Poligami, di mana seorang laki-laki memiliki dua hingga empat istri, adalah hal yang diperbolehkan dalam Islam.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (QS. An Nisa’ : 3)
Sayyid Qutb ketika menjelaskan ayat ini dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menyebut poligami sebagai rukhshah; kemurahan.
“Diberikannya rukhshah ‘kemurahan’ untuk melakukan poligami disertai dengan sikap kehati-hatian seperti itu bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, dan dicukupkannya dengan monogami dalam kondisi seperti itu...”
Cahyadi Takariawan dalam buku Bahagiakan Diri dengan Satu Istri merinci lebih lengkap 10 kondisi -yang jika dikhawatirkan terjadi- sebaiknya seorang laki-laki monogami saja, dan tidak melakukan poligami.
1. Tidak sanggup berlaku adil
Orang yang bisa adil terhadap seluruh anggota keluarganya, ia memenuhi salah satu syarat poligami. Tetapi jika tidak bisa adil, Allah memerintahkannya untuk monogami saja.
”Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (QS. An Nisa’ : 3)
”Barangsiapa yang memiliki dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan salah satu bagian tubuhnya membungkuk.” (HR. Abu Daud)
Kecondongan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dalam hal nafkah lahiriyah, bukan kecondongan hati atau cinta. Tentang kecondongan hati, QS. An Nisa’ ayat 129 telah menerangkan bahwa adil dalam hal kecondongan hati hampir tak mungkin terjadi. Tetapi, perbedaan kadar cinta itu tidak boleh membuat suami yang melakukan poligami menjadi lebih condong kepada salah seorang istrinya daripada istri yang lain dalam hal nafkah.
Rasulullah mencontohkan, meskipun dalam hadits disebutkan beliau paling mencintai Aisyah daripada istri beliau yang lain yang masih ada, beliau memberikan pembagian nafkah secara adil. Bahkan, saat bepergian pun, beliau mengundi siapa diantara istrinya yang ikut. Pun saat menjadwal berada di rumah masing-masing istri, beliau melakukannya dengan adil. Kalaupun ada perbedaan waktu, itu sudah menjadi kesepakatan istri-istrinya, misalnya antara Aisyah dan Saudah.
Bagi bagi Anda yang khawatir tidak bisa berlaku adil, sebaiknya monogami saja.
2. Tidak sanggup menafkahi
Surat An Nisa’ ayat 34 menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Dalam hadits disebutkan pula bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya. Dan salah satu kewajibannya adalah memberikan nafkah.
”Dan kalian wajib memberi nafkah kepada mereka (para istri) dan memberi pakaian secara ma’ruf” (HR. Muslim)
Maka bagi laki-laki yang dengan satu istri saja tidak sanggup menafkahi dengan baik, sebaiknya ia tidak melakukan poligami.
3. Tidak sanggup membahagiakan
Kebahagiaan adalah hal yang dirindukan oleh siapa saja. Termasuk oleh orang yang menikah. Seorang perempuan mengharapkan bisa berbahagia dalam pernikahannya. Demikian pula seorang laki-laki.
Kebahagiaan ini unik. Ia tidak dapat diukur dengan materi. Sebab ada keluarga yang tidak kaya, tetapi hidup mereka bahagia. Sebaliknya, ada pula yang hidupnya bergelimang harta, tetapi mereka tidak bahagia.
Jika seorang suami, meskipun sanggup memberikan nafkah secara finansial kepada istri-istrinya, tetapi dengan dua istri atau lebih ia justru khawatir membuat mereka tidak bahagia, sebaiknya ia mengurungkan poligami yang menjadi niatnya.
4. Tidak sanggup mengelola kecemburuan
Wanita adalah makhluk pencemburu. Kecemburuan antar-istri dalam berumah tangga bahkan terjadi dalam kehidupan Nabi. Misalnya dalam kisah Nabi Ibrahim, antara Hajar dan Sarah. Bahkan, dalam kehidupan Rasulullah. Bagaimana sampai menjatuhkan nampang, dan sebagainya.
