Bermanfaat bagi yang lainnya

Mau Tahu Ucapan Idul Fitri Sesuai Rasulullah


Di Indonesia setiap hari Lebaran (Idul Fitri) tiba semua orang mengucapkan selamat dengan bermacam-macam cara.

Ada yang dengan pantun serius, pantun plesetan, ungkapan yang sangat puitis, dll.

(Ini “pancingan” dari operator selular agar semua orang kirim SMS sehingga traffic SMS meningkat yang ujung-ujungnya pendapatan mereka juga meningkat atau memang murni ucapan dari seseorang kemudian di forward setelah diedit sedikit, biasanya nama dan keluarga. ucapanya sih sama persis).

Nah, bagaimana yang dilakukan Nabi? Hampir semua ucapan yang beredar tidak ada riwayatnya kepada Rasulullah kecuali ucapan: Taqabbalallahu minaa wa minka, yang maknanya, “Semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal Anda.” Maksudnya menerima di sini adalah menerima segala amal dan ibadah kita di bulan Ramadhan.
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[Fathul Bari 2/446] : “Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya) : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.

Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka.

Beberapa shahabat menambahkan ucapan shiyamana wa shiyamakum, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

Kemudian, untuk ucapan minal ‘aidin wal faizin itu sendiri adalah salah satu ungkapan yang seringkali diucapkan pada hari raya fithri. Sama sekali tidak bersumber dari sunnah nabi, melainkan merupakan ‘urf (kebiasaan) yang ada di suatu masyarakat, dalam hal ini ya di Indonesia saja.

Sering kali kita salah kaprah mengartikan ucapan tersebut, karena biasanya diikuti dengan “mohon maaf lahir dan batin”. Jadi seolah-olah minal ‘aidin wal faizin itu artinya mohon maaf lahir dan batin. Padahal arti sesungguhnya bukan itu. Kata minal aidin wal faizin itu sebenarnya sebuah ungkapan harapan atau doa. Tapi masih ada penggalan yang terlewat. Seharusnya lafadz lengkapnya adalah ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin, artinya semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung (menang).

Sedangkan Makna Minal `Aidin wal Faizin menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dari buku Lentera Hati “Minal `aidin wal faizin,” demikian harapan dan doa yang kita ucapkan kepada sanak keluarga dan handai tolan pada Idul Fitri. Apakah yang dimaksud dengan ucapan ini ? Sayang, kita tidak dapat merujuk kepada Al-Quran untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kata `aidin, karena bentuk kata tersebut tidak bisa kita temukan di sana. Namun dari segi bahasa, minal `aidin berarti “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali.” Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau “agama yang benar”.

Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dengan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagai mana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.

Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan” . Apakah “keberuntungan” yang kita harapkan itu Di sini kita dapat merujuk pada Al-Quran, karena 29 kali kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan bahwa Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan” sebagai keberuntungan yang bersifat material (baca QS 4:73)

Bila kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya (kecuali QS 4:73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya.

Salah satu syarat untuk memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh Al-Quran dalam surah An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan dengan kasus Abubakar r.a. dengan salah seorang yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus istri Nabi, Aisyah. Begitu marahnya Abubakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak memberi bantuan apapun kepadanya.

Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 24:22).

Marilah kita saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal `aidin wal faizin. semoga kita dapat kembali mendapatkan jati diri kita semoga kita bersama memperoleh ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi. Amin.

Sumber : http://deltapapa.wordpress.com/2008/09/19/ucapan-idul-fitri-sesuai-rasulullah/

Benarkah Wanita Tercipta dari Tulang Rusuk Pria? Ini Hasil Penelitian Genetika

Menikah - ilustrasi
Kita mungkin sering mendengar kalimat “wanita adalah tulang rusuk pria”, bahkan seringkali dikatakan istilah “tulang rusuk” untuk menggambarkan jodoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mensabdakan dalam shahihain, “Sesungguhnya wanita tercipta dari tulang rusuk.”

Penelitian genetika yang dilakukan oleh sebuah tim dari Boulder Institute of Behavioral Science di Universitas Colorado membuktikan bahwa wanita dan pria yang menikah ternyata memiliki kesamaan genetika.

