
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Akhirnya aku menikah. Bahagia sekali dalam
proses ijab kabul berjalan dengan lancar. Keluarga besarku hadir,
tetangga dan teman-teman dekatku ikut memberikan doa restunya. Namun aku
tak mengenal siapakah lelaki ini yang lancar sekali dalam ijab kabul.
Dia, tak jelas wajahnya, yang menjadi suamiku setelah prosesi ijab kabul
ini. Siapa dia? Aku tak tau namanya, tak terlihat wajahnya, aku hanya
bisa melihat dari belakang saja, kami tak disandingkan dalam prosesi
ini. Aku duduk bersama Ibuku di belakang lelaki ini. Siapakah dia?
Mungkinkah ini nyata. Semoga benar. Tapi, siapakah dia?
Aku terbangun dari tidur dan mimpi itu, suara adzan Subuh dari
mushola terdekatlah yang membangunkanku dalam tidur lelap tadi malam.
Itu hanya mimpi saja. Aku bingung dan bertanya siapakah lelaki itu.
Selesai Subuh, kubuka HP. Ada SMS yang tiba tadi malam, baru kubaca,
dari tim redaksi tempatku bekerja, SMS dari Mbak Lestari dalam bahasa
santun yang aku kenali sekali.
“Dewi, cepat mana tulisanmu,
deadline nih,” aku tak ingat lagi
deadline yang
mana. Sesuai permintaan Mbak Lestari, kubuka-buka buku kecil batikku.
Hmm… ini berat sekali, aku sudah hubungi Ustadz Abdullah Zakaria untuk
secara rutin mengirim kolom Hikmah pada majalah kami, rupanya pekan ini
beliau belum mengirim tulisannya. Aku bingung di pagi hari selesai
Subuh ini, dibuat sibuk dengan kejadian tersebut. Kutelpon Ustadz
Abdullah tak diangkat. Ini bukan waktunya pas untuk menelpon. Mungkin
beliau masih beraktivitas di masjid mengisi kuliah Subuh.
Aku SMS saja beliau, pikirku. “Ustad Abdullah, mohon tulisan kolom
Hikmahnya di kirim via email seperti biasa, jika tidak bisa mohon kontak
saya. Terimakasih. Dewi.”
Ahh pagi ini begitu dikejar banyak
deadline, membeli tiket
pesawat karena Ibu mau pergi ke Medan menjenguk kakaknya yang sedang
sakit, mengerjakan tiga makalah tugas kuliah S2-ku, novelku yang ketiga
dengan tema religi yang sudah ditunggu penerbit bulan ini harus sudah
terkirim, ohhh… kepala ini terasa mau pecah! Aku harus tarik nafas, aku
harus tenangkan diri dahulu. Jalan kaki di Subuh hari pas tuk
menenangkan ketegangan. Sehabis itu pastilah kumemulai tilawah Al-Quran
satu juz.
Aku keluar dari komplek kos-kosanku, menikmati sesegar udara, angin
terhembus menyentuh kulit dan rambutku. Angin sepoi ini menerbangkan
beberapa helai rambut panjangku. Sudah saatnya jilbab kukenakan di masa
muda, masa sekarang. Aku ingin sekali. Aku ingin. Panggilan hati sudah
sangat terasa. Kebenaran itu pasti. Hati kecilku selalu iri melihat
wajah wanita muslimah menggunakan jilbab dengan rapinya.
Klakson motor mengganggu ketenanganku. Suara itu dari belakang, ahh..
Rohmat teman baruku ini selalu saja begitu. Mentang-mentang motor baru
dan seragam pegawai pabrik botol saos itu selalu ia kenakan. “Dew,
kemana, olahraga dengan sandal jepit, jika tak serius duduk saja di
teras sana… hehehe…” guyonan Rohmat seperti bisa itu sudah kuhapal
sekali. “Saya pergi dulu yaa Dew, assalamualaikum,” Rohmat pergi dan
sampai hilang dari penglihatan.
Yang satu ini aneh, selalu begitu. Dia hanya
say hello. Sudah
lama sekali kami tak ngobrol panjang lebar kesana kemari. Ah, biarkan
Rohmat pergi, iklan berjalan. Ingat kejadian tadi barulah aku bisa
tertawa lepas. Sandal jepit.
