Aubie dilahirkan di utara Toronto. Meski punya dua orang saudara, gadis
Kanada ini merasa sering kesepian dan bermain sendiri. Ia juga punya
imajinasi yang besar, sehingga pada usia 4 tahun telah bertanya tentang
Tuhan yang tak terjawab oleh orang tuanya.
Aubie merasa mendapatkan perhatian ibunya hanya pada hari Minggu. Karena di hari itu, mereka bersama-sama pergi ke gereja.
“Aku dulu suka pergi ke gereja, mendengarkan khotbah dan menatap salib besar,” kata Aubie saat menceritakan kisah nyata perjalanannya menemukan hidayah, di OnIslam.net, Kamis (20/3).
Memasuki masa remaja, Aubie menjadi suka memberontak. Perlakuan kasar sang ayah dan kurangnya perhatian ibu membuatnya mulai membenci keluarganya. Sebagai pelarian, Aubie banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Dan mulailah Aubie bersinggungan dengan minuman keras dan obat-obatan.
Untunglah, fitrah Aubie masih cukup dominan. Saat berusia 18 tahun, ia terdorong untuk menjadi relawan pemerintah. Pilihannya ini juga menjadi solusi baginya untuk berpisah dengan keluarganya yang ia rasa tidak mempedulikannya.
“Aku meninggalkan rumah ketika aku berusia 18 tahun dan bepergian dengan sekelompok relawan yang disponsori pemerintah selama satu tahun,” imbuhnya.
Sekembalinya ke rumah, Aubie masuk ke perguruan tinggi sambil bekerja di instansi pemerintah yang menangani anak-anak bermasalah.
“Selama aku bekerja di dua instansi pemerintah yang berbeda, aku melihat semua jenis anak-anak dilecehkan dan rusak. Ini benar-benar membuat jiwaku menderita.”
Beban berat yang dirasakannya membuat Aubie yang saat itu telah berusia 25 tahun menjadi depresi.
“Satu malam di musim semi, aku memutuskan untuk bunuh diri. Aku menyiapkan kamar mandi dengan handuk dan berlari menuju air panas di wastafel. Aku mengambil pisau tajam dan mencoba mengiris pergelangan tanganku. Keluar sedikit darah. Tiba-tiba aku berteriak kesakitan dan rasa takut menghinggapiku. Aku takut pada Tuhan bahwa aku telah menyerah,” katanya menceritakan upaya bunuh diri.
Hari Minggu, Aubie kembali ke gereja. “Aku menangis setiap hari Minggu selama satu bulan, dan kemudian aku mulai belajar mendalami ajaran Kristen di Gereja Anglikan.”
Pada 11 September 2001, seluruh dunia seakan berubah bagi Aubie. “Aku sangat terkejut dan ngeri . Aku merasa seolah-olah Tuhan menamparku. Peristiwa itu tak pernah dapat dibayangkan sebelumnya. Aku pun takut, seperti orang lain. Lalu aku mulai bertanya-tanya tentang apa dikatakan media.”
Sebagai seorang wanita yang kritis, Aubie tidak percaya begitu saja dengan media. Terlebih, ia memiliki teman-teman muslim yang sama sekali berbeda dengan apa yang disuguhkan media.
“Aku melihat teman-temanku yang Muslim di tempat kerja. Mereka orang-orang baik, bukan teroris. Aku mulai berbicara dengan mereka. Pada awalnya, aku tertarik pada aspek geopolitik apa yang sedang terjadi. Mengapa "mereka" membenci" kita? Kemudian aku menemukan apa yang dilakukan pemerintah Barat di Timur Tengah dan Afrika Utara selama berabad-abad. Tidak heran mereka membenci kita” ujarnya.
Aubie kemudian melakukan penelitian tentang Islam. “Ide-ide Islam mulai merayap ke dalam pikiranku. Aku mencari orang-orang yang bisa membantuku di daerah ini. Alhamdulillah, akh Mohamed Saffie bersedia mengajariku bahasa Arab dasar.”
Semakin mempelajari Islam, Aubie semakin tertarik. Terlebih setelah ia mendapatkan terjemahan Qur’an dalam bahasa Inggris dari Quran.
“Aku sangat menarik dengan kitab ini. Rasanya seperti kata-kata aku cari selama ini,” tambahnya.
Dalam masa meneliti Islam itu, Aubie mendengarkan adzan dari sebuah masjid di daerah yang ia kunjungi. Entah mengapa, ia tiba-tiba menangis saat mendengar panggilan shalat tersebut.
“Perasaanku seperti bercampur antara kegembiraan dan kesedihan. Aku hanya ingin menangis dan menangis…”
Pada tahun itu, 2003, Aubie pun bersyahadat. Namun, secara terbuka ia baru memproklamirkan diri di Masjid Damaskus pada 1 Januari 2006. Dalam rentang masa itu ia dibimbing oleh ulama Masjid Toronto Imam Hamid Slimi.
Menjadi mualaf bukan hal yang mudah bagi Aubie. Ia mendapat penentangan dari keluarga, teman dan lingkungannya. Ia kembali menjadi terasing, bahkan bias lebih terasing dari masa kecilnya. Ia ditertawakan, dicemooh dan dimaki. Kendati demikian, Aubie yang telah mendapatkan nama Islam Noor Aubie tetap teguh dalam keislamannya. “Sebab aku tahu apa yang benar,” tegasnya.