Dikutip dari Republika Online, pemimpin peneliti Benjamin Domingue mengatakan timnya meneliti genetika dari 825 pasangan menikah di Amerika yang dipilih secara acak. Peneliti membandingkan lebih dari 1,7 juta titik potensi kemiripan genetik. Salah satu pasangan cenderung memiliki kemiripan secara genetik dengan pasangannya, sehingga keduanya memiliki keyakinan untuk menikah.

"Kesamaan gen akhirnya mendorong hati kita dengan berbagai peluang dan struktur ketika menentukan dengan siapa kita akan menikah. Sebagai contoh, gen pula yang menentukan apakah calon pasangan Anda harus berbadan tinggi, berat badannya, latar belakang etnisnya, agama, hingga tingkat pendidikannya," ujar Domingue, dilansir dari Easy Good Health, Senin (9/6).

Kesimpulan ini kemudian diteliti lagi lewat model statistik untuk memahami perbedaan genetik antara populasi manusia yang tidak sedarah. Ada perbedaan kesamaan genetik antara pasangan yang menikah dengan saudara sekandung mereka. Kesamaan antara orang-orang yang sudah menikah hampir tidak sedalam saudara kandung.

"Saudara kandung rata-rata memiliki kesamaan genetik berkisar 40-60 persen, sedangkan rentang persamaan gen antara pasangan yang sudah menikah lebih kecil dari itu," ujar Domingue.

Pasangan menikah cenderung memiliki sifat genetik yang sama karena gen mereka membantu menentukan dengan siapa mereka akan bertemu selama hidup mereka. Orang-orang dengan gen yang mirip misalnya, akhirnya menginginkan pasangan dengan latar belakang pendidikan yang sama, misalnya sama-sama S1. Seseorang juga cenderung untuk menikahi pasangan yang mirip dengan diri mereka sendiri, dalam hal etnis, ras, dan ukuran tubuh.

Gen-gen juga membentuk perbedaan biologis yang lebih halus namun justru bisa saling menarik satu sama lain untuk saling menyukai lewat cara-cara yang tidak kita mengerti. Setidaknya, pasangan sudah menikah memiliki seperti kesamaan dalam hidup mereka.[ROL/bersamadakwah]

Sumber : http://www.bersamadakwah.com/2014/06/benarkah-wanita-tercipta-dari-tulang.html

Momen yang Tepat untuk Mengoreksi Arah Kiblat, 28 Mei dan 16 Juli 2014

Ilustrasi. (abdisuhamdi.wordpress.com)
Ilustrasi. (abdisuhamdi.wordpress.com)

dakwatuna.com – Arah kiblat merupakan hal yang terpenting bagi umat Islam karena merupakan salah satu bagian dari penyempurnaan ibadah, salahsatunya shalat. Kiblat umat Islam terletak di Masjidil Haram, kota Mekah. Indonesia merupakan salahsatu daerah yang sangat jauh dari arah kiblat. Maka sulit untuk mencari letak Masjidil Haram (baca : arah kiblat) dengan tepat. Bahkan berbeda kesalahan 1⁰ saja dari arah kiblat, maka sudah sejauh 111 km dari kesalahan menghadap arah kiblat.

Kesalahan persepsi yang terjadi pada masyarakat adalah menganggap arah kiblat di Indonesia adalah arah Barat. Tentunya, pernyataan ini kurang tepat. Kalau kita melihat peta dunia, bagian sebelah Barat dari Indonesia adalah negara-negara Afrika. Seperti Tanzania, Kenya, Somalia, dan Etiopia dimana jarak negara-negara tersebut dengan Masjidil Haram adalah ribuan kilometer.

Permasalahan yang muncul adalah, “Sudah tepatkah arah kiblat pada sebuah Masjid/Mushola di Indonesia?” Berdasarkan penelitian dari berbagai sumber, ternyata banyak Masjid yang tidak tepat dengan arah kiblat. Bukan hanya 1 atau 2 Masjid, tetapi hampir 50% bahkan lebih dari itu.

Alhamdulillah, Allah telah memberi petunjuk dengan ilmu-Nya. Terdapat dua waktu yang sangat tepat untuk mengoreksi arah kiblat dengan tepat. Dua waktu tersebut adalah tanggal 28 Mei sekitar pukul 16:18 WIB dan pada tanggal 16 Juli sekitar pukul 16:27 WIB.