“Diantara kecemburuan itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah. Ada pun yang disukai Allah adalah kecemburuan yang berisi keraguan, sedangkan yang dibenci Allah adalah kecemburuan yang tidak ragu-ragu lagi” (HR. Abu Daud)
Lalu, sanggupkah kita mengelola kecemburuan istri-istri? Rasulullah pernah ditegur Allah karena hendak mengharamkan maghafir (getah manis seperti madu). Mengapa beliau berbuat demikian, sebab Aisyah cemburu beliau lama di rumah Zainab setelah disuguhi maghafir. Allah menegur dengan menurunkan surat At Tahrim bagian awal. Lalu, siapa yang akan menegur kita jika karena tidak sanggup mengelola kecemburuan istri lalu terjerumus dalam kesalahan?
5. Tidak sanggup mengatur waktu
Jika seorang laki-laki khawatir tidak sanggup mengatur waktu dengan bertambahnya istri, sebaiknya ia monogami saja. Menikah dengan lebih dari satu istri artinya menambah kewajiban. Menambah jumlah orang yang harus dipenuhi hak-haknya, bukan hanya masalah materi tetapi juga perhatian dan kasih sayang yang seluruhnya membutuhkan waktu. Termasuk kepada anak-anaknya dari seluruh istri.
Sedangkan kewajiban bagi seorang muslim tidak berkurang dengan bertambahnya istri. Ia tetap harus shalat lima waktu, lebih utama berjama’ah. Dan seterusnya. Belum lagi ibadah-ibadah sunnah. Qiyamullail, tilawah, dzikir dan sebagainya. Terlebih bagi suami yang jika menyadari bahwa setelah berhubungan suami istri ia sulit bangun dan ketinggalan shalat Subuh berjama’ah, ia perlu mempertimbangkan dengan serius, bahwa jika ia poligami, apakah tidak semakin ia meninggalkan qiyamul lail dan shalat Subuh berjama’ah.
Wallahu a’lam bish shawab. [bersambung]
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (QS. An Nisa’ : 3)
Sayyid Qutb ketika menjelaskan ayat ini dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menyebut poligami sebagai rukhshah; kemurahan.
“Diberikannya rukhshah ‘kemurahan’ untuk melakukan poligami disertai dengan sikap kehati-hatian seperti itu bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, dan dicukupkannya dengan monogami dalam kondisi seperti itu...”
Cahyadi Takariawan dalam buku Bahagiakan Diri dengan Satu Istri merinci lebih lengkap 10 kondisi -yang jika dikhawatirkan terjadi- sebaiknya seorang laki-laki monogami saja, dan tidak melakukan poligami.
1. Tidak sanggup berlaku adil
Orang yang bisa adil terhadap seluruh anggota keluarganya, ia memenuhi salah satu syarat poligami. Tetapi jika tidak bisa adil, Allah memerintahkannya untuk monogami saja.
”Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” (QS. An Nisa’ : 3)
”Barangsiapa yang memiliki dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan salah satu bagian tubuhnya membungkuk.” (HR. Abu Daud)
Kecondongan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dalam hal nafkah lahiriyah, bukan kecondongan hati atau cinta. Tentang kecondongan hati, QS. An Nisa’ ayat 129 telah menerangkan bahwa adil dalam hal kecondongan hati hampir tak mungkin terjadi. Tetapi, perbedaan kadar cinta itu tidak boleh membuat suami yang melakukan poligami menjadi lebih condong kepada salah seorang istrinya daripada istri yang lain dalam hal nafkah.
Rasulullah mencontohkan, meskipun dalam hadits disebutkan beliau paling mencintai Aisyah daripada istri beliau yang lain yang masih ada, beliau memberikan pembagian nafkah secara adil. Bahkan, saat bepergian pun, beliau mengundi siapa diantara istrinya yang ikut. Pun saat menjadwal berada di rumah masing-masing istri, beliau melakukannya dengan adil. Kalaupun ada perbedaan waktu, itu sudah menjadi kesepakatan istri-istrinya, misalnya antara Aisyah dan Saudah.
