tinggi, tidak bisa lepas dari hutang piutang.
Dalil yang menegaskan hal tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :
“Mahasuci Allah, betapa kerasnya apa yang diturunkan
Allah dalam urusan utang-piutang, demi Dzat yang jiwaku ada di
tanganNya, seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah
kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh (lagi) kemudian di hidupkan, lalu
dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tak akan masuk
surga sehingga dibayarkan untuknya hutang tersebut” (HR An Nasai, Al
Mujtaba,7/413, Shahihul Jami’ :3594)
setelah mengetahui hal ini, masih tak di pedulikah orang-orang yang menggampangkan urusan utang-piutang?
Wassalam : Ki Semar
Sumber : http://sabdaislam.wordpress.com/2010/09/18/berhutang-dg-niat-tidak-membayar/
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya
Allah
yang Mahatahu
Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika
terjadi
kesalahan dan
kekurangan
disana-sini
dalam
catatan
ini...
Itu
hanyalah dari
kami...
dan
kepada Allah
SWT.,
kami mohon
ampunan...
Semoga
Allah
SWT.
memberi
kekuatan
untuk kita
amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga
Bermanfaat...
Silahkan
COPY atau
SHARE ke
rekan anda
jika
menurut Anda note ini bermanfaat...
Lampirkan sumbernya ya... Syukron