Oleh: Rikza Maulan, M.Ag
dakwatuna.com
– Dari Umar bin Khattab r.a. berkata, bahwa beliau mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian benar-benar bertawakal
kepada Allah swt. dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian
akan diberi rezeki (oleh Allah swt.), sebagaimana seekor burung diberi
rezeki; ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari
dalam keadaan kenyang. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Sekilas tentang HaditsHadits
ini merupakan hadits marfu’ dari Umar bin Khattab r.a., yang
diriwayatkan melalui jalur sanad Abdullah bin Hubairah, dari Abu Tamim
Al-Jaisyani, dari Umar bin Khattab, dari Rasulullah saw., diriwayatkan
oleh:
* Imam Turmudzi dalam Sunan/ Jami’nya, Kitab Al-Zuhud An Rasulillah saw., Bab Fi Attawakkal Alallahi, hadits no 2344.
* Imam Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin, hadits no 4164.
* Imam Ahmad bin Hambal dalam tiga tempat dalam musnadnya, yaitu pada hadits nomor 205, 372, dan 375.
Makna Hadits Secara Umum
Hadits
di atas menjelaskan tentang hakekat tawakal dengan perumpamaan seekor
burung. Dimana burung pergi (baca ; mencari karunia Allah) pada pagi
hari dengan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia pulang
dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya
Allah swt.-lah yang memberikan rezekinya sesuai dengan kebutuhannya.
Demikian juga manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakal kepada
Allah swt. dengan mengamalkan hakekat tawakal yang sesungguhnya,
tentulah Allah swt. akan memberikan rezeki sebagaimana seekor burung
yang berangkat pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan
perut kenyang. Artinya, insya Allah rezekinya akan Allah cukupi.
Makna dan Hakikat Tawakal
Dari
segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti;
menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687).
Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan,
mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah swt.
Sedangkan
dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf,
yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Di antara definisi mereka
adalah:
1. Menurut Imam Ahmad bin Hambal.
Tawakal
merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula
sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan
merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis
Salikin, tt: 337)
2. Ibnu Qoyim al-Jauzi
“Tawakal
merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan
menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya,
berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya,
berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’
bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ serta usaha
keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil
Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)
Sebagian
ulama salafuna shaleh lainnya memberikan komentar beragam mengenai
pernak pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan: Jika dikatakan bahwa
Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah (meminta
pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka tawakal
merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena tawakal merupakan
repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada Allah
swt.): Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada
Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia
bertawakal kepada Allah.
Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah
al-Tasattiri juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju
penghambaan kepada Allah. Penghambaan merupakan jalan menuju kewara’an
(sifat menjauhkan diri dari segala kemaksiatan). Kewaraan merupakan
jalan menuju kezuhudan. Dan kezuhudan merupakan jalan menuju
ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)
Tawakal sangat diperhatikan
dalam Islam. Oleh karena itulah, banyak sekali ayat-ayat ataupun
hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada Allah swt.
Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah
ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal.
Derajat Tawakal
Tawakal
merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal
tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut.
Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
1.
Ma’rifat kepada Allah swt. dengan segala sifat-sifat-Nya minimal
meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya,
keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan
segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2. Memiliki
keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan
keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti
seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya,
maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun
hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana dengan
kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3.
Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang
ditawakali, yaitu Allah swt. Karena tawakal memang harus disertai dengan
keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan
dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.
4.
Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah swt., dan menjadikan
situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri
kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang
dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba
yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di
‘susuan’ Allah swt.
5. Husnudzan (baca: berbaik sangka) terhadap
Allah swt. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu
yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap
sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6. Memasrahkan
jiwa sepenuhya hanya kepada Allah swt. Karena orang yang bertawakal
harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang
ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan
sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7. Menyerahkan,
mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada
Allah swt. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. (Ghaafir :
44)
Tawakal Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an
sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Kita
mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal disebut oleh
Allah dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup
tema berikut:
1. Tawakal merupakan perintah Allah swt.
“Dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 61). Lihat juga Ar-Ra’d: 123;
Al-Furqaan: 58, Asy-Syu’araa: 217, An-Naml: 79, Al-Ahzab: 3 dan 48.
2. Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong) (Al-Isra: 2)
3.