Berdasarkan perhitungan astronomi mengenai deklinasi matahari, pada dua waktu tersebut akan terjadi posisi matahari yang tepat berada di atas kota Mekah. Artinya, di mana pun kita berada, pada dua waktu tersebut setiap bayangan di belahan bumi manapun akan menghadap ke arah kota Mekah yang di dalamnya terdapat Masjidil Haram. Hal ini sangat bisa dimanfaatkan bagi yang ingin mengoreksi arah kiblatnya.

Cara mengoreksi arah kiblat ini adalah hanya dengan mendirikan sebuah tongkat atau membuka jendela pada waktu tersebut, kemudian buat garis yang sejajar dengan bayangan matahari. Garis yang sejajar tersebut adalah arah kiblat.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/05/06/50828/momen-yang-tepat-untuk-mengoreksi-arah-kiblat-28-mei-dan-16-juli-2014/#ixzz30vpRA2EQ
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Bangun Kesiangan, Bolehkah Mengqadha Shalat Subuh?

Ilustrasi (Klinik Fotografi Kompas)
Ilustrasi (Klinik Fotografi Kompas)
Pertanyaan:
dakwatuna.com – Assalamualaikum, Ustadz saya ingin bertanya tentang Shalat Subuh. Di saat saya terlambat Shalat Subuh dan bangun di waktu Dhuha, bolehkah saya Shalat Subuh di waktu Dhuha tersebut dengan cara mengqadha’ Shalat Subuh saya? Dan bagaimana jika ternyata bangun di waktu Zhuhur, apa yang harus saya lakukan terkait Shalat Subuh saya yang tertinggal, sedangkan saya sebenarnya tidak ingin meninggalkannya. Terima kasih, Ustadz. Mohon doanya agar saya selalu berada dalam jalan kebaikan dan menjadi wanita shalihah yang bertaqwa. Terima kasih, Ustadz. (Binti Muhammad)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man Waalah, wa ba’d:
Kepada saudari Binti Muhammad, semoga Allah Ta’ala selalu menjaga Anda dalam kebaikan dan menjadikan Anda sebagai wanita shalihah yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala.
Jika Meninggalkan Shalat secara sengaja
Kasus yang saudari tanyakan ini, akan kami rinci yaitu seseorang yang tertinggal shalatnya hingga melewati waktu shalatnya secara sengaja seperti karena  malas, misalnya. Maka para ulama terjadi perbedaan pendapat apakah mesti qadha atau tidak.
Pendapat Pertama, Dia berdosa dan wajib qadha.
            Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 2/10). Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja sampai melewati waktunya.[1]
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
أما التارك للصلاة عمدا فمذهب الجمهور أنه يأثم وان القضاء عليه واجب.
Adapun meninggalkan shalat secara sengaja, maka menurut mayoritas ulama adalah dia berdosa dan wajib mengqadha. (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Pendapat Kedua. Dia tidak disyariatkan mengqadha tetapi hendaknya bertaubat, banyak istighfar, dan shalat sunah.
            Inilah pendapat Imam Ibnu Taimiyah, Beliau mengatakan:
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع
Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidaklah disyariatkan baginya untuk mengqadhanya, dan tidak sah pula jika dia melakukannya, tetapi hendaknya dia memperbanyak shalat sunahnya. (Fatawa Al Kubra, 5/320)
            Ini juga difatwakan Imam Ibnu Hazm, Beliau mengatakan:
وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها هذا لا يقدر على قضائها أبدافليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزاته يوم القيامة وليتب وليستغفر الله عزوجل
            Adapun orang yang meninggalkan shalat secara sengaja sampai keluar dari waktunya, maka selamanya tidak bisa diqadha. Namun hendaknya dia memperbanyak amal kebaikan, shalat sunah, dalam rangka memperberat timbangan kebaikannya di Hari Kiamat nanti, dan hendaknya dia bertaubat dan beristighfar kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Al Muhalla, 1/274-275)
Hujjah mereka  adalah sebagai berikut:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَواتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59)
إِلاَّ مَنْ تابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صالِحاً فَأُولئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئاً (60)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam [19]: 59-60)
Ayat lain:
 وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (QS. Ali Imran [3]: 135)
Jadi, menurut ayat-ayat ini, solusi dari kemaksiatan adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak istighfar. Begitupula dalam konteks meninggalkan shalat wajib secara sengaja, ditambah lagi orang tersebut mesti menutupinya dengan memperbanya shalat sunah.
Dalilnya adalah,
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ.
“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalatnya. Jika bagus shalatnya maka dia telah selamat dan beruntung. Jika rusak shalatnya maka dia akan menyesal dan merugi. Jika shalat wajibnya ada kekurangan, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkata, ‘Lihatlah pada hamba-Ku shalat sunahnya. Sempurnakanlah kekurangan pada yang wajib itu dengannya.’ Kemudian dihitunglah semua amal perbuatannya dengan seperti itu juga.” (HR. At Tirmdzi (413), katanya: hasan gharib. Abu Daud (864). Ad-Darimi (1395), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnadnya shahih. Ahmad (9494). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9494) )
