Malaysia Airlines (ilustrasi) – Foto: airliners.net |
Sebuah surat ditulis oleh Dr Nur Nadia Abd Rahim, menggambarkan guncangan tersebut, dimuat New Straits Times pada Senin (17/3/2014).
Nur adalah putri Kapten Abd Rahim Harun, salah satu pilot maskapai Malaysia Airlines meski bukan pilot dari pesawat yang hilang itu.
Berikut ini adalah terjemahan bebas dari surat Nur tersebut.
Sopir Terbang
Catatan ini sudah terlambat dan seharusnya sudah kutulis lama sebelum ini, untuk memberitahu ayahku betapa bangganya aku pada dia.
Aku bangga dengan apa yang dia kerjakan, meskipun dia tak berada bersamaku selama setengah umur ku.
Aku sangat menyesal karena malu memberitahu teman-temanku bahwa ayah adalah pilot. Pilot yang baik.
Aku sangat menyesal sekarang karena dulu memberitahu teman-temanku bahwa ayah hanyalah sopir.
Aku tak ingin tampil sebagai anak yang istimewa.
Kami hidup biasa-biasa saja.
Aku adalah bagian dari keluarga besar Malaysia Airlines.
Aku sudah terbang bersama mereka sejak aku bayi.
Perjalanan pertama favoritku bersama ayah, pilot favoritku, adalah ke Kota Kinabalu.
Rupanya aku disebut anak yang nakal (tapi menggemaskan?).
Meski demikian aku mencintai bandara dan penerbangan.
Ayahku, seperti halnya kapten pilot pesawat yang hilang, telah bekerja untuk Malaysia Airlines sejak lulus sekolah.
Kami sudah berulang kali mendesaknya pindah ke maskapai lain, tetapi dia menolak karena ingin berada dekat dengan keluarga, sesering mungkin.
Kami seharusnya bisa menikmati fasilitas yang ditawarkan – pendidikan gratis di sekolah, sekolah internasional, semua biaya hidup ditanggung, dan sopir yang mengantar kami ke mana-mana, bila dia menerima tawaran pekerjaan dari maskapai lain.
Itu adalah fasilitas yang banyak dicari pilot MAS.
Menjadi seorang putri pilot, kamu harus terbiasa hanya ke mana-mana bersama ibu saja, mulai dari hari pertama sekolah, penyerahan penghargaan dalam upacara sekolah, ajang olahraga, ulang tahun, bahkan hari raya.
Insiden terburuk adalah ketika ayah tak ada ketika rumah kami dirampok oleh tiga orang penjahat bertopeng.
Lebih daripada itu, ibu yang hamil 7 bulan pun harus mengatasi segalanya sendirian tanpa ayah.
Dia menolak menelepon ayah dan membuat ayah khawatir, sampai ayah kembali ke Kuala Lumpur keesokan harinya.
Ibuku memahami beban yang harus ayah tanggung di pundaknya, fokusnya saat terbang adalah tanggung jawab atas ratusan nyawa dan bukan cuma keluarganya di rumah.
Aku ingat sedang tersedak air mata ketika dosen Bahasa Inggris kami di perguruan tinggi meminta kami satu per satu, “Apa yang paling Anda ingat tentang ayahmu?”
Aku berdiri dan menjawab, “Aku ingat bahwa ia tidak ada bersamaku dalam separuh umurku.”
(Tapi) dia jelas bukan seorang ayah yang buruk. Dia hanya bekerja keras untuk menghidupi keluarga kami.
Kami sudah terbiasa menerima keadaan itu, terutama ketika orang bertanya kepada kami, “Ayah mana?” Aku akan menjawab mereka, “Entah, (dia) di suatu tempat di seluruh dunia. Tidak yakin. Harus memeriksa daftar itu.”
Sepanjang hidupnya, kehadirannya ditentukan oleh selembar kertas yang dia bagikan kepada kami pada setiap awal bulan. Dia kadang-kadang akan kesal ketika aku bertanya kepadanya tentang lokasinya. Karena itu, aku harus memeriksa daftar terlebih dulu sebelum bertanya kepadanya.
Sebelum dia berangkat kerja, kami akan mengantar, melihat mobil penjemputnya datang dan membawanya pergi. Kadang-kadang pada dini hari, lain kali di tengah malam. Kami akan mengirimkan “salam” untuknya terlebih dahulu sebelum tidur.
Dan setiap kali dia pulang kerja, semua orang di rumah akan berdiri menyambut di depan pintu.
Aku tak menyadari betapa pentingnya ritual itu sampai terjadi insiden MH370.
Setiap kali ia berangkat kerja, ia bertanggung jawab untuk ratusan nyawa, bertanggung jawab menghubungkan keluarga untuk berkumpul lagi, bertanggung jawab membantu pengusaha membuat kesepakatan, bertanggung jawab mewujudkan impian berkelana para wisatawan.
Aku ingat sekali, seorang penumpang yang sangat tua dengan kursi roda menunggu Ayah untuk bertemu dengannya secara pribadi setelah penerbangan London – KL. Dia memberi Ayah jempol dan berkata, “Apakah kau Kapten? Kita mendarat sangat halus. Terima kasih!”
Diam-diam, aku tersenyum bangga mendengarnya.
Tetapi, jauh di lubuk hati, keluarga kami tahu setiap kali ia berangkat kerja selalu ada kemungkinan mendapatkan panggilan telepon yang menentukan itu, kemungkinan dia tidak pernah pulang ke rumah. Kami telah menerima itu sebagai bagian dari kehidupan kami, setiap hari.
Ia menjalani latihan keras untuk berada di posisinya sekarang.
Dia menjalani pemeriksaan kesehatan tahunan untuk memastikan apakah dia fit untuk terbang.
Dia menghadapi ujian, seperti anak sekolahan.
Buku manual penerbangannya setebal buku medisku.
Dia “OCD” (teliti, seperti istilah orang-orang) seperti yang Anda inginkan ada pada setiap pilot sebelum penerbangan Anda, memastikan semuanya tepat.
Bahkan soal ketepatan waktu, bukan karena terlambat satu menit atau akan datang beberapa menit lebih awal ketika mengatakan akan sampai di suatu tempat dalam waktu tertentu. “Aku akan sampai di sana tujuh menit lagi. Bersiaplah….”
Surat ini adalah potongan kehidupan keluarga awak kabin.
Kru kabin banyak berkorban hanya supaya mereka bisa membantu dunia terhubung dari titik A ke titik B.
Mari kita dukung keluarga terkait penerbangan MH370 dengan dukungan dan doa.
Sebelum Anda menghakimi, mengacungkan jari tengah, atau menyebarkan teori dan spekulasi, ingat bahwa Anda tak hanya menyakiti keluarga awak kabin dari pesawat yang hilang itu, tetapi juga menyakiti perasaan kami sebagai keluarga besar MAS.
Di mana pun kau berada, MH370, kami berdoa kau kembali.
0 komentar:
Posting Komentar