Orang yang beriman; hanya kepada Allah lah ia bertawakal (Ali Imran:
122). Lihat juga Ali Imran: 160, Al-Maidah: 11 dan 23, Al-A’raf: 89,
Al-Anfal: 2, At-Taubah: 51, Al-Mujaadilah: 10, At-Taghabun: 13.
4. Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam (baca: keingingan/ambisi positif yang kuat) (Ali Imran: 159)
5.
Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung) (Ali
Imran: 173). Lihat juga An-Nisa: 81, 109, 132, dan 171.
6. Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugerah dari Allah (Al-Anfal: 49). Lihat juga Al-Isra: 65.
7. Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat (surga) (An-Nahl: 41-42). Lihat juga Al-Ankabut: 58-59.
8. Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya. (Ath-Thalaaq: 3)
Tawakal Dalam Hadits
Selain
dalam Al-Qur’an, dalam hadits pun, tawakal memiliki porsi yang sangat
banyak. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 11
hadits. Dalam kitab lain, sekitar 900-an hadits yang terdapat kata yang
berasal dari kata tawakal –dari 9 kitab hadits induk, yaitu Shahih
Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi,
Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Sebelas hadits yang
dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin telah mencakup sebagian
besar hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal
ini, kita dapat menyimpulkan beberapa poin:
1. Orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk surga tanpa hisab.
Dalam
hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Abdullah bin Abbas r.a.,
Rasulullah saw. bersabda: Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang
dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil,
dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dua orang, bahkan ada nabi
yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat padaku rombongan yang besar
(yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan
kepadaku bahwa itu adalah Nabi Musa a.s. beserta kaumnya. Kemudian
dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana
saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku,
Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk
surga tanpa perhingungan (hisab).
Setelah itu Nabi bangun dan
masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan
mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang
berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Ada
pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak
pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapt-pendapat lain yang
mereka sebut.
Kemudian Rasulullah saw. keluar menemui mereka dan
bertanya, ‘Apakah yang sedang kalian bicarakan?’ Mereka memberitahukan
segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘Mereka tidak pernah
menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan
burung, dan hanya kepada Rabb-nya lah, mereka bertawakal.”
Lalu
bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah saw.,
doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah saw.
menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang
lain, dan berkata, ‘Doakan saya juga supaya Allah menjadikan saya salah
satu dari mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau telah didahului
oleh Ukasyah.” (Bukhari & Muslim)
2. Tawakal merupakan sunnah Rasulullah saw.
Rasulullah
saw. sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah swt.
Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa
mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah swt.: Dari Ibnu Abbas r.a.,
bahwa Rasulullah saw. senantiasa berdoa, “Ya Allah, hanya kepada-Mu lah
aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman, hanya kepada-Mu
lah aku bertawakal, hanya kepada-Mu lah aku bertaubat, hanya karena-Mu
lah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah, aku berlindung dengan
kemuliaan-Mu dimana tiada Tuhan selain Engkau, janganlah Engkau
menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sedangkan jin
dan manusia mati.” (Muslim)
3. Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.
Dalam
hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Ibnu Abbas r.a., “Hasbunallah
wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika
dilempar ke dalam api, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad saw.
ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka;
‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk
menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi
orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal
Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai
tempat kami bertawakal.” (Bukhari)
4. Tawakal akan mendatangkan nasrullah.
Ini
sebagaimana yang terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus
Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat Perang Dzatur-riqa’, ketika
Rasulullah saw. sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan
pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang
musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat
melindungimu dariku? Namun dengan sangat tenang Rasulullah saw menjawab,
‘Allah.’ Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya
jatuh. Lalu Rasulullah saw. mengambil pedang tersebut seraya bertanya,
‘Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?’
5. Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Umar r.a., aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah
dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan
rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor
burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari
dalam keadaan perut kenyang.” (Tirmidzi)
6. Tawakal setelah usaha.
Dalam
sebuah hadits diriwayatkan: Dari Anas bin Malik r.a., ada seseorang
berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah saw., aku ikat
kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?”
Rasulullah saw. menjawab, “Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR.
Tirmidzi)
Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah
Rasulullah saw., jika dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak
akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa.
Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan.
Namun tawakal harus didahului dengan usaha yang maksimal. Hilangnya
usaha, berarti hilanglah hakikat dari tawakal itu.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/mempertajam-tawakal/