Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com - “Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-hadid: 16)
Maha
Suci Allah yang menggantikan malam dengan siang dan sore pun
menyongsong malam. Hari berlalu menyusun pekan. Hitungan bulan-bulan pun
membentuk tahun. Tanpa terasa, pintu ajal kian menjelang. Sementara,
peluang hidup tak ada siaran ulang.
Siap atau tidak, waktu pasti akan meninggalkan kita
Sejauh
apa pun satu tahun ke depan jauh lebih dekat daripada satu detik yang
lalu. Karena waktu yang berlalu, walaupun satu detik, tidak akan bisa
dimanfaatkan lagi. Ia sudah jauh meninggalkan kita.
Begitu
pun dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Pagi ini adalah pagi
ini. Kalau datang siang, ia tidak akan pernah kembali. Kalau kesempatan
di pagi ini lewat, hilang sudah momentum yang bisa diambil. Karena,
belum tentu kita bisa berjumpa dengan pagi esok.
Itulah
yang pernah menggugah Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, karena sangat
lelah, Umar menolak kunjungan seorang warga. “Esok pagi saja!” ucapnya
spontan. Khalifah Umar berharap esok pagi ia bisa lebih segar sehingga
urusan bisa diselesaikan dengan baik.
Tapi,
sebuah ucapan tak terduga tiba-tiba menyentak kesadaran Khalifah kelima
ini. Warga itu mengatakan, “Wahai Umar, apakah kamu yakin akan tetap
hidup esok pagi?” Deg. Umar pun langsung beristighfar. Saat itu juga, ia
menerima kunjungan warga itu.
Kalau
kita menganggap remeh sebuah ruang waktu, sebenarnya kita sedang
membuang sebuah kesempatan. Kalau pergi, kesempatan tidak akan kembali.
Ia akan pergi bersama berlalunya waktu. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (Al-Ashr: 1-2)
Siap atau tidak, jatah waktu kita terus berkurang
Ketika
seseorang sedang merayakan hari ulang tahun, sebenarnya ia sedang
merayakan berkurangnya jatah usia. Umurnya sudah berkurang satu tahun.
Atau, hari kematiannya lebih dekat satu tahun. Dalam skala yang lebih
luas, pergantian tahun adalah berarti berkurangnya umur dunia. Atau,
hari kiamat lebih dekat satu tahun dibanding tahun lalu.
Ketika jatah-jatah waktu itu terus berkurang, peluang kita semakin sedikit. Biasanya, penyesalan datang belakangan. “Dan
pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah
manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia
mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal
saleh) untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 23-24)
Tak banyak yang sadar, begitu banyak peluang menghilang
Kadang,
seseorang menganggap biasa mengisi hari-hari dengan santai, televisi,
dan berbagai mainan. Bahkan ada yang bisa berjam-jam bersibuk-sibuk
dengan video game. Sedikit pun tak muncul rasa kehilangan. Apalagi penyesalan.
Padahal
kalau dihitung, amal kita akan terlihat sedikit jika dibanding dengan
kesibukan rutin lain. Dengan usia tiga puluh tahun, misalnya. Selama
itu, jika tiap hari seorang tidur delapan jam, ternyata ia sudah tidur
selama 87.600 jam. Ini sama dengan 3.650 hari, atau selama sepuluh
tahun. Dengan kata lain, selama tiga puluh tahun hidup, sepertiganya
cuma habis buat tidur.
Jika
orang itu menghabiskan empat jam buat nonton televisi, setidaknya, ia
sudah menonton televisi selama 43.200 jam. Itu sama dengan 1.800 hari,
atau lima tahun. Bayangkan, dari tiga puluh tahun hidup, lima tahun cuma
habis buat nonton teve. Belum lagi urusan-urusan lain. Bisa ngobrol,
curhat, ngerumpi, jalan-jalan, dan sebagainya.
Lalu,
berapa banyak porsi waktunya buat ibadah? Kalau satu salat wajib
menghabiskan waktu sepuluh menit, satu hari ia salat selama lima puluh
menit. Ditambah zikir dan tilawah selama tiga puluh menit, ia beribadah
selama delapan puluh menit per hari. Jika dikurangi sepuluh tahun karena
usia kanak-kanak, ia baru beribadah selama 1.600 jam. Atau, 1,8 persen
dari waktu tidur. Atau, 3,7 persen dari lama nonton teve.
Betapa banyak peluang yang terbuang. Betapa banyak waktu berlalu tanpa nilai. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali,
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3)
Tak seorang pun tahu, kapan waktunya berakhir
Tiap
yang bernyawa pasti mati. Termasuk, manusia. Kalau dirata-rata, usia
manusia saat ini tidak lebih dari enam puluhan tahun. Atau, setara
dengan dua belas kali pemilu di Indonesia. Waktu yang begitu sedikit.
Saatnya
buat orang-orang beriman memaknai waktu. Biarlah orang mengatakan waktu
adalah uang. Orang beriman akan bilang, “Waktu adalah pahala!”
0 komentar:
Posting Komentar