Nah, hadits ini menunjukkan bahwa kekurangan pada shalat wajib yang luput dilaksanakan, bisa ditutupi dan disempurnakan oleh shalat sunah.
Imam Abu Muhammad bin Hazm telah membahas masalah ini panjang lebar. Beliau pun menantang pihak yang mewajibkan qadha itu. Atas  dasar apa sehingga dibolehkan menqadha? Siapakah yang mewajibkan qadha itu, syariat atau bukan? Di antara alasan lain yang dikemukakan Beliau adalah bahwa shalat adalah ibadah yang sudah ditentukan waktunya. Jika adanya qadha itu dibenarkan sehingga shalat bisa dilakukan setelah habis waktunya maka  adanya aturan waktu shalat yang spesifik akan menjadi aturan (ketetapan) yang  sia-sia dan tidak ada artinya.
Buat apa adanya aturan waktu pada masing-masing shalat, jika kemudian boleh saja dilakukan di luar waktunya? Beliau juga menyebut bahwa pendapat Beliau ini merupakan pendapat Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Salman al-Farisi, Ibnu Mas’ud,  Muhammad bin Abu Bakar, Budail Al Uqaili, Muhammad bin Sirin, Mathrab bin Abdullah, dan Umar bin Abdul Aziz. (Al Muhalla, 2/11)
Jika Meninggalkannya Tidak Sengaja
Sedangkan jika luputnya shalat wajib disebabkan ketidaksengajaan, seperti ketiduran atau lupa misalnya, maka para ulama sepakat wajibnya qadha ketika dia sadar dan ingat.
Hal ini sesuai hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
“Sebenarnya bukanlah kategori lalai jika karena tertidur. Lalai adalah bagi orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat lainnya. Barang siapa yang mengalami itu maka shalatlah dia ketika dia sadar”.  (HR. Muslim, 311/681)
Dalam redaksi yang agak berbeda,
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ، فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Lalai bukanlah pada saat tidur. Lalai adalah ketika sadar. Maka jika salah seorang kalian lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika teringat shalat.”(HR. at-Tirmidzi (177), katanya: hasan shahih. Ibnu Majah (698))
Hadits lainnya:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Barangsiapa yang lupa dari shalatnya maka shalatlah ketika dia mengingatnya, dan tidak ada kafarah (tebusan) kecuali dengan cara itu.”(HR. Muslim, 314/684)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat karena lupa dan tertidur, hendaknya diqadha dengan shalat juga ketika dia teringat. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menekankan hal itu dengan kata perintah: falyushalliha idza dzakaraha – maka shalatlah ketika teringat shalat.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
 اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم
“Mengqadha shalat adalah wajib menurut kesepakatan ulama bagi orang yang lupa dan tertidur.” (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Maka, kasus yang dialami saudari penanya, hendaknya shalatlah ketika terbangun dari tidurnya, walau telah melewati waktunya. Jika Shalat Subuh kelewatan karena tertidur, lalu bangun di waktu Dhuha, maka shalatlah Subuh saat itu. Begitu pula jika dia baru bangun di waktu Zhuhur, maka shalat subuhlah ketika dia ingat.
Semua ini sesuai perintah nabi shalatkah ketika teringat. Caranya adalah jika dia shalat sendiri maka Shalat Subuh dahulu, barulah Zhuhurnya, sesuai urutannya. Sedangkan jika berjamaah dengan  orang lain di masjid, maka ikuti shalatnya jamaah dulu (yakni Zhuhur), sebab tidak mungkin dia meminta jamaah untuk Shalat Subuh sebagaimana dirinya sebab jamaah lain tidak mengalami yang dia alami, jika sudah selesai barulah dia Shalat Subuh yang tertinggal itu.
Nabi dan Para Sahabat pernah mengalami
Apa yang dialami saudari penanya juga pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Maka adanya peristiwa serupa yang dialami mereka menjadi panduan buat kita bagaimana menyikapinya. Yang jelas, kasus seperti ini hendaknya tidak menjadi kebiasaan.
Berikut ini kisah yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kisahnya panjang dan kami kutip sesuai kebutuhan saja sebagai berikut:
‘Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhu bercerita:
أَنَّهُمْ كَانُوا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيرٍ، فَأَدْلَجُوا لَيْلَتَهُمْ، حَتَّى إِذَا كَانَ وَجْهُ الصُّبْحِ عَرَّسُوا، فَغَلَبَتْهُمْ أَعْيُنُهُمْ حَتَّى ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ، فَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ أَبُو بَكْرٍ، وَكَانَ لاَ يُوقَظُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَنَامِهِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، فَاسْتَيْقَظَ عُمَرُ، فَقَعَدَ أَبُو بَكْرٍ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَجَعَلَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ حَتَّى اسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَ وَصَلَّى بِنَا الغَدَاة  ….
            Mereka bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah perjalanan yang sampai larut malam hingga menjelang Subuh mereka istirahat. Lalu mereka tertidur sampai meninggi matahari. Pertama yang bangun adalah Abu Bakar, Beliau tidak membangunkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai dia bangun sendiri. Lalu bangunlah Umar, lalu Abu Bakar duduk di sisi kepala nabi. Lalu dia bertakbir dengan meninggikan suaranya sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbangun. Lalu beliau keluar dan Shalat Subuh bersama kami.”  (HR. Bukhari (3571), Muslim (312/682))