Sudah jauh aku melangkah pagi ini di komplek perumahan Intan, sejauh
ini aku baru menemukan suara kicauan burung. Burung dalam sangkar itu
bisa menunjukan dirinya dengan suara-suara merdu. Hmm, apakah para
burung bisa bicara? Kira-kira mereka akan bicara tentang apa? Bebas
lepas merdeka di hutan lindung aman dari polusi, serta dari gangguan
tangan manusia.
Aku terus berjalan sehat. Aku harus menikmati hari-hari yang terus
berganti ini. Hargailah nikmat sehat dengan berjalan kaki. Cukup dengan
waktu 30 menit saja, semoga bisa.
***
“Baik ustad, kami tunggu emailnya sampai sore, malam akan kami edit
dan naik cetak majalahnya,” jawaban SMS-ku pada Ustad Abdulah. Aku
maklumi kesibukan beliau. Semoga sore hari bisa ada kabar baik.
Tiga makalah kuselesaikan perlahan-lahan, tiket pesawat sudah kupesan via rekan kantor yang biasa urus tiket pesawat.
“Dew, sudah pukul 13.00 nih, jangan lupa dikirim,” ahh Mbak Lestari
ini, “Belom Mbak, sore hari Ustad Abdulah baru bisa kirim, nanti aku
kabari lagi. Beres lah. Okee?” balasku di SMS.
Ringtone HP berbunyi… “Dewi, bagaimana tiket Ibu sudah kamu
pesan? Bibimu sudah dipindahkan ke kamar khusus di Rumah Sakit Islam,
Ibu harus pasti berangkat besok.”
“Oke bu, tiket satu jam lagi, Deni temanku akan mengantar tiketnya ke rumah,” balasku.
“Dew, mana powerpoint-nya? Lusa kamu harus sudah siap mengisi materi
seminar menulis fiksi di komunitas baca Indonesia. Panitia menanyakannya
malah ke aku. Kamu langsung kirim ke Riza ya. Dia seksi acaranya.
Ditunggu cepat jangan pake lama,” kata-kata di SMS. Wow ampun dah makin
banyak yang harus kukerjakan.
Ditambah lagi SMS dari pak Budiman, “Dewi, kerangka pidato Direktur
Utama sudah dibuatkan dalam menyambut hari Pers Nasional, akan dimuat di
halaman khusus majalah kita,” bebanku nambah lagi.
Piring kotor masih numpuk di belakang, pakaian numpuk belum
disetrika… makin numpuk nih! Malang hidup sebagai anak kost. Sampai
kapan ini bisa berhenti, aku letih merintih sampai tertatih. Aku letih
dengan banyak rutinitas
deadline, aku mau lepas saja. Merdeka saja! Aahhh geram sekali!
Kulihat HP ada SMS, kubaca, “Maaf Mbak Dewi, saya tidak bisa mengirim
tulisan tuk pekan ini, karena belum rampung, pada saat yang bersamaan
saya harus segera ke Ponorogo, guru saya sedang sakit. Maaf ya mbak.
Terima kasih,” SMS Ustad Abdullah.
Di saat yang sama ada SMS dari Rohmat, “Dewi, saya sudah kirim
tulisan ke emailmu. Saya sudah sepekan ini membuat tulisan dengan tema
Persatuan Umat Islam, sebenarnya saya masih belajar. Mohon masukannya
ya!”
Dilihat dari gaya tutur bahasa tulisan Rohmat bisa sangat pas
dimasukan dalam kolom Hikmah. Tak disangka pegawai pabrik saos ini,
punya kelebihan. Kubalas SMS-nya, “Oke bagus tulisannya, aku masukan ke
majalahku ya, klo sudah terbit kuberikan majalahnya padamu. Tolong kirim
CV-mu ke aku.”
Maa syaa Allah, CV-nya membuatku kagum. Rohmat semuda itu sudah
menjadi ketua DKM Masjid Hidayah. Dia ustadz pula, sering mengisi
majelis taklim Ibu-Ibu, juga sering ikut seminar kepenulisan. Beberapa
pernah menulis untuk media koran lokal. Akan kujuluki dia Ustadz Rohmat
Maulana di kolom hikmah. Bagus sekali ada variasi nama penulis kolom
ini.