Bagi bagi Anda yang khawatir tidak bisa berlaku adil, sebaiknya monogami saja.
2. Tidak sanggup menafkahi
Surat An Nisa’ ayat 34 menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Dalam hadits disebutkan pula bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya. Dan salah satu kewajibannya adalah memberikan nafkah.
”Dan kalian wajib memberi nafkah kepada mereka (para istri) dan memberi pakaian secara ma’ruf” (HR. Muslim)
Maka bagi laki-laki yang dengan satu istri saja tidak sanggup menafkahi dengan baik, sebaiknya ia tidak melakukan poligami.
3. Tidak sanggup membahagiakan
Kebahagiaan adalah hal yang dirindukan oleh siapa saja. Termasuk oleh orang yang menikah. Seorang perempuan mengharapkan bisa berbahagia dalam pernikahannya. Demikian pula seorang laki-laki.
Kebahagiaan ini unik. Ia tidak dapat diukur dengan materi. Sebab ada keluarga yang tidak kaya, tetapi hidup mereka bahagia. Sebaliknya, ada pula yang hidupnya bergelimang harta, tetapi mereka tidak bahagia.
Jika seorang suami, meskipun sanggup memberikan nafkah secara finansial kepada istri-istrinya, tetapi dengan dua istri atau lebih ia justru khawatir membuat mereka tidak bahagia, sebaiknya ia mengurungkan poligami yang menjadi niatnya.
4. Tidak sanggup mengelola kecemburuan
Wanita adalah makhluk pencemburu. Kecemburuan antar-istri dalam berumah tangga bahkan terjadi dalam kehidupan Nabi. Misalnya dalam kisah Nabi Ibrahim, antara Hajar dan Sarah. Bahkan, dalam kehidupan Rasulullah. Bagaimana sampai menjatuhkan nampang, dan sebagainya.
“Diantara kecemburuan itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah. Ada pun yang disukai Allah adalah kecemburuan yang berisi keraguan, sedangkan yang dibenci Allah adalah kecemburuan yang tidak ragu-ragu lagi” (HR. Abu Daud)
Lalu, sanggupkah kita mengelola kecemburuan istri-istri? Rasulullah pernah ditegur Allah karena hendak mengharamkan maghafir (getah manis seperti madu). Mengapa beliau berbuat demikian, sebab Aisyah cemburu beliau lama di rumah Zainab setelah disuguhi maghafir. Allah menegur dengan menurunkan surat At Tahrim bagian awal. Lalu, siapa yang akan menegur kita jika karena tidak sanggup mengelola kecemburuan istri lalu terjerumus dalam kesalahan?
5. Tidak sanggup mengatur waktu
Jika seorang laki-laki khawatir tidak sanggup mengatur waktu dengan bertambahnya istri, sebaiknya ia monogami saja. Menikah dengan lebih dari satu istri artinya menambah kewajiban. Menambah jumlah orang yang harus dipenuhi hak-haknya, bukan hanya masalah materi tetapi juga perhatian dan kasih sayang yang seluruhnya membutuhkan waktu. Termasuk kepada anak-anaknya dari seluruh istri.
Sedangkan kewajiban bagi seorang muslim tidak berkurang dengan bertambahnya istri. Ia tetap harus shalat lima waktu, lebih utama berjama’ah. Dan seterusnya. Belum lagi ibadah-ibadah sunnah. Qiyamullail, tilawah, dzikir dan sebagainya. Terlebih bagi suami yang jika menyadari bahwa setelah berhubungan suami istri ia sulit bangun dan ketinggalan shalat Subuh berjama’ah, ia perlu mempertimbangkan dengan serius, bahwa jika ia poligami, apakah tidak semakin ia meninggalkan qiyamul lail dan shalat Subuh berjama’ah.
Wallahu a’lam bish shawab. [bersambung]
*http://www.bersamadakwah.com/2013/09/10-alasan-mengapa-sebaiknya-anda.html
0 komentar:
Posting Komentar