            Dalam kisah ini, Nabi dan para sahabatnya baru Shalat Subuh ketika matahari sudah meninggi, setelah mereka terbangun dari tidur. Ini menunjukkan bolehnya hal itu, jika disebabkan tertidur yang membuatnya melewati waktu Subuh sebenarnya. Tetapi, sekali lagi, ini bukanlah kebiasaan mereka, tetaplah yang paling utama dan disukai Allah Ta’ala adalah Shalat Subuh tepat pada waktunya.
Tidak Shalat Karena Pingsan
Bagi orang yang pingsan sehingga dia tidak melakukan shalat,  maka sebagian imam, seperti para Sahabat dan Tabi’in  menyatakan tidak  wajib qadha sama sekali. Seperti yang dipegang oleh Ibnu Umar, Thawus bin Kaisan, Az Zuhri, Al Hasan Al Bashri, dan Muhammad bin Sirin.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyebutkan:
فقد روى عبد الرزاق عن نافع: أن ابن عمر اشتكى مرة غلب فيها على عقله حتى ترك الصلاة ثم أفاق فلم يصل ما ترك من الصلاة.وعن ابن جريج عن ابن طاوس عن أبيه إذا أغمي على المريض ثم عقل لم يعد الصلاة.
قال معمر: سألت الزهري عن المغمى عليه فقال: لا يقضي.وعن حماد بن سلمة عن يونس بن عبيد عن الحسن البصري ومحمد بن سيرين أنهما قالا في المغمى عليه: لا يعيد الصلاة التي أفاق عندها.
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Naafi’, bahwa Ibnu Umar suatu saat jatuh sakit hingga  pingsan dan meninggalkan shalat. Lalu ketika dia sadar, dia tidak melakukan shalat yang tertinggal itu.
Dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa jika ada seorang sakit sampai pingsan lalu dia kembali sadar maka tidak usah baginya mengulangi shalatnya.
Ma’mar berkata: Aku bertanya kepada Az Zuhri tentang orang yang pingsan, Beliau menjawab, “Tidak usah mengqadha.”
Dari Hammad bin Salamah, dari Yunus bin ‘Ubaid dari al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, mereka berdua berkata tentang orang yang pingsan, “Tidak perlu mengulangi shalat yang tertinggal selama pingsan itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/274)
Sekian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in
[1]Dalam berbagai hadits shahih, orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
 بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran   adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim (82), at-Tirmidzi (2752), Ibnu Majah (1078), ad-Darimi (1233), Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf (7/222/43), Ibnu Hibban (1453), Musnad Ahmad (15183), tahqiq: Syu’aib Al Arna’uth, Adil Mursyid, dll)
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.”(HR. at-Tirmidzi (2621), katanya: hasan shahih gharib, an-Nasa’i (463), Ibnu Majah (1079), Ibnu Hibban (1454), Sunan ad-Daruquthni, Bab At Tasydid fi Tarkish Shalah No. 2, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra (6291), Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf (7/222/45), Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain (11), katanya: “isnadnya shahih dan kami tidak mengetahui adanya cacat dari berbagai jalur. Semuanya telah berhujjah dengan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Muslim telah berhujjah dengan al-Husein bin Waqid, Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya dengan lafaz ini. Hadits ini memiliki penguat yang shahih sesuai syarat mereka berdua.” Ahmad (22937), Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat). Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya)
Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:
وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم :من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر
Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.”  Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Syaikh al-Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib (1/575). Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)
Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة 
                Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat.” (HR. at-Tirmidzi (2757), dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi (2622)
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:
وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ.
“Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.”(Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh al-Islam)
Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, mengatakan:
ومن ترك الصلاة فلا دين له.
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5/508) Darul Fikr)
Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu berkata:
لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا
“Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.” Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)
Imam Al Mundziri Rahimahullah menyebutkan:
وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر
                “Demikian pula, dahulu   pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa ‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)