Nama Noor pada Noor Aubie, menurutnya diambil dari surat An Nur, khususnya ayat ke 35. Subhanallah. [IK/bersamadakwah]
Aubie merasa mendapatkan perhatian ibunya hanya pada hari Minggu. Karena di hari itu, mereka bersama-sama pergi ke gereja.
“Aku dulu suka pergi ke gereja, mendengarkan khotbah dan menatap salib besar,” kata Aubie saat menceritakan kisah nyata perjalanannya menemukan hidayah, di OnIslam.net, Kamis (20/3).
Memasuki masa remaja, Aubie menjadi suka memberontak. Perlakuan kasar sang ayah dan kurangnya perhatian ibu membuatnya mulai membenci keluarganya. Sebagai pelarian, Aubie banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Dan mulailah Aubie bersinggungan dengan minuman keras dan obat-obatan.
Untunglah, fitrah Aubie masih cukup dominan. Saat berusia 18 tahun, ia terdorong untuk menjadi relawan pemerintah. Pilihannya ini juga menjadi solusi baginya untuk berpisah dengan keluarganya yang ia rasa tidak mempedulikannya.
“Aku meninggalkan rumah ketika aku berusia 18 tahun dan bepergian dengan sekelompok relawan yang disponsori pemerintah selama satu tahun,” imbuhnya.
Sekembalinya ke rumah, Aubie masuk ke perguruan tinggi sambil bekerja di instansi pemerintah yang menangani anak-anak bermasalah.
“Selama aku bekerja di dua instansi pemerintah yang berbeda, aku melihat semua jenis anak-anak dilecehkan dan rusak. Ini benar-benar membuat jiwaku menderita.”
Beban berat yang dirasakannya membuat Aubie yang saat itu telah berusia 25 tahun menjadi depresi.
“Satu malam di musim semi, aku memutuskan untuk bunuh diri. Aku menyiapkan kamar mandi dengan handuk dan berlari menuju air panas di wastafel. Aku mengambil pisau tajam dan mencoba mengiris pergelangan tanganku. Keluar sedikit darah. Tiba-tiba aku berteriak kesakitan dan rasa takut menghinggapiku. Aku takut pada Tuhan bahwa aku telah menyerah,” katanya menceritakan upaya bunuh diri.
Hari Minggu, Aubie kembali ke gereja. “Aku menangis setiap hari Minggu selama satu bulan, dan kemudian aku mulai belajar mendalami ajaran Kristen di Gereja Anglikan.”
Pada 11 September 2001, seluruh dunia seakan berubah bagi Aubie. “Aku sangat terkejut dan ngeri . Aku merasa seolah-olah Tuhan menamparku. Peristiwa itu tak pernah dapat dibayangkan sebelumnya. Aku pun takut, seperti orang lain. Lalu aku mulai bertanya-tanya tentang apa dikatakan media.”
Sebagai seorang wanita yang kritis, Aubie tidak percaya begitu saja dengan media. Terlebih, ia memiliki teman-teman muslim yang sama sekali berbeda dengan apa yang disuguhkan media.
“Aku melihat teman-temanku yang Muslim di tempat kerja. Mereka orang-orang baik, bukan teroris. Aku mulai berbicara dengan mereka. Pada awalnya, aku tertarik pada aspek geopolitik apa yang sedang terjadi. Mengapa "mereka" membenci" kita? Kemudian aku menemukan apa yang dilakukan pemerintah Barat di Timur Tengah dan Afrika Utara selama berabad-abad. Tidak heran mereka membenci kita” ujarnya.
Aubie kemudian melakukan penelitian tentang Islam. “Ide-ide Islam mulai merayap ke dalam pikiranku. Aku mencari orang-orang yang bisa membantuku di daerah ini. Alhamdulillah, akh Mohamed Saffie bersedia mengajariku bahasa Arab dasar.”
Semakin mempelajari Islam, Aubie semakin tertarik. Terlebih setelah ia mendapatkan terjemahan Qur’an dalam bahasa Inggris dari Quran.
“Aku sangat menarik dengan kitab ini. Rasanya seperti kata-kata aku cari selama ini,” tambahnya.
Dalam masa meneliti Islam itu, Aubie mendengarkan adzan dari sebuah masjid di daerah yang ia kunjungi. Entah mengapa, ia tiba-tiba menangis saat mendengar panggilan shalat tersebut.
“Perasaanku seperti bercampur antara kegembiraan dan kesedihan. Aku hanya ingin menangis dan menangis…”
Pada tahun itu, 2003, Aubie pun bersyahadat. Namun, secara terbuka ia baru memproklamirkan diri di Masjid Damaskus pada 1 Januari 2006. Dalam rentang masa itu ia dibimbing oleh ulama Masjid Toronto Imam Hamid Slimi.
Menjadi mualaf bukan hal yang mudah bagi Aubie. Ia mendapat penentangan dari keluarga, teman dan lingkungannya. Ia kembali menjadi terasing, bahkan bias lebih terasing dari masa kecilnya. Ia ditertawakan, dicemooh dan dimaki. Kendati demikian, Aubie yang telah mendapatkan nama Islam Noor Aubie tetap teguh dalam keislamannya. “Sebab aku tahu apa yang benar,” tegasnya.
Nama Noor pada Noor Aubie, menurutnya diambil dari surat An Nur, khususnya ayat ke 35. Subhanallah. [IK/bersamadakwah]
*http://www.bersamadakwah.com/2014/03/sebelum-masuk-islam-wanita-yang-mau.html
0 komentar:
Posting Komentar