Kenapa hatiku deg-degan ya membaca CV Rohmat ini? Dari wajah dia tak
jelek-jelek amat tapi dia terlihat shalih sekali. Inginnya… ohh… sudah
hampir berumurkah aku, ingin sekali sudah memiliki imam dalam hidupku
yang selalu sendiri ini. Memiliki imam di tahun 2014 ini.
***
Ibu kosku memberikan bungkusan kiriman, tampaknya kiriman dari
Rohmat. Kubuka bungkusan dengan perlahan, ada dua buah jilbab putih,
satu surat yang siap kubaca. Isinya kurang lebih ucapan terima kasih
tulisannya sudah dimuat di majalah tersebut dan mendapatkan honor pula.
Kado ini hanya ucapan terimakasih dan dia meminta agar saya menggunakan
Jilbab yang rapi. Dan bertanya apakah saya sudah memiliki calon suami.
Hatiku bergetar dibuatnya. Tak disangka ada lelaki yang bertanya
seperti ini, pertanyaan serius. Di awal tahun 2014 ini, wow! Hatiku
melayang tak menentu. Ada secercah harapan dalam tulisan surat ini.
Apakah dia ya Rabb, imamku di masa nanti? Selama penantiaan yang lama
ini, umurku hampir mendekati 30 tahun. Sudah sewajarnya di umurku ini
aku telah menikah dan memiliki anak seperti teman-temanku. Apakah ini
jawaban dari Allah SWT atas doa-doaku dalam shalat malamku dan shalat
hajat dalam hari-hariku, atau doa dari orangtuaku.
Dua jilbab putih ini, hmm… aku tak bisa membayangkanya jika terpakai,
kucoba di cermin, rasanya diriku tampak cantik tampak nyaman hati ini.
Rasanya sudah waktunya aku menggunakan jilbab ini, memang sudah
waktunya. Tak bisa ditunda-tunda. Sudah banyak artikel Islam dan kolom
hikmah yang aku baca sebelum diterbitkan di majalah. Aku editor dalam
tim redaksi. Aku yakin ini pertanda jilbab sudah harus kukenakan, karena
ini hukumnya wajib bagi muslimah.
Nada musik klasik
ringtone-ku berbunyi. Ustadz Rohmat
menelponku bertanya apakah kiriman itu sudah tiba dan dibuka. Ustadz
Rohmat meminta aku jika berkenan mengenakan jilbab yang rapi dan datang
ke rumah Ustadzah Herlina esok lusa. Aku jawab insya Allah.
***
Pagi ini rasanya lain. Kukenakan jilbab putih dan pakaian bernada
coklat muda. Kusiapkan diri datang ke rumah Ustadzah Herlina. Rasa
penasaran itu makin tak menentu. Jantungku mulai berdegup-degup kencang.
Semoga tak grogi, semoga saja, aku terus berdoa. Apakah ini proses
ta’aruf itu? Dalam benakku aku terus bertanya-tanya. Apakah Ustad Rohmat
mau ta’aruf denganku lalu melamarku? Ahhh… apakah sejauh itu apakah
seserius itu?
Ustad Rohmat, Ustadzah Herlina serta suaminya dan aku dengan rasa
gugup ini sudah berada di ruang tamu. Tersaji teh madu hangat dan
cemilan kue-kue kering. Aku masih gugup. Mereka bertiga sesekali
melihatku sepertinya mereka takjub atas perubahanku terkait pakaian yang
kugunakan. Ustadzah Herlina memulai pembicaraan dalam keheningan
ruangan itu.
“Saya ucapkan terimakasih Dewi sudah bisa datang dalam undangan ini.
Subhanallah ya dengan Dewi gunakan jilbab jadi terlihat lebih anggun,
lebih bersinar wajahnya,” aku tersipu-sipu atas pujian itu.