Mandi Junub, Asal Seluruh Anggota Badan Dibasuh Sudah Sah?

ilustrasi mandi wajib - Foto shower © gdys.com
Sejumlah pertanyaan tentang mandi wajib (mandi junub) dari pembaca masuk ke meja redaksi menyusul artikel Tata Cara Mandi Wajib. Mayoritas pertanyaan tersebut menanyakan bagaimana hukumnya mandi junub yang hanya menyiram dan membasuh seluruh anggota badan, tanpa mengikuti tata cara yang dituntunkan oleh Rasulullah. Beberapa diantara penanya menambahkan, dulu mereka tidak tahu bahwa ada tuntunan seperti dalam hadits-hadits shahih tersebut.

Pertanyaan tersebut sebenarnya telah dijawab dalam riwayat Tirmidzi.

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ الَّذِي اخْتَارَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْغُسْلِ مِنْ الْجَنَابَةِ أَنَّهُ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُفْرِغُ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنْ انْغَمَسَ الْجُنُبُ فِي الْمَاءِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ أَجْزَأَهُ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ
Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan hadits inilah yang dipilih oleh para ahli ilmu dalam hal mandi junub. Bahwa seseorang hendaknya berwudlu sebagaimana wudlu shalat, kemudian menuangkan tiga siraman ke atas kepalanya. Setelah itu mengalirkan air ke seluruh tubuh dan membasuh kedua kakinya."

Ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka mengatakan; "Jika seseorang yang junub membenamkan diri dalam air meskipun tidak berwudlu maka itu telah mencukupi." Ini adalah pendapat Syafi'i, Ahmad dan Ishaq."


Di dalam Fiqih Manhaji Imam Syafi’i, dijelaskan bahwa wajibnya mandi junub itu hanya dua: pertama adalah niat. Kedua adalah membasuh semua permukaan kulit dan rambut dengan air serta memastikan sampainya air ke akar rambut.

Dalam Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq juga menjelaskan bahwa rukun mandi junub ada dua: niat dan membasuh seluruh anggota tubuh.

Adapun tata cara seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya adalah sunnah, yang tentu saja menjadikan mandi junub lebih sempurna dan lebih berpahala. Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
 
Sumber : http://www.bersamadakwah.com/2014/05/mandi-junub-asal-seluruh-anggota-badan.html

Daftar Postingan Terbaru

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/