“Langsung saja ke intinya ya. Ustadz Rohmat ini dua minggu lagi akan
menikah dengan Mbak Tias, mungkin Ustadz Rohmat hari ini akan memberikan
undangan pernikahannya ke kamu, hadir yaa!“
Mendengar kabar itu, rasanya badan ini lemas. Harapanku mulai hancur
lebur berkeping-keping jadi debu. Seperti jatuh dari ketinggian gedung
berlantai 30, remuk. Ini salahku, mengapa kubiarkan perasaan dan
harapan-harapan berhembus dalam pikiranku. Ahh.. belum rejeki menikah di
tahun ini. Harapan tinggal harapan… kuterima surat undangan itu.
Tanganku tak kuat menerimanya. Senyumku kupaksa keluar kuterima dengan
berat hati. Hatiku terus bicara, begitu senangnya Tias mendapatkan suami
seperti Ustad Rohmat. Beruntung sekali dia.
Mataku terus tak percaya melihat undangan pernikahan putih ini. Aku
tak percaya. Lalu hadiah jilbab itu untuk apa? Apa pesan yang akan
disampaikan Ustad Rohmat? Hanya inikah, hurat undangan pernikahanya?
Pertanyaan berkelebat dalam benakku.
“Dew, ada hal yang penting juga yang akan disampaikan Ustadz Rohmat
ke kamu selain berita undangan pernikahannya. Silahkan Ustadz
disampaikan, semoga sukses rencana baik ustadz,” Ustadzah Herlina
memecah keheningan lagi.
“Begini Dewi, terima kasih kamu sudah menyediakan waktu untuk datang
ke sini. Saya dapat amanah dari Ibu saya untuk mencari wanita solehah
yang baik sejak dua bulan yang lalu, tapi saya belum menemukannya, namun
saya melihat dan bertanya pada Ustadzah Herlina, berdiskusi tentang
kamu, apakah bisa dijadikan calon Istri.”
“Calon Istri? “ aku memotong.
Kenapa aku, kenapa calon istri, apakah aku solehah, untuk siapa calon istri yang dimaksud? Benakku banyak bertanya.
“Ya calon istri buat adikku, Andriansyah, dua bulan lagi dia
selesaikan kuliah S2-nya di Universitas Islam Internasional Islamabad,
Pakistan. Bidang sejarah. Dia juga pandai dalam menulis, banyak tulisan
artikelnya sudah terpublikasi. Ibuku meminta dia agar segera menikah
juga di tahun ini dengan orang Indonesia. Ibu mengkuatirkan jangan
sampai dia suka dengan muslimah Timur Tengah. Ibuku nekat banget dengan
ilmu ‘pokoke’ si Andriansyah harus menikah dengan orang Indonesia.
Syukur-syukur dapat orang Jawa. Semoga kamu bersedia untuk kami jodohkan
dengan adikku ini. Ini foto dan CV-nya. Bisa kamu pelajari dan
istikharah, dan tambahan info dia juga seorang ustadz muda sering
diminta untuk ceramah, karena memiliki latarbelakang pesantren di Gontor
Jawa Timur.”
“Dew, ini bukan paksaan lho, kita cuma berusaha saja, siapa tau
kalian berjodoh. Namanya juga ikhtiar ya,“ Ustadzah Herlina
senyum-senyum menggodaku.
***
Tanpa diduga, aku akhirnya menikah dengan Andriansyah. Inilah jodoh.
Inilah takdir. Datangnya tak terduga, tak terkira. Alhamdulillah shalat
malamku terus kujalani dan shalat hajatku serta shalat sunah-sunah tetap
kujalani. Aku selalu kubersyukur kepada Allah SWT atas segala
nikmatnya. Suamiku orang yang shalih, perhatian sekali, baik sekali, dia
membimbingku, hobi kami sama di bidang tulis menulis dan mengajar di
seminar-seminar. Kami bersatu padu dalam mimpi-mimpi kami, dalam jalan
dakwah. Ini barulah mimpi, yang kunamakan mimpi indah sampai ke langit.
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2014/02/14/46250/menikah-mimpi-indah-sampai-ke-langit/#ixzz2tPt5fqhJ
Follow us:
@dakwatuna on Twitter |
dakwatunacom